“`html
Ragamutama.com – JAKARTA. Nilai tukar rupiah menunjukkan kecenderungan melemah, meskipun kekuatan dolar Amerika Serikat (AS) terlihat meredup.
Berdasarkan data dari Bloomberg, pasangan mata uang USD/IDR telah mengalami penurunan lebih dari 4% sejak awal tahun 2025. Pada hari Jumat (25/4), rupiah diperdagangkan pada level Rp 16.829 per dolar AS, menguat 0,25% dibandingkan perdagangan hari sebelumnya. Walaupun demikian, penguatan ini masih tertinggal dibandingkan dengan mata uang negara-negara Asia lainnya. Sementara itu, indeks dolar (DXY) AS berada di bawah level 100, tepatnya 99,9. Namun, angka ini mencerminkan kenaikan sebesar 0,59% dari minggu lalu.
Josua Pardede, Kepala Ekonom Bank Permata, berpendapat bahwa tekanan terhadap mata uang Garuda ini secara umum dipengaruhi oleh meningkatnya kekhawatiran terkait perang dagang antara AS dan China. Kondisi ini mendorong para investor untuk lebih berhati-hati dalam memasuki pasar keuangan domestik.
Selain itu, permintaan dan harga komoditas ekspor utama seperti batubara dan minyak sawit mentah (CPO) mengalami penurunan. Penurunan ini menimbulkan ekspektasi bahwa neraca transaksi berjalan Indonesia akan mengalami pelebaran, yang mana permintaan terhadap mata uang asing akan meningkat seiring dengan nilai impor yang lebih tinggi dibandingkan ekspor.
“Bahkan, kinerja rupiah sepanjang bulan April ini telah mengalami depresiasi lebih dari 1,60%. Maka, tidak mengherankan jika rupiah menjadi mata uang dengan performa terburuk di antara mata uang Asia lainnya,” ujar Josua kepada Kontan.co.id, Jumat (25/4).
Rupiah Menguat di Pekan Ini, Simak Prospek di Pekan Depan
Ke depannya, Josua memperkirakan bahwa salah satu faktor yang dapat mendorong kekuatan rupiah adalah proyeksi pemotongan suku bunga yang lebih agresif dari The Fed. Jika proyeksi ini meningkat, maka hal ini dapat menjadi sentimen positif bagi rupiah. “Persis seperti yang terjadi pada perdagangan hari ini,” imbuh Josua.
International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia (World Bank), dalam laporan outlook edisi April 2025, sepakat untuk memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini. Keduanya sama-sama menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,7%. Penurunan ini dilatarbelakangi oleh kekhawatiran terhadap perlambatan ekonomi di Asia.
Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), David Samual, menyampaikan bahwa penurunan proyeksi dari sejumlah lembaga keuangan ini tidak akan terlalu berpengaruh secara signifikan. Terlebih lagi, sebagian besar perhatian pasar saat ini tertuju pada eskalasi perang dagang. Artinya, pasar telah memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi global maupun Indonesia sebagian besar akan dipengaruhi oleh sejauh mana ketegangan perdagangan ini berlangsung.
“Secara prospek, dalam jangka menengah ini saya kira akan cenderung stabil menguat,” ungkap David kepada Kontan.co.id, Jumat (25/4).
Diharapkan, permintaan dolar terkait pembayaran dividen akan mulai mereda pada kuartal II. Selain itu, terdapat ekspektasi pemulihan harga komoditas dan pasar modal setelah penundaan tarif impor oleh Presiden AS Donald Trump selama 90 hari ke depan, termasuk pada negara-negara emerging market. “Sehingga, potensi pemulihan masih mungkin terjadi, tetapi tergantung pada sentimen global maupun domestik ke depannya,” jelasnya.
Lebih lanjut, Ekonom Senior KB Valbury Sekuritas, Fikri C. Permana, menyoroti bahwa kegagalan rupiah dalam memanfaatkan momentum depresiasi dolar AS disebabkan oleh fundamental domestik yang lemah, baik dari sisi moneter maupun fiskal, dalam menopang mata uang tersebut.
Menurutnya, Fikri mengidentifikasi empat faktor utama yang menyebabkan rupiah terpuruk dan sulit untuk bangkit. Pertama, adanya keterbatasan ruang intervensi Bank Indonesia (BI), baik dari sisi dana maupun aspek lainnya.
“Yang paling terlihat pada saat Lebaran kemarin, di mana tiba-tiba saja rupiah bergerak melampaui Rp 17.000 per dolar AS di pasar NDF atau ketika pasar domestik libur. Artinya, intervensi BI benar-benar menjadi kontributor utama dalam menjaga stabilitas rupiah. Akibatnya, timbul kekhawatiran akan menipisnya cadangan devisa BI. Situasi seperti inilah yang membuat rupiah sulit terapresiasi,” terang Fikri kepada Kontan.co.id, Jumat (25/4).
Kedua, kekhawatiran akan defisit fiskal yang cukup besar pada tahun ini, bahkan berpotensi melampaui target 2,5% dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Ketiga, pola komunikasi dari sektor pemerintah maupun moneter yang dinilai kurang positif.
“Khususnya di sektor pemerintah. Ini cukup krusial, karena walaupun secara data dan kondisi ekonomi masih terjaga dibandingkan negara lainnya, tetapi dengan pola komunikasi yang kurang positif, hal ini dapat mendorong investor asing untuk melakukan aksi jual (sell off),” jelas Fikri.
Terakhir, tingginya tingkat arus modal asing keluar di pasar ekuitas dan beberapa pemangkasan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia oleh beberapa lembaga juga turut berkontribusi dalam menekan nilai rupiah.
“Secara keseluruhan, fundamental Indonesia, baik dari sisi moneter maupun fiskal, belum cukup kuat untuk menopang rupiah dibandingkan dengan negara Asia lainnya,” simpul Fikri.
Jika melihat performa mata uang Asia lainnya, seperti ringgit Malaysia (MYR), yen Jepang (JPY), dan dolar Singapura (SGD), yang secara year-to-date (ytd) telah berbalik arah atau rebound terhadap dolar AS, rupiah memang menunjukkan kinerja yang kurang memuaskan.
Dalam proyeksinya, Fikri menyebutkan bahwa jika negosiasi perang dagang menghasilkan hasil positif, pemerintah bersedia memperbaiki pola relasi dengan investor global dengan lebih komunikatif, dan melakukan reorganisasi di sektor fiskal maupun moneter, maka tidak menutup kemungkinan nilai tukar rupiah akan terapresiasi. “Saya optimis akan bergerak di kisaran Rp 15.800 – Rp 15.900 per dolar AS hingga akhir tahun,” tutup Fikri.
Namun, jika terjadi sebaliknya, maka potensi untuk bergerak melampaui Rp 17.000 per dolar AS sangat terbuka. Dalam perkiraannya, rupiah akan bergerak di kisaran Rp 17.200 – Rp 17.300 per dolar AS.
Sejak Awal Tahun Rupiah Keok Dibanding Mayoritas Mata Uang Asia, Ini Sebabnya
“`