Upaya pencarian tanpa henti terus dilakukan oleh tim penyelamat demi menemukan harapan di tengah puing-puing gempa berkekuatan 7,7 magnitudo yang melanda Myanmar pada hari Jumat (28/3). Konsekuensi dari bencana alam ini sangat memilukan, dengan laporan terbaru mencatat setidaknya 1.644 jiwa telah kehilangan nyawa dan lebih dari 3.400 orang menderita luka-luka.
Kantor berita AFP melaporkan bahwa para penyelamat, seringkali dengan peralatan seadanya bahkan hanya bermodalkan tangan kosong, berjuang melawan waktu untuk mengevakuasi para korban yang masih terperangkap di bawah reruntuhan bangunan yang hancur.
Secercah harapan muncul ketika seorang wanita berusia 30 tahun, Phyu Lay Khaing, berhasil ditarik dari reruntuhan apartemen Sky Villa Condominium di Mandalay setelah lebih dari 30 jam terkubur di dalamnya. Suaminya, Ye Aung, dengan sigap membawanya ke rumah sakit terdekat.
“Kami sungguh bersyukur bahwa dia masih selamat,” ungkap Ye Aung seperti yang dikutip dari Guardian pada hari Minggu (30/1).
- PLN Siagakan SPKLU untuk Keperluan Mudik Pengguna Kendaraan Listrik
- Mengapa Gen Z Lebih Memilih iPhone: Pertimbangan Sosial dan iMessage
- Banjir Landa Jalur Kereta Api Daop 4 Semarang dan Daop 2 Bandung, Pembatalan Tiket KAI Dapat Dikembalikan
Di Bangkok, Thailand, Gubernur Chadchart Sittipunt mengonfirmasi bahwa pencarian di gedung 30 lantai yang ambruk masih terus berlangsung. “Kami yakin masih ada harapan untuk menemukan korban selamat. Kami akan melakukan segala upaya untuk menyelamatkan mereka,” tegasnya pada Sabtu malam (30/3).
Pihak berwenang telah mengerahkan alat berat seperti derek dan ekskavator, serta menggunakan drone dan anjing pelacak terlatih untuk mendeteksi tanda-tanda kehidupan. Hingga saat ini, setidaknya 10 orang dilaporkan meninggal dunia di Bangkok, sementara puluhan lainnya masih dinyatakan hilang.
Masih Banyak Korban Gempa yang Belum Ditemukan
Pemerintah junta Myanmar menyampaikan laporan yang mengkhawatirkan bahwa selain jumlah korban jiwa yang terus bertambah, banyak warga yang masih belum ditemukan. Pemerintah juga telah menetapkan status darurat di enam wilayah yang terdampak paling parah dan secara resmi meminta bantuan internasional. “Kami membuka pintu bagi negara manapun dan organisasi apapun untuk memberikan bantuan dalam upaya pemulihan yang sangat penting ini,” kata pemimpin junta, Min Aung Hlaing.
Respon internasional mulai berdatangan, dengan Rusia dan Cina yang telah mengirimkan tim penyelamat serta pasokan bantuan yang mendesak. India mengirimkan tim pencari dan medis untuk memberikan dukungan, sementara Malaysia berencana mengirimkan 50 relawan pada hari Minggu (31/3).
Namun, upaya penyelamatan menghadapi tantangan yang signifikan, termasuk infrastruktur yang rusak parah, jaringan komunikasi yang terputus, serta konflik internal yang terus berlanjut di Myanmar sejak kudeta militer pada tahun 2021.
Badan Pangan Dunia (WFP) menekankan bahwa respons terhadap bencana ini sangat kompleks. “Memahami sepenuhnya dampak gempa ini akan membutuhkan waktu berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu,” ujar Direktur WFP untuk Myanmar, Michael Dunford.
Laporan dari Kantor PBB untuk Koordinasi Kemanusiaan (UNOCHA) mengungkapkan bahwa banyak rumah sakit dan fasilitas kesehatan yang mengalami kerusakan parah, yang menyebabkan kekurangan pasokan medis yang kritis.
Selain itu, infrastruktur penting seperti jembatan, jalan, universitas, hotel, serta situs bersejarah dan keagamaan juga mengalami kerusakan yang signifikan. Gempa ini merupakan yang terkuat yang melanda Myanmar dalam beberapa dekade terakhir, dan diikuti oleh serangkaian gempa susulan, termasuk gempa berkekuatan 6,7 magnitudo.
Bantuan dari Komunitas Internasional Mulai Tiba
Bantuan internasional semakin mengalir ke Myanmar. Pemerintah Inggris telah menjanjikan bantuan hingga £10 juta, Uni Eropa mengalokasikan dana darurat sebesar €2,5 juta, dan PBB telah menyiapkan dana awal sebesar $5 juta untuk mendukung upaya pemulihan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga telah bersiap untuk meningkatkan dukungan mereka dalam menghadapi ancaman serius terhadap kehidupan dan kesehatan masyarakat.
Di tengah situasi darurat ini, banyak warga Mandalay yang memilih untuk tidur di luar ruangan karena rumah mereka telah hancur atau karena mereka takut akan gempa susulan. Sementara itu, organisasi bantuan kemanusiaan seperti Norwegian Refugee Council mendesak pemerintah junta untuk memberikan akses tanpa hambatan bagi para pekerja kemanusiaan guna mempercepat distribusi bantuan yang sangat dibutuhkan.
Tragedi ini terjadi pada saat banyak lembaga bantuan sedang mengurangi operasi mereka akibat pemangkasan dana yang diberlakukan oleh pemerintahan Donald Trump terhadap Badan Pembangunan Internasional AS (USAID). Meskipun demikian, Trump menyatakan bahwa AS akan membantu Myanmar, meskipun belum ada komitmen konkret yang diumumkan secara resmi.
Situasi di Myanmar tetap sangat genting, dengan upaya penyelamatan yang terus dilakukan di tengah keterbatasan yang ada. Komunitas internasional menghadapi tantangan besar dalam memberikan bantuan kepada masyarakat Myanmar yang terkena dampak parah akibat bencana yang dahsyat ini.