Tajikistan, negeri yang jarang disebut dalam daftar destinasi wisata dunia, menyimpan banyak kejutan bagi para pelancong yang haus akan sejarah, budaya, dan keindahan alam Asia Tengah. Salah satu kota yang menawarkan pengalaman perjalanan unik adalah Istaravshan, kota tua yang telah menyaksikan pergolakan berbagai peradaban sejak ribuan tahun lalu.
Setelah sempat mampir melihat peninggalan tambang batubara dan emas warisan zaman Soviet di Zheravshan, perjalanan dilanjut melalui jalan dan kawasan yang bervariasi, dari jalan mulus di pegunungan yang berliku hingga melewati lembah subur dengan pohon-pohon ceri yang berbuah lebat di tepi jalan. Bu dokter Ida dan Liliek serta mas Kasan tidak dapat menahan diri untuk berhenti dan memetik buah tersebut untuk langsung dicicipi, rasanya asam-asam manis.
“Semoga kita tidak sakit perut,” itulah doa kami bersama.
Tidak lama kemudian perjalanan kembali melewati kawasan berbukit yang tampak subur dan hijau serta melewati jalan raya mulus dengan gardu tol.
Sekitar pukul 3 sore akhirnya kami tiba di staravshan, sebuah kota kuno dengan sejarah lebih dua setengah milenia. Disini, kami mencoba meresapi jejak sejarah yang tertinggal di balik tembok salah satu bentengnya yang gagah dan terletak di atas bukit. Kesana lah kita bertandang di siang menjelang sore itu
Mug Teppe dan Benteng Kalan: Dua Nama untuk Satu Tempat?
Salah satu ikon utama Istaravshan adalah benteng yang dikenal sebagai Mug Teppe. Namun, beberapa sumber juga menyebutnya sebagai Benteng Kalan. Nama “Mug Teppe” sendiri merujuk pada bukit tempat benteng ini berdiri, sedangkan “Benteng Kalan” berarti “benteng besar” dalam bahasa Tajik dan sering digunakan untuk menyebut struktur pertahanan utama di berbagai kota bersejarah.
Mug Teppe merupakan benteng kuno yang telah berdiri selama lebih dari 2500 tahun. Tempat ini pernah menjadi pusat pertahanan penting yang mengalami berbagai serangan besar, termasuk oleh Aleksander Agung pada 329 SM dan bangsa Arab pada tahun 772 M. Sayangnya, hanya sedikit sisa asli dari struktur benteng ini yang masih bertahan.
Menurut Mas Agus, untuk memperingati hari jadi Istaravshan yang ke-2500 pada tahun 2002, gerbang utama benteng ini dibangun kembali dengan gaya modern, lengkap dengan kubah biru yang mencolok dan menara kembar. Hal yang sama sempat saya baca di buku Garis Batas. Yuk kita lihat apakah kubah biru itu masih ada?
Menaiki Bukit Mug Teppe: Deretan Patung Prajurit Legendaris
Perjalanan menuju Mug Teppe tidak hanya menawarkan pemandangan kota Istaravshan dari ketinggian, tetapi juga dihiasi oleh deretan patung prajurit yang berdiri gagah di sepanjang jalan menuju benteng. Kami mendaki bukit dengan mobil, menyusuri jalan yang berkelok di lereng yang curam. Di sepanjang jalan, patung-patung prajurit mulai muncul satu per satu, menciptakan suasana seolah-olah kami sedang memasuki kawasan militer kuno.
Patung-patung ini menggambarkan berbagai tokoh penting dalam sejarah Tajikistan dan Asia Tengah. Beberapa dari mereka memegang pedang, tombak, atau busur, mencerminkan keberanian para pejuang yang pernah melindungi tanah ini dari serangan musuh. Yang menarik, masing-masing patung memiliki ekspresi wajah yang berbeda-beda, seakan-akan sedang mengawasi siapa pun yang melewati jalan ini.
Kami berhenti beberapa kali untuk mengambil foto dan mengagumi detail setiap patung. Di kejauhan, kota Istaravshan terbentang luas, dengan gedung-gedung yang tampak kecil dari atas bukit. Sementara itu, pegunungan yang mengelilingi kota ini menciptakan latar belakang dramatis yang semakin menambah kesan historis tempat ini.
Hanya Melihat Gerbang, Tidak Masuk ke Dalam
Setelah melewati deretan patung, akhirnya kami tiba di depan gerbang Mug Teppe yang megah. Dari dekat, gerbang ini tampak lebih modern dibandingkan dengan sisa-sisa dinding benteng yang sudah mulai terkikis oleh waktu. Kubah birunya ternyata sudah berubah warna kini warnanya merah bata kecoklatan sama dengan dinding benteng. Sementara dua menara di sisi gerbang tampak kokoh berdiri.
Kami memutuskan untuk tidak masuk ke dalam benteng dan hanya mengamati dari luar. Alasannya sederhana: sebagian besar struktur di dalamnya adalah tanah lapang dengan sedikit sisa tembok lama yang tersisa. Juga kami harus mengejar waktu agar sampai di Khujand tidak terlalu sore. Cukup dari luar, kami sudah bisa menikmati esensi sejarah tempat ini tanpa harus menaiki puluhan anak tangga menuju gerbang dan kemudian ke bagian dalam benteng.
Selain itu, dari titik ini, kami sudah mendapatkan sudut pandang yang sempurna untuk melihat pemandangan kota di bawah. Angin sepoi-sepoi yang bertiup di atas bukit memberikan kesejukan setelah perjalanan panjang kami, membuat momen ini terasa semakin istimewa.
Meski hanya menyaksikan Mug Teppe dari luar, perjalanan ke benteng ini tetap menjadi pengalaman yang berkesan. Patung-patung prajurit di sepanjang jalan memberikan gambaran akan kejayaan masa lalu Istaravshan, sementara gerbang megah benteng ini menjadi simbol ketahanan sejarah kota ini.
Perjalanan ke Istaravshan mengajarkan saya bahwa sejarah tidak selalu ditemukan dalam bangunan yang utuh, tetapi juga dalam lanskap, dalam cerita yang diwariskan, dan dalam jejak kaki yang kita tinggalkan di tanah yang telah menyaksikan ribuan tahun peradaban. Seperti yang ditulis Agustinus Wibowo dalam Garis Batas, perjalanan bukan hanya tentang tempat yang kita kunjungi, tetapi juga bagaimana kita memahami makna di balik batas-batas geografis dan sejarah yang kita lewati.
Relief di Kaki Benteng: Kisah Peradaban dalam Ukiran
Saat kami berhenti di depan gerbang Mug Teppe dan menikmati pemandangan kota Istaravshan dari ketinggian, ada satu detail menarik yang tidak bisa dilewatkan: deretan relief ukuran besar yang menghiasi kaki benteng. Relief ini bukan sekadar hiasan, melainkan sebuah narasi visual yang mengisahkan sejarah dan kebanggaan rakyat Tajikistan.
Dari kejauhan, relief tersebut tampak seperti pahatan batu yang menggambarkan adegan pertempuran dan kehidupan masyarakat di masa lalu. Saat kami mendekat, detail ukiran mulai terlihat lebih jelas: prajurit berkuda dengan pedang terhunus, pasukan yang bersiap menghadapi musuh, serta tokoh-tokoh penting yang seolah sedang memimpin rakyatnya.
Relief ini mencerminkan kejayaan masa lalu Istaravshan sebagai salah satu kota penting dalam Jalur Sutra. Adegan prajurit yang ditampilkan di sini bukanlah kebetulan—mereka menggambarkan perlawanan gigih penduduk lokal terhadap berbagai invasi, termasuk serangan Aleksander Agung pada 329 SM dan pasukan Arab pada abad ke-8.
Selain adegan peperangan, ada juga bagian relief yang menggambarkan kehidupan sehari-hari masyarakat: pedagang yang membawa barang dagangan, para pengrajin yang bekerja di bengkel mereka, serta orang-orang yang tengah beribadah. Ini menunjukkan bahwa Istaravshan tidak hanya dikenal sebagai kota pertahanan, tetapi juga sebagai pusat perdagangan dan kebudayaan di Asia Tengah.
Yang paling menarik adalah bagian relief yang memperlihatkan sosok seorang pemimpin dengan tangan terangkat, seolah memberi semangat kepada rakyatnya. Bisa jadi ini adalah penggambaran seorang raja atau panglima perang yang pernah berperan penting dalam sejarah kota ini.
Relief ini bukan hanya sekadar karya seni, tetapi juga sebuah pengingat akan identitas dan kebanggaan nasional. Di Tajikistan, sejarah sering kali diceritakan kembali melalui seni dan arsitektur, termasuk melalui pahatan seperti ini. Dengan melihat relief ini, saya merasa seperti sedang membaca kisah yang tertulis di batu—sebuah kisah yang telah melewati ribuan tahun namun tetap hidup dalam ingatan kolektif masyarakat Istaravshan.
Kami menghabiskan beberapa saat di depan relief ini, mengamati setiap detail dan membayangkan kisah-kisah yang terkandung di dalamnya. Angin di atas bukit bertiup sejuk, seolah membawa bisikan dari masa lalu, mengingatkan kami bahwa tempat ini bukan sekadar situs wisata, tetapi juga saksi bisu dari perjalanan panjang sebuah peradaban.
Istaravshan mungkin bukan destinasi wisata populer, tetapi bagi mereka yang mencari jejak sejarah yang masih hidup di antara pegunungan Asia Tengah, kota ini adalah permata yang layak ditemukan.
Setelah hampir satu jam menikmati suasana masa lalu di benteng hasl rekonstruksi pada awal abad XXI, kami kemudian melanjutkan perjalanan untuk mampir ke satu lagi kota yang tidak kalah menarik di Tajikistan, Khujand.