Ragamutama.com Meningkatnya ketidakpastian akibat kebijakan tarif yang diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah mengguncang pasar. Reaksi pasar menjadi sangat labil, terutama setelah Tiongkok mengumumkan penerapan tarif balasan. Dalam situasi ini, memperkuat ketahanan portofolio melalui diversifikasi yang cerdas dan penekanan pada kualitas aset menjadi sangat krusial.
“Jujur saja, sulit untuk memprediksi langkah selanjutnya. Apakah eskalasi perang dagang ini akan mereda, atau justru berkembang menjadi perang dagang global yang lebih luas dan berpotensi menyeret dunia ke dalam resesi, atau bahkan depresi yang menyerupai dekade 1920-an?” ungkap Chief Investment Officer (CIO) Hou Wey Fook saat menyampaikan pandangannya mengenai prospek ekonomi kuartal II 2025, pada Rabu (9/4).
Menanggapi dinamika pasar negara berkembang, Hou telah merevisi posisinya dari *overweight* menjadi netral di awal tahun ini. Keputusan ini didasari oleh kekhawatiran akan dampak signifikan perang dagang terhadap negara-negara berkembang, khususnya di kawasan Asia. Meski demikian, investor disarankan untuk tetap berhati-hati, selektif, dan bersiap untuk mengeksplorasi kembali potensi pasar negara berkembang ketika indikasi positif mulai bermunculan.
Hingga pukul 18.00, indeks dolar Amerika Serikat (USD) menunjukkan pelemahan sebesar 0,60 persen, berada pada level 102,29. Sementara itu, nilai tukar rupiah, berdasarkan data Bloomberg Market Spot Rate, tercatat pada level Rp 16.872,5 per USD, setelah sebelumnya sempat dibuka melemah 0,3 persen.
Persaingan Ketat, Pendaftar SNBT 2025 di UNESA Tembus 47.251 Peserta
Chief Economist Bank Mandiri, Andry Asmoro, menjelaskan bahwa ekspektasi pasar terhadap pemangkasan suku bunga The Fed (FFR) pada tahun 2025 telah meningkat menjadi 100 bps, bahkan sempat mencapai 125 bps. Pemicunya adalah kebijakan tarif agresif yang diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, yang menimbulkan kekhawatiran akan potensi resesi global.
Presiden AS dari Partai Republik tersebut juga telah menandatangani perintah eksekutif baru yang bertujuan untuk menghidupkan kembali industri batu bara. Langkah ini diklaim akan mengembalikan pekerjaan bagi lebih dari 30 ribu pekerja batu bara AS yang kehilangan pekerjaan dalam dekade terakhir. Keputusan ini diambil meskipun konsumsi batu bara di sektor kelistrikan terus mengalami penurunan akibat peningkatan penggunaan gas alam dan sumber energi terbarukan.
Dari dalam negeri, sentimen positif muncul setelah Presiden Prabowo menginstruksikan kementerian terkait untuk menghapus aturan pembatasan impor. Kebijakan ini mendorong optimisme di kalangan investor terkait prospek kinerja perusahaan dan perekonomian secara keseluruhan.
Usai Sentil Bupati Indramayu Pergi ke Jepang, Dedi Mulyadi Kini Puji Kepemimpinan Lucky Hakim
Asmo memprediksi bahwa pasar keuangan global masih akan mengalami fluktuasi yang signifikan pada pekan ini, di tengah kekhawatiran terkait kebijakan tarif baru yang diterapkan oleh Donald Trump terhadap Tiongkok. Kegagalan negosiasi tarif antara kedua negara meningkatkan risiko perlambatan ekonomi global. “Hal ini mendorong ekspektasi pemangkasan suku bunga yang lebih agresif oleh The Fed pada tahun ini,” jelasnya kepada Jawa Pos.
Di sisi lain, data inflasi AS yang dijadwalkan rilis pada pekan ini menjadi fokus utama. Jika data menunjukkan adanya penurunan inflasi, hal ini dapat memperkuat ekspektasi pasar terhadap pelonggaran moneter yang lebih cepat. Sebaliknya, jika inflasi tetap tinggi, hal ini dapat membatasi ruang gerak The Fed dan meningkatkan ketidakpastian di pasar saham dan obligasi.
“Selain itu, publikasi risalah FOMC juga menjadi sorotan pasar pada pekan ini,” tambahnya.
Di pasar regional, sentimen dari Asia diperkirakan akan cenderung negatif setelah Tiongkok merespons tarif AS, memperburuk ketegangan perdagangan. Investor juga akan mencermati data perdagangan China untuk mengevaluasi prospek pertumbuhan regional. Secara keseluruhan, kombinasi antara tekanan tarif, arah kebijakan suku bunga The Fed, serta data ekonomi penting lainnya diperkirakan akan menyebabkan pasar global berfluktuasi dengan kecenderungan *risk-off* sepanjang minggu ini.
Dari dalam negeri, sentimen positif datang dari rilis data inflasi Indonesia yang tetap terkendali, yaitu sebesar 1,65 persen secara bulanan atau 1,03 persen YoY. Realisasi ini dapat memperkuat optimisme terhadap stabilitas makroekonomi.
Selain itu, pemerintah mengumumkan percepatan belanja fiskal dan program stimulus di sektor riil, yang diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2025. Instruksi Presiden Prabowo untuk menghilangkan aturan pembatasan impor juga memicu optimisme di kalangan investor terhadap prospek perusahaan dan ekonomi secara keseluruhan.
“Secara keseluruhan, ketidakpastian global diperkirakan masih akan menjadi faktor utama yang mendorong volatilitas di pasar keuangan domestik dalam jangka pendek. Kami memperkirakan rupiah akan bergerak di kisaran Rp 16,83-16,945 per USD. Sementara *yield* obligasi pemerintah dengan tenor 10 tahun diperkirakan berada di kisaran 7,1-7,3 persen,” pungkas Asmo.