Museum Louvre di Paris yang sangat terkenal sudah perlu direnovasi. Tapi perbaikan bukanlah satu-satunya tantangan yang harus dihadapi museum-museum di Eropa agar tetap menarik.
Jika Anda belum pernah ke Louvre, maka Anda belum benar-benar melihat Paris – mungkin itulah yang dipikirkan oleh sembilan juta pengunjung museum setiap tahunnya saat mereka berjalan melewati gedung museum berusia 230 tahun itu sembari melewati kerumunan yang padat untuk sekilas melihat lukisan Mona Lisa. Sementara itu, kondisi bangunan mulai memburuk – dindingnya lembab, karya seninya terancam rusak – dan pintu masuk di bawah piramida kaca, ikon museum itu, terlalu kecil untuk menampung kerumunan pengunjung yang terus bertambah. Presiden Prancis Emmanuel Macron telah menginstruksikan renovasi menyeluruh. Sampai tahun 2031, bangunan tua museum akan memiliki tampilan baru dan modern.
Museum untuk masa depan
Memperbarui museum untuk masa depan dan berusaha terus kompetitif menarik pengunjung internasional, juga merupakan PR besar untuk Berlin, Ibukota Jerman. Tiga juta orang mengunjungi Museumsinsel di kota tersebut setiap tahunnya. Museumsinsel adalah sebuah kompleks bangunan berarsitektur klasik dan modern yang merupakan Situs Warisan Dunia UNESCO. Usia telah menggerogoti bangunan-bangunan Museumsinsel sejak lama. Pada tahun 1999, Stiftung Preußischer Kulturbesitz (SPK), yang mengelola museum-museum tersebut, membuat rencana renovasi menyeluruh untuk masing-masing bangunan. Sebuah proyek yang ternyata menelan biaya miliaran Euro.
Tiga dari lima bangunan bersejarah di Museumsinsel telah selesai direnovasi dan dibuka kembali: Alte Nationalgalerie, Museum Bode, dan Neues Museum. Sejak 2019, James-Simon-Galerie yang modern berfungsi sebagai ‘pintu masuk’ bagi pengunjung Museumsinsel.
Pekerjaan renovasi Pergamonmuseum dimulai pada tahun 2012 dan dijadwalkan akan berlangsung hingga setidaknya tahun 2037. Karya seni oriental yang terkenal seperti Altar Pergamon dan Gerbang Ishtar Biru – keduanya merupakan daya tarik pengunjung – akan digudangkan selama tahun-tahun mendatang.
Lebih dari sekadar tempat swafoto yang keren
Ada alasan mengapa renovasi museum membutuhkan waktu yang lama. Bangunan-bangunan museum yang rusak akibat iklim, cuaca, dan usia, biasanya merupakan bangunan cagar budaya. Ini berarti restorasi harus mengikuti persyaratan yang ketat dan pada saat yang sama, bangunan tersebut harus direstorasi secara berkelanjutan, minim jejak karbon, dan dibangun secara modern. SPK juga dikritik karena pekerjaan konstruksi Pergamonmuseum yang sangat panjang dan ekstensif: publik akan kehilangan kesempatan untuk melihat kekayaan budaya di museum itu untuk waktu yang sangat lama.
Namun, setelah selesai, SPK menjanjikan ruang pameran yang lebih besar, berbagai program dengan berbagai topik seperti keragaman dan keluarga, serta lebih banyak tur dengan pemandu untuk anak-anak dan remaja dan aksesibilfitas untuk kaum disabilitas. Dengan tampilan kontemporer, semua kelompok usia dan orang-orang dari semua tingkat pendidikan dapat dijangkau. Pengunjung muda pun mendapatkan lebih dari sekadar tempat keren untuk berswafoto di Instagram.
Museum untuk semua orang
Sejak pandemi virus corona, ketika museum ditutup dan mengalami kerugian besar, pengelola museum menyadari bahwa pengunjung perlu dijangkau dengan penawaran alternatif dan museum bukanlah hanya tempat ‘berziarah’ bagi para pencinta seni. Banyak orang menganggap kunjungan ke museum sebagai kegiatan rekreasi, terutama pada sore hari yang hujan atau bagian dari perjalanan wisata mereka. Konsep yang baik adalah dengan melihat museum tidak hanya sebagai pusat pendidikan, tetapi juga sebagai tempat pertemuan dengan nuansa khusus.
Banyak kota telah menyelenggarakan “Long Nights the Museum” (Malam Panjang di Museum) selama beberapa dekade – dimana pengunjung dapat berjalan-jalan di museum pada malam hari dengan harga yang lebih murah, makan, minum, mengobrol, mendengarkan konser, atau bahkan menari diiringi DJ dan musik. Museumsinsel di Berlin juga menyelenggarakan hal yang serupa.
Museum lain, seperti Badisches Landesmuseum di Karlsruhe, mengandalkan kesetiaan pelanggan pengguna langganan, bukan dengan tiket masuk. Hal ini menghilangkan perasaan bahwa pengunjung harus melihat semuanya dalam satu kali kunjungan – mereka yang ingin bisa datang beberapa kali dan dapat menghindari antrean panjang. Di sisi lain, penawaran tambahan multimedia dan interaktif sudah mapan.
Pentingnya media sosial
Eike Schmidt, dari Jerman, telah menangani masalah antrian selama menjabat sebagai direktur Galeri Uffizi (2015 – 2023) di Florence. Dia bertekad untuk mengubah sistem masuk museum terkenal itu. Dengan bantuan para ahli IT, ia mengembangkan sistem akses masuk yang canggih. Penggemar seni dapat memesan slot waktu untuk kunjungan mereka secara online. Program dan algoritme mengontrol arus pengunjung dengan menentukan bagaimana orang bergerak dan kapan, atau berapa lama mereka berada di titik-titik tertentu. Harga tiket masuk lebih tinggi pada musim ramai dan lebih rendah pada musim sepi. “Kami memiliki lebih sedikit pengunjung dari bulan Juni hingga Oktober. Namun kami berhasil mengimbanginya pada musim sepi pengunjung,” kata Schmidt dalam sebuah wawancara dengan kantor berita Jerman DPA pada tahun 2019. Dia mencapai rekor jumlah pengunjung dengan konsep tersebut.
Terlebih lagi, Schmidt telah membuat museum ini dapat diakses secara digital. “Ketika saya tiba, Uffizi bahkan tidak memiliki situs web sendiri, apalagi kanal media sosial,” kata Schmidt pada tahun 2019. Saat ini, saluran Instagram Uffizi memiliki lebih dari 800.000 pengikut.
Hampir semua museum kini menyadari peran penting media sosial. Bahkan TikTok begitu didayagunakan oleh museum-museum klasik seperti Uffizi (dengan 170.000 pengikut), Rijksmuseum di Amsterdam (200.000 pengikut), atau Museum of Modern Art (MoMa) di New York (300.000 pengikut). Salah satu dari beberapa museum Jerman yang memiliki saluran TikTok yang sukses adalah Museum für Naturkunde di Berlin – dengan hampir 56.000 pengikut.
Banyak museum yang bekerja sama dengan influencer untuk meluaskan jangkauan mereka. Salah satunya adalah Jette Lübbehüsen, yang bekerja untuk Museum Van Gogh di Amsterdam. Salah satu formatnya yang paling sukses adalah “Famous Painting as Outfit”, di mana ia menunjukkan dirinya dalam pakaian estetik yang terinspirasi oleh karya seni.
Meskipun Louvre belum memiliki saluran TikTok, museum ini diiklankan di platform tersebut oleh ribuan pengguna TikTok – termasuk gambar kerumunan orang yang mengambil foto Mona Lisa dengan ponsel mereka. Di Louvre yang baru setelah renovasi, pengunjung akan memiliki lebih banyak ruang – karena lukisan terkenal Mona Lisa karya Leonardo da Vinci (1452-1519) itu akan memiliki ruangan tersendiri.
Diadaptasi dari artikel DW bahasa Jerman.
ind:content_author: Silke Wünsch