“`html
Jakarta, RAGAMUTAMA.COM – Indermit Gill, Kepala Ekonom Bank Dunia, baru-baru ini menyampaikan peringatan serius mengenai potensi krisis utang yang semakin mengkhawatirkan, serta perlambatan pertumbuhan ekonomi yang dihadapi oleh negara-negara berkembang. Penegasan ini diungkapkan dalam serangkaian diskusi pada pertemuan musim semi antara Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia di Washington, yang berlangsung sepanjang pekan ini.
Kondisi perekonomian global yang penuh dengan ketidakpastian, diperburuk oleh dinamika perdagangan yang dipengaruhi oleh tarif tinggi yang diterapkan oleh Amerika Serikat (AS) dan langkah-langkah balasan dari Tiongkok, Uni Eropa, serta Kanada, semakin meningkatkan tekanan terhadap negara-negara berkembang. Gill menyoroti bahwa liberalisasi perdagangan adalah solusi yang sangat penting untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan mengurangi beban utang yang memberatkan.
1. Peningkatan Utang dan Risiko Default
Ketinggian tingkat utang telah menempatkan sekitar separuh dari 150 negara berkembang dan pasar berkembang dalam situasi berisiko tinggi mengalami gagal bayar, atau bahkan sudah berada dalam kondisi ketidakmampuan untuk memenuhi kewajiban utang mereka, per Sabtu (26/4/2025). Menurut laporan terkini dari Bank Dunia, angka ini telah meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan tahun 2024.
“Ketidakpastian perdagangan yang terus meningkat dan tingkat suku bunga yang tinggi memperburuk keadaan,” ungkap Gill, seperti dikutip dari Reuters.
Jika pertumbuhan ekonomi global terus melambat, potensi risiko ini dapat meningkat secara signifikan, mendorong lebih banyak negara ke tepi jurang krisis utang. Diyakini bahwa liberalisasi perdagangan, melalui langkah-langkah seperti pemotongan tarif, dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga 1,5 persen, meskipun masih jauh di bawah angka pertumbuhan 8 persen yang dicapai pada dekade 2000-an.
Sri Mulyani Tarik Utang Baru Rp250 Triliun hingga Kuartal I-2025
Sri Mulyani Tarik Utang Baru Rp250 Triliun hingga Kuartal I-2025
2. Implikasi Tarif Tinggi dan Perlambatan Perdagangan
Pertemuan antara IMF dan Bank Dunia pada hari Jumat (25/4/2025) memberikan fokus pada dampak dari tarif tinggi yang diberlakukan oleh AS, yang telah mencapai titik tertinggi dalam satu abad terakhir. Tarif ini, bersama dengan tindakan balasan dari negara-negara lain, telah menyebabkan perlambatan dalam pertumbuhan perdagangan global, yang saat ini diperkirakan hanya akan tumbuh sebesar 1,5 persen.
“Krisis yang tengah berlangsung akan semakin membebani pertumbuhan pasar berkembang, yang telah mengalami penurunan dari 6 persen dua dekade lalu,” jelas Gill, sebagaimana dilansir dari The Jakarta Post.
Ia menyarankan negara-negara berkembang untuk secara proaktif mengurangi tarif mereka sendiri sebagai upaya untuk menarik investasi asing langsung (FDI) dan mempercepat pemulihan ekonomi, terutama di tengah tekanan inflasi yang terus meningkat.
Beli Utang: Pengertian, Bentuk, Karakteristik dan Manfaatnya
Beli Utang: Pengertian, Bentuk, Karakteristik dan Manfaatnya
3. Solusi Liberalisasi dan Tantangan Mendatang
Dalam wawancara yang dilakukan pada Kamis (24/4/2025), Gill menekankan bahwa membuka akses terhadap perdagangan dan investasi asing merupakan kunci utama untuk mengatasi krisis utang yang membayangi. Negara-negara kecil, khususnya, didorong untuk menyederhanakan proses perdagangan dan investasi, terlepas dari kebijakan ekonomi yang lebih luas seperti yang diterapkan oleh G20.
“Pemotongan tarif dapat memberikan dorongan signifikan bagi pertumbuhan,” kata Gill, seperti dikutip dari Bloomberg.
Akan tetapi, berbagai tantangan tetap ada, termasuk tingkat suku bunga global yang tinggi dan ekspektasi inflasi yang meningkat, yang dapat semakin membebani utang jika negara-negara terpaksa memperpanjang jangka waktu pinjaman mereka. Negara-negara berkembang juga perlu meningkatkan efisiensi dalam penggunaan modal, tenaga kerja, dan energi untuk mengoptimalkan potensi pertumbuhan mereka.
Utang Luar Negeri RI Tembus Rp7.191 Triliun per Februari 2025
Utang Luar Negeri RI Tembus Rp7.191 Triliun per Februari 2025
“`