JAKARTA, RAGAMUTAMA.COM – Sebuah agenda penting berlangsung di Istana Kepresidenan Jakarta pada hari Senin (7/4/2025), dengan Presiden Prabowo Subianto memanggil dua tokoh penting: Wakil Menteri (Wamen) Perindustrian, Faisol Riza, dan Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo.
Menurut pantauan langsung dari Kompas.com, Gubernur BI Perry Warjiyo tiba lebih awal, sekitar pukul 14.34 WIB. Tak lama berselang, Wamen Perindustrian Faisol Riza menyusul, tiba sekitar pukul 15.15 WIB.
Namun, baik Perry maupun Faisol memilih untuk tidak memberikan komentar saat ditanya mengenai substansi pertemuan tersebut. Pertanyaan utama yang diajukan adalah kemungkinan pembahasan terkait tarif resiprokal atau tarif timbal balik yang diberlakukan oleh Amerika Serikat, serta lonjakan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang mencapai angka Rp 17.000 per dollar AS.
Di tempat terpisah, ketika melakukan kunjungan kerja di Majalengka, Presiden Prabowo menyatakan bahwa pemerintah Indonesia berencana untuk melakukan negosiasi intensif dengan pemerintah AS sebagai respons terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Trump.
“Kita juga memiliki kekuatan untuk berunding. Kita akan melakukan perundingan dengan semua negara yang terkait. Terutama, kita akan membuka jalur perundingan dengan Amerika Serikat. Tujuan kita jelas, kita ingin menjalin hubungan yang baik, hubungan yang adil, dan hubungan yang setara,” tegas Prabowo pada Senin siang.
Seperti yang telah diberitakan sebelumnya, Presiden AS Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif terbarunya pada tanggal 2 April 2025.
Kebijakan tersebut memberlakukan tarif minimal sebesar 10 persen untuk semua impor barang dari seluruh dunia. Secara khusus, Indonesia dikenakan tarif impor yang signifikan, mencapai 32 persen.
Sementara itu, tarif resiprokal yang dikenakan oleh AS terhadap negara-negara anggota ASEAN menunjukkan variasi yang cukup besar.
Malaysia dan Brunei Darussalam menghadapi tarif sebesar 24 persen, Filipina 17 persen, Singapura 10 persen, Kamboja 49 persen, Laos 48 persen, Vietnam 46 persen, Myanmar 44 persen, dan Thailand 36 persen.
Di sisi lain, pergerakan kurs rupiah terhadap dollar AS di pasar non-deliverable forward (NDF) sempat mengalami tekanan yang cukup besar, bahkan sempat menembus level 17.000 per dollar AS.
NDF, sebagai instrumen keuangan, merupakan kontrak derivatif valuta asing yang memungkinkan kedua belah pihak untuk menukar mata uang dengan nilai tukar yang telah disepakati di masa mendatang.
Angka tersebut membawa nilai tukar rupiah ke titik terlemahnya, menyamai rekor terburuk yang pernah terjadi pada masa krisis moneter tahun 1998, yaitu Rp 16.650 per dollar AS.