Ragamutama.com, Jakarta – Listya Endang Artiani, seorang dosen sekaligus peneliti dari Universitas Islam Indonesia (UII), memberikan analisis perbandingan antara kondisi nilai tukar rupiah saat ini dengan situasi krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998. Beliau menyoroti bahwa level e-Rate yang mencapai Rp 16.950 per dolar AS hampir menyamai, bahkan sedikit melampaui, puncak krisis moneter jika dilihat secara nominal.
“Saat puncak krisis moneter tahun 1998, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sempat mencapai angka Rp 16.800 hingga Rp 17.000 di pasar spot. Dalam konteks e-Rate hari ini, dengan kurs jual mencapai Rp 16.950, angka ini secara nominal sudah sangat mendekati, bahkan sedikit melewati puncak krismon (krisis moneter) secara nominal,” ungkap Listya Endang kepada Tempo.co pada Senin, 7 April 2025.
Namun, Listya menambahkan bahwa penting untuk diingat, secara riil, daya beli masyarakat dan struktur ekonomi Indonesia saat ini jauh lebih baik dibandingkan tahun 1998. Menurutnya, cadangan devisa negara lebih kuat, sistem perbankan jauh lebih sehat, serta tersedia instrumen stabilisasi nilai tukar yang lebih modern.
“Jadi, meskipun angka nominalnya mirip, fundamental ekonomi kita saat ini tidak seburuk pada tahun 1998,” jelas dosen Fakultas Bisnis dan Ekonomika UII tersebut.
Listya juga menyoroti bahwa nilai rupiah saat ini merupakan yang terendah sejak krisis moneter 1998. Berdasarkan catatan e-Rate BCA yang diolahnya dari tanggal 28 Maret hingga 7 April 2025, kurs jual dolar AS pada 7 April 2025 mencatat rekor baru sebesar Rp 16.950, yang diperkirakan menjadi titik tertinggi sejak krisis 1998.
“Bahkan, jika dibandingkan dengan periode pandemi Covid-19 (2020), nilai ini lebih tinggi. Ini mengindikasikan bahwa tekanan terhadap rupiah bukanlah ilusi, melainkan sesuatu yang nyata dan perlu diwaspadai,” tegas Listya.
Lebih lanjut, Listya menekankan bahwa rupiah bukan hanya sekadar simbol moneter, melainkan juga mencerminkan kepercayaan pasar terhadap kondisi ekonomi. Menjaga stabilitas nilai tukar bukan hanya menjadi tanggung jawab Bank Indonesia, tetapi juga memerlukan koordinasi lintas sektor, mulai dari kebijakan fiskal, moneter, hingga diplomasi ekonomi.
“Fluktuasi memang bisa terjadi, tetapi membiarkannya berubah menjadi krisis adalah pilihan yang bisa dan harus dihindari,” kata Listya.
Dalam teori ekonomi moneter, Listya menjelaskan bahwa nilai tukar mencerminkan interaksi antara penawaran dan permintaan valuta asing. Teori Purchasing Power Parity (PPP) menyatakan bahwa dalam jangka panjang, nilai tukar akan bergerak untuk menyetarakan daya beli antar negara. Namun, dalam jangka pendek, nilai tukar sangat dipengaruhi oleh persepsi, ekspektasi, dan arus modal.
Listya Endang menjelaskan lebih lanjut, fenomena depresiasi rupiah yang tajam dalam beberapa hari terakhir dapat dijelaskan melalui teori Interest Rate Parity (IRP), yang menyatakan bahwa perbedaan tingkat suku bunga antara dua negara akan memengaruhi arus modal. Ketika suku bunga The Fed naik sementara suku bunga domestik tetap, investor cenderung menarik modal dari pasar domestik untuk mendapatkan imbal hasil yang lebih tinggi, sehingga memicu permintaan dolar dan menekan nilai rupiah.
Sementara itu, dari sudut pandang ekonomi politik, volatilitas nilai tukar mencerminkan adanya ketegangan antara stabilitas makroekonomi dan kepentingan politik jangka pendek.
Listya mengungkapkan bahwa pemerintah mungkin enggan menaikkan suku bunga karena khawatir akan menekan konsumsi dan investasi domestik. Namun, sikap ini justru dapat menyebabkan hilangnya kredibilitas di mata pasar, yang dampaknya bisa jauh lebih besar. “Di sini jelas terlihat bahwa kebijakan moneter tidak pernah netral secara politik,” ujarnya.
Selain itu, Listya juga menguraikan pendekatan teori kebijakan publik yang menekankan pentingnya koordinasi kebijakan antara bank sentral dan otoritas fiskal. Dalam situasi tekanan eksternal, kurangnya keterpaduan kebijakan dapat memperburuk sentimen negatif. Tanpa komunikasi strategis yang jelas, Listya menambahkan, pasar akan bertindak berdasarkan asumsi terburuk, bukan pada data yang ada.
“Dengan memahami interaksi antara faktor-faktor moneter, ekspektasi politik, dan respons kebijakan, kita dapat melihat bahwa krisis nilai tukar bukan semata-mata fenomena angka, melainkan merupakan hasil dari struktur dan tindakan kebijakan yang kompleks,” pungkas Listya.
Pilihan Editor: Nilai Rupiah Sentuh Rp 17 Ribu Per Dolar AS, Peneliti UII Soroti Penyebab dan Bahayanya