Ragamutama.com, Jakarta – Presiden terpilih, Prabowo Subianto, baru-baru ini memberikan arahan penting terkait kebijakan impor. Ia menginstruksikan penghapusan sistem kuota impor, terutama untuk komoditas esensial yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat, seperti daging. “Siapa pun yang memiliki kemampuan dan keinginan untuk melakukan impor, dipersilakan, tanpa batasan. Tidak ada lagi penunjukan eksklusif; siapa boleh impor, siapa tidak,” tegasnya dalam acara Sarasehan Ekonomi yang diselenggarakan di Menara Mandiri, Jakarta, pada hari Selasa, 8 April 2025.
Membuka Pintu Impor Lebar-Lebar
Prabowo menjelaskan bahwa penghapusan kuota impor merupakan bagian integral dari strategi deregulasi dan simplifikasi prosedur. Tujuan utamanya adalah agar para pelaku usaha tidak lagi terbebani oleh mekanisme yang dianggap diskriminatif dan berpotensi menimbulkan praktik-praktik yang kurang sehat. Komoditas pangan utama, termasuk daging, ikan, dan hasil hortikultura, menjadi fokus utama dalam perubahan kebijakan ini. Menurutnya, masyarakat Indonesia sudah cukup bijak dalam menilai kualitas produk, sehingga tidak diperlukan lagi intervensi berupa “penunjukan” khusus dalam proses perizinan impor.
Keputusan ini dipicu oleh keluhan dari sejumlah pelaku usaha yang menjalin kemitraan dengan perusahaan-perusahaan global, khususnya yang berasal dari Amerika Serikat. Mereka menyampaikan kekhawatiran atas ketidakpastian yang timbul akibat kompleksitas sistem kuota yang berlaku.
Indef: Waspadai Gelombang Produk Murah
Namun, kebijakan yang digagas Prabowo ini tidak sepenuhnya bebas dari kritik. Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Andry Satrio Nugroho, mengingatkan bahwa rencana penghapusan kuota impor ini dapat menimbulkan risiko signifikan bagi perekonomian nasional jika tidak diiringi dengan pengawasan yang ketat.
Andry berpendapat bahwa jika kebijakan tersebut diterjemahkan menjadi sistem impor terbuka tanpa kendali, pasar domestik berpotensi mengalami lonjakan produk impor secara besar-besaran. Hal ini akan semakin menekan industri lokal yang saat ini belum sepenuhnya pulih.
“Kita harus mengakui bahwa dalam beberapa tahun terakhir, kita telah menghadapi tantangan berat akibat krisis kelebihan kapasitas dan perlambatan ekonomi di Tiongkok. Produk-produk murah, bahkan yang ilegal, telah memasuki pasar kita dengan sangat mudah. Jika sekarang kita justru melonggarkan kendali, gelombang produk murah ini dapat berubah menjadi tsunami yang menghancurkan industri lokal,” papar Andry dalam keterangan resminya pada Selasa, 8 April 2025.
Andry secara khusus menyoroti sektor padat karya seperti tekstil, alas kaki, dan elektronik ringan yang tengah menghadapi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK). Ia khawatir bahwa pembukaan keran impor tanpa batasan akan semakin memperburuk tekanan terhadap sektor-sektor ini dan memicu peningkatan jumlah PHK.
Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa iklim investasi juga dapat terancam. Jika pasar domestik dibanjiri oleh produk murah, investor akan mempertimbangkan kembali rencana mereka untuk menanamkan modal atau membangun pabrik di Indonesia.
DPR: Momentum untuk Reformasi Perdagangan
Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah, menyambut baik arahan yang diberikan oleh Presiden Prabowo. Ia menilai langkah ini sebagai “angin segar” yang akan mendorong reformasi kebijakan impor. Namun, Said mengingatkan agar kebijakan ini tidak berdampak negatif pada neraca perdagangan dan cadangan devisa nasional.
“Impor harus dipandang sebagai substitusi sementara, bukan solusi permanen. Tujuan akhirnya adalah kemandirian, setidaknya di sektor-sektor primer seperti pangan dan energi,” ujarnya pada hari Rabu, 9 April 2025, seperti yang dikutip dari Antara.
Said juga menekankan pentingnya memperkuat industri lokal, termasuk melalui peningkatan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN). Hal ini bertujuan agar kebijakan deregulasi tidak justru mengarah pada deindustrialisasi, seperti yang pernah terjadi di sektor tekstil.
Diversifikasi Sumber Impor
Said menambahkan bahwa kebijakan impor juga harus memperhatikan diversifikasi negara asal. Indonesia tidak boleh terlalu bergantung pada satu atau dua negara saja. Diversifikasi ini penting untuk mengurangi risiko ketergantungan dan menjaga stabilitas harga serta pasokan.
Dalam konteks perjanjian dagang internasional, Indonesia telah meratifikasi 18 perjanjian FTA (Free Trade Agreement) dengan berbagai negara. “Skema FTA ini harus mampu meningkatkan Revealed Comparative Advantage (RCA) barang-barang Indonesia, sehingga manfaat dari ratifikasi FTA dapat memberikan dampak positif bagi peningkatan skala ekonomi nasional,” jelas Said, yang dikutip dari Antara.
Anastasya Lavenia dan Alfitria Nefi turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Alasan di Balik Instruksi Presiden Prabowo untuk Menghapus Kuota Impor