RAGAMUTAMA.COM – Rencana reaktivasi jalur kereta api Garut–Cikajang di Kabupaten Garut mulai memunculkan gelombang penolakan dari warga yang tinggal di sepanjang bantaran rel mati. Melalui Paguyuban Warga Masyarakat Bantaran Rel (PWMBR), mereka menyuarakan tuntutan agar proyek ini lebih transparan dan memperhatikan nasib masyarakat yang sudah lama bermukim di area tersebut.
Salah seorang warga, Alimudin Garbiz, mengatakan bahwa mereka bukan anti terhadap pembangunan. Namun, menurutnya, pembangunan harus melibatkan suara masyarakat yang paling terdampak, bukan dilakukan sepihak. Ia menilai bahwa reaktivasi jalur ini tidak hanya soal pembangunan infrastruktur, tetapi juga menyangkut kehidupan ribuan warga yang telah bermukim puluhan tahun di bantaran rel. Alimudin menegaskan bahwa sejak rencana ini diangkat kembali oleh Gubernur Jawa Barat Deddy Mulyadi, belum pernah ada forum resmi yang melibatkan warga untuk membicarakan dampak sosial yang akan ditimbulkan.
Warga menuntut adanya forum terbuka yang melibatkan semua pihak terkait, mulai dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat, PT Kereta Api Indonesia, DPRD Jabar, hingga pemerintah dan DPRD Kabupaten Garut. Mereka meminta agar proyek ini benar-benar dikaji secara transparan, baik dari aspek ekonomi, sosial, maupun lingkungan. Menurut Alimudin, bila proyek ini memang penting dan mendesak, pemerintah harus menunjukkan hasil studi akademik serta analisis dampak sosial secara terbuka kepada masyarakat.
Selain kekhawatiran soal ketidakjelasan proyek, warga juga merasa cemas terhadap potensi penggusuran. Data dari PWMBR mencatat bahwa ratusan kepala keluarga tinggal di sekitar jalur rel yang akan diaktifkan kembali, dan mayoritas dari mereka tidak memiliki sertifikat kepemilikan lahan. Hingga saat ini belum ada program relokasi ataupun kompensasi yang layak disiapkan untuk warga terdampak. Alimudin mempertanyakan, jika mereka harus digusur, ke mana mereka akan pergi, dan apakah pemerintah sudah benar-benar menyiapkan solusi yang adil bagi rakyat kecil.
Tak hanya berdampak pada pemukiman, reaktivasi jalur kereta juga dikhawatirkan akan mematikan usaha angkutan umum lokal seperti angkot dan elf jurusan Garut–Cikajang, yang selama ini menjadi andalan ekonomi warga. Menurut Alimudin, pemerintah harus jujur apakah proyek ini benar-benar untuk kepentingan rakyat atau hanya demi memfasilitasi kepentingan investor dan proyek strategis nasional.
Sebagai bentuk sikap tegas, PWMBR berencana menggalang konsolidasi antarwarga terdampak dan mengadakan aksi damai untuk menyampaikan aspirasi secara langsung kepada para pemangku kebijakan. Mereka berharap suara masyarakat akar rumput tidak diabaikan dalam proyek sebesar ini. Warga mengingatkan bahwa pembangunan infrastruktur seperti jalur kereta seharusnya membuka keadilan sosial, bukan justru menggusur warga yang telah lama tinggal di sana.