Sebuah Kisah di Persimpangan Jalan
Matahari baru saja terbit, tetapi Dedi sudah bersiap dengan jaket hijaunya, merapikan helm, dan menyalakan aplikasi ojek online di ponselnya. Seperti biasa, ia akan menghabiskan hari di jalanan, mengantarkan orang-orang menuju tujuan mereka, menyambung hidup dari perjalanan demi perjalanan. Namun, ada satu hal yang selalu menghantui pikirannya setiap tahun menjelang Lebaran: Tunjangan Hari Raya (THR).
Di grup WhatsApp komunitas ojol, perdebatan kembali memanas. Ada yang berpendapat bahwa mereka berhak mendapatkan THR layaknya karyawan perusahaan, mengingat kontribusi besar mereka terhadap platform ride-hailing. Namun, ada pula yang pesimis, mengingat mereka selalu disebut “mitra” dan bukan “pekerja tetap.” Dedi pun bertanya-tanya, benarkah mereka pantas menuntut THR? Atau justru ini adalah tuntutan yang berlebihan dalam sistem ekonomi gig yang memang berbeda?
Kemitraan yang Menguntungkan Satu Pihak
Perusahaan ride-hailing berdalih bahwa pengemudi adalah mitra independen. Dengan status ini, mereka tidak terikat oleh regulasi ketenagakerjaan yang mengharuskan pemberian THR. Namun, kenyataan di lapangan justru menunjukkan bahwa pengemudi tidak memiliki fleksibilitas yang ideal. Tarif ditentukan sepihak, kebijakan sering berubah tanpa negosiasi, dan sistem penalti yang tidak jarang merugikan mereka. Jika perusahaan ingin konsisten dengan konsep kemitraan, mengapa kebijakan yang diambil lebih menyerupai hubungan atasan-bawahan?
Dalam banyak kasus, mitra driver online sebenarnya tidak memiliki kendali penuh atas pekerjaan mereka. Algoritma menentukan jumlah orderan yang masuk, sistem rating menjadi alat kontrol perusahaan terhadap para mitranya, dan pemutusan kemitraan bisa terjadi sepihak. Sederhananya, banyak mitra yang merasa seperti pekerja tanpa status resmi sebagai pekerja. Ini menciptakan dilema besar: jika mereka harus bertanggung jawab layaknya karyawan, mengapa mereka tidak mendapatkan hak seperti karyawan, termasuk THR?
Bisnis Butuh Kejelasan, Bukan Eksploitasi
Dari perspektif bisnis, memberikan THR berarti menambah beban keuangan yang tidak kecil bagi perusahaan ride-hailing. Model bisnis mereka yang mengandalkan efisiensi biaya akan terganggu jika setiap mitra mendapatkan hak seperti karyawan. Namun, bisnis juga butuh kejelasan. Jika pengemudi benar-benar mitra, seharusnya mereka memiliki kebebasan untuk menentukan harga sendiri dan menolak pesanan tanpa risiko sanksi. Jika tidak, maka transparansi status hukum mereka perlu dikaji ulang.
Gig economy memang memberikan fleksibilitas bagi pekerja, tetapi tanpa perlindungan yang memadai, fleksibilitas ini berubah menjadi ketidakpastian. Di negara-negara seperti Inggris dan Amerika Serikat, diskusi mengenai status pekerja gig sudah berlangsung lama. Beberapa negara bahkan mulai menerapkan regulasi ketat agar pekerja gig mendapatkan hak seperti karyawan biasa, termasuk jaminan sosial dan tunjangan.
Di Indonesia, kebijakan ini masih abu-abu. Pemerintah harus bersikap tegas dalam menentukan apakah driver ojek online masuk dalam kategori pekerja atau benar-benar mitra bisnis. Jika terus dibiarkan tanpa kejelasan, perusahaan ride-hailing akan terus mendapatkan keuntungan besar dari model bisnis ini, sementara pengemudi tetap berada dalam kondisi kerja yang rentan.
Perbandingan dengan Negara Lain: Bagaimana Dunia Mengatasi Isu Ini?
Inggris: Mahkamah Agung Inggris dalam putusannya pada tahun 2021 memutuskan bahwa pengemudi Uber bukan mitra, melainkan pekerja yang berhak atas upah minimum, jaminan sosial, dan cuti berbayar. Putusan ini membuat Uber harus mengubah model bisnisnya di negara tersebut.Amerika Serikat: Beberapa negara bagian seperti California sempat mengesahkan Undang-Undang AB5 yang mengharuskan perusahaan ride-hailing memperlakukan driver sebagai karyawan. Namun, Uber dan Lyft melawan aturan ini dan memenangkan referendum yang mengizinkan mereka tetap menggunakan model kemitraan.Spanyol: Pemerintah Spanyol telah menerapkan aturan di mana perusahaan ride-hailing wajib memperlakukan mitra driver sebagai pekerja dengan hak penuh.India: India masih berada dalam perdebatan panjang terkait status pekerja gig. Sejumlah serikat buruh mulai menekan pemerintah untuk memberikan perlindungan yang lebih baik.
Dari contoh di atas, kita bisa melihat bahwa perdebatan tentang status pekerja gig bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Negara-negara maju mulai melindungi pekerja gig, sementara di Indonesia, status mereka masih menggantung.
Solusi: Jalan Tengah yang Fair
Daripada terus bersitegang, perlu ada skema kesejahteraan alternatif yang bisa menjadi solusi bagi kedua pihak. Misalnya:
Bonus Insentif Hari Raya: Daripada THR dalam bentuk formal, perusahaan ride-hailing bisa memberikan bonus berbasis performa menjelang hari raya.Program Dana Sosial: Dibentuk dana kolektif yang dapat digunakan pengemudi dalam kondisi darurat atau kebutuhan hari raya.Asuransi dan Perlindungan Kesejahteraan: Jika THR sulit diberikan, maka setidaknya pengemudi harus mendapatkan perlindungan kesehatan dan kecelakaan yang lebih baik.Regulasi yang Jelas dari Pemerintah: Pemerintah harus memperjelas status hukum pekerja gig agar tidak terus menjadi area abu-abu.
Kesimpulan: Membangun Ekosistem yang Berkeadilan
Pada akhirnya, perdebatan soal THR untuk ojol adalah cerminan dari bagaimana hukum dan realitas bisnis seringkali berjalan di jalur yang berbeda. Jika perusahaan benar-benar ingin mengandalkan mitra sebagai bagian dari ekosistemnya, maka ada kewajiban moral untuk memastikan kesejahteraan mereka. Namun, jika tuntutan THR dianggap sebagai hak penuh, maka perusahaan juga berhak merevisi seluruh skema kemitraan menjadi hubungan kerja yang lebih jelas.
Pemerintah harus mengambil peran lebih aktif dalam menentukan nasib pekerja gig di Indonesia. Jika tidak, akan terus terjadi eksploitasi terselubung di mana mitra dianggap sebagai pekerja dalam kewajiban, tetapi bukan dalam hak.
Pertanyaannya, apakah kita siap mengubah seluruh sistem ride-hailing di Indonesia hanya demi satu tunjangan? Ataukah kita bisa menemukan jalan tengah yang adil tanpa harus merusak esensi dari ekonomi digital?