Petaka Gunung Gede, Kalau Kisah Pendaki Gunung Realistis Sih

- Penulis

Jumat, 7 Februari 2025 - 07:57 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Saya suka hiking di bukit atau gunung yang pendek  dengan durasi 2- 4 jam untuk healing  secara solo, laporannya kerap saya tulis di Kompasiana. Tetapi saya tidak pernah mendaki gunung yang sebenarnya karena dua hal.

Pertama  durasinya di atas enam jam dan saya punya kendala kesehatan darah rendah hingga tidak sembarangan mendaki.  Untuk solo hiking saja, saya rutin jogging paling sedikit tiga kali seminggu selama 30-60 menit, paling sedikit  satu bulan sebelum kegiatan. Kalau mampu saya lakukan, kalau gagal nafas sesak, ya tidak.

Kedua, saya tidak pernah ikut  organisasi pencinta alam di SMA atau kuliah. Kalau untuk mendaki tidak bisa solo hiking dan harus beberapa orang, paling tidak dua di antara ekspert, bukan “kemaren sore” yang baru mendaki berapa gunung saja. Dari berapa refrensi formasi mendaki itu yang paling depan dan yang paling belakang yang bertindak sebagai sweeper adalah ekspert.

Kalau ini dilakukan kecil kemungkinan  kejadian pendaki hilang seperti Naomi Daviola di Gunung Slamet. Sampai saat ini saya tidak habis pikir bagaimana formasi pendakian waktu di Gunung Slamet berapa waktu lalu.

Ya, memang sekalipun hiking saya setuju bahwa kearifan lokal harus dipatuhi, tidak boleh membuang sampah atau sesuatu di sepanjang perjalanan di bukit atau gunung, simpan saja sampah itu di tas atau kantung. Sekalipun itu tempat wisata. Saya percaya kalau baik dengan alam, maka alam pun akan baik dengan saya. 

Nah, beberapa film terkait pendakian gunung yang beredar di bioskop beberapa bulan terakhir ini, saya memilih Petaka di Gunung Gede, karena itu gunung Gede-Pangrango termasuk yang sering didaki, tetapi bukan gunung yang gampang dijelajahi.

Sebelum menonton film ini, saya baca banyak referensi tentang jalur pendakian dan tanya-tanya soal Gunung Gede dan penyebab salah seorang tokoh yang bernama Ita (Adzana Ashel) diganggu penunggu gunung karena menstruasi. Apa, iya perempuan yang mens tidak boleh mendaki gunung?

Evy Sylviani Suryatmana, senior organisasi pencinta Wanadri membantah hal itu. “Di Wanadri sih perempuan sedang haid tetap bisa mendaki gunung. Kita pendidikan dasar aja sebulan pastinya sudah terlatih meski datang bulan,” ujar Evi ketika saya konfirmasi beberapa waktu lalu.

Hanya, kata Teteh Evy, di beberapa gunung memang ada  petugas yang melarang perempuan haid mendaki,. Bagi pencinata alam seperti dia itu adalah  kearifan lokal yang harus dipatuhi.

“Contoh seperti di Gunung Agung, Bali  karena dianggap gunung suci. Kita kan harus menghormati adat istiadat setempat.  Tapi kalau tidak ada larangan tsb, kita tetap bisa mendaki,” ujar Evi.

Ripto Mulyono, senior Mapala UI ketika saya hubungi juga membantah hal itu. Secara medis dan logika, tidak mungkin perempuan karena mendaki gunung mendapat gangguan penampakan.

Baca Juga :  Sakit Hati Usai Diselingkuhi, Riyuka Bunga Malah Makin Bersinar Debut di Industri Film

Soal penampakan ini, Evy mengaku sepanjang dia mendaki gunung karena fokus pada perjalanan, dia dan anak-anak Wanadri jarang  mendapat gangguan seperti itu.

“Jarang sih, karena rata-rata fokus pada target rencana perjalanan. Sore sudah sibuk berbivak/tenda  dan  malam istirahat sambil bercanda di api unggun. Jadi jarang ada yang melamun sampai lihat penampakan,” tutur dia.

Namun khusus untuk Gede Pangrango, Ripto Mulyono mengaku pernah melihat penampakan terutama mereka yang baik dari jalur selatan.

Sementara Ruliansyah, yang pernah ikur organisasi pencinta alam di SMA 16, Jakarta bercerirata bahwa Gunung Gede khususnya di areal Kandang Batu dan Surya Kencana, terkait legenda Siliwangi memang  pencinta alam suka melihat hal gaib, tetapi mereka tidak mengganggu.  Selain itu Gunung Gede-Pangrango tempat perlarian DI/TII.

Nah, berbekal 3-4 cerita ini ketika saya menonton “Petaka Gunung Gede” sebagian terkonfirmasi. Apalagi dalam cerita, kakak Maya, Indra (Raihan Khan) dan empat kawannya diceritakan hanya lima remaja yang suka naik gunung dan tidak pernah diceritakan dari organisasi pencinta alam SMA.  Tidak ada adegan di markas pencinta alam, yang pastinya lebih dari lima. 

Mereka disebutkan memilih Jalur Cibodas (jalur yang paling banyak ditempuh pendaki karena relatif paling mudah). Info Pendaki menyertakan peta yang persis digambarkan dalam film “Petaka Gunung Gede”, disebutkan Ita mendapat gangguan  “sakit perut” di Batu Kukus klop.  

Mereka juga melewati kawasan air tejun Cibereum dan Kandang Batu, Kandang Badak hingga padang edelweiss, klop. Jadi syutingnya benar-benar di tempat aslinya. 

Saya sendiri pernah menempuh jalur sampai air terjun Cibereum bersama kawan-sawan satu kantor sekitar 2005. Jadi masih familiar dengan sebagian adegan, walau itu dua puluh tahun lalu.

Dari segi sinematografi “top banget”, kata bahasa gaul, panorama perjalanan Gunung Gede. Itu poin sendiri. Cari pengambilan gambar para pendaki menempuh perjalanan juga pas.  

Film “Gie” (2005) juga memotret panorama padang edelweiss dan panorama Gunung Gede Pangrango dengan sajian yang hampir sebangun. Begitu perjalanan menuju gunung dengan menumpang kendaraan umum atau jumping kedua film ini boleh 11/12.

Oh, ya Soehokgie dalam “Catatan Harian Seorang Demonstran” dan laporan perjalanan di Gunung Slamet tidak menyinggung soal penampakan.

Bagaimana kepanikan para pendaki (yang naik tujuh orang), ketika Ita sakit dan kesurupan wajar dan manusiawi, serta tidak berlebihan, sekalipun klise di banyak film horor juga begitu.  

Yang jadi tanda tanya ketika Ita kembali kesurupan, Indra dan seorang kawannya minta tolong pendaki lain yang berkemah di sana dicemooh, ya mungkin saja mereka pendaki gunung bukan pencinta alam.

Setahu saya dari cerita-cerita solidaritas pencinta alam itu tinggi, berbagi makanan dan air saja mau tanpa saling kenal ketika bertemu di gunung. Tidak ada itu  saling mencemooh.

Baca Juga :  Tips Memilih Lokasi Tempat Tinggal Agar Tidak Tua di Jalan

Nah, ada bagian yang jadi tanda tanya siapa bapak tua yang memakai celana pendek dan kaos menolong Ita kesurupan-saya mengecam para pendaki kelompok lain yang hanya melongo- dengan meminta seorang kawan Ita azan dan mengganti pakaian Ita.

Apa kakek seorang warga lokal? Kok sedingin itu pakaian kaos dan celana pendek. Atau? Tidak dijelaskan. Tetapi itu klu bahwa alam masih menggap mereka masih orang baik. Kalau kakek itu bagian dari penunggu, berarti yang marah hanya sebagian?

Kan diceritakan musim libur, mengapa tidak ada pendaki lain yang berpapasan baik yang turun dan naik, kecuali yang rebut di “base” camp atas gunung?

Sebagai catatan  skenario disusun oleh Upi dan sutradara Azhar Kinoi Lubis boleh dibilang rapi dan maksimal untuk adegan yang di gunung. Inspirasi cerita dari kisah Maya Azka dengan setting 2007.  Kabarnya cerita dia jadi trending di podcast, makanya diangkat ke layar lebar.

Kisah sih bisa diringkas ada dua sahabat Maya dan Ita yang masih duduk di bangku SMA tertarik gunung karena Maya menguping pembicaraan antara kakaknya Indra dan sahabatnya yang ingin naik Gunung Gede. Orangtua Maya setuju dan orangtua Ita pun setuju, walaupun Ibu Ita sempat ragu.

Nah, separuh cerita lagi adalah di Jakarta, di mana persoalan belum selesai. Ita terus diganggu dan merasa meninggalkan sesuatu di atas gunung dan salah seorang kawannya bercerita bahwa dia merasa rombongan yang tujuh orang itu ada yang kurang atau bertambah. Itu jadi klu menarik, seperti halnya berapa adegan sebelum keberangkatan.  

Gangguan yang dialami Ita tidak sepenuhnya salah dia membuat penghuni gunung tidak senang, tetapi ada misteri lain. “Petaka Gunnug Gede” memberikan ending yang menarik.  Dari segi departemen kasting Adzana Ashel dan Aria Aliani sebagai Maya chemistry terbangun.

Yang lain Teuku Rifnu Wikana sebagai ayah Ita menunjukkan aktor kawakan. Bekal dari teater membuat dia tampil sebagai ayah tenang dan bijak, tiba-tiba jadi emosional dan dia juga menjadi pemeran kunci dan tulang punggung film ini menurut saya.

Oh, soal film pendakian gunung, hingga saat ini “Pencarian Terakhir” (2008) dengan sutradara Afandi Abdul Rachman, saya  nilai yang  benar-benar bernuansa pencinta mulai dari adegan makan nasi dengan mi matang, pencarian orang hilang, solidaritas kental  hingga melibatkan Tim SAR merupakan yang paling realistis film terkait  pendakian gunung, tepatnya pencinta alam.  Film yang  membuat saya menaruh hormat pada para pencinta alam.

Jadi Petaka di Gunung Gede itu, film tentang pendaki gunung atau pencinta alam? Kalau pendaki gunung realistis dan menurut saya masuk akal. 

Irvan Sjafari

Foto Utama: https://klasika.kompas.id/baca/review-film-petaka-gunung-gede-horor-alam-yang-mencekam/

Foto: Info Pendaki.Com

Berita Terkait

Arti Lirik Lagu Batak Boanonhu Do Ho,Dipopulerkan Gok Parasian Malau

Berita Terkait

Senin, 10 Februari 2025 - 07:28 WIB

Arti Lirik Lagu Batak Boanonhu Do Ho,Dipopulerkan Gok Parasian Malau

Jumat, 7 Februari 2025 - 07:57 WIB

Petaka Gunung Gede, Kalau Kisah Pendaki Gunung Realistis Sih

Berita Terbaru

public-safety-and-emergencies

Mobil Pikap dan 16 Unit Sepeda Listrik Menghitam, Ludes Jadi Bangkai di Tol Gempol-Pasuruan

Sabtu, 22 Feb 2025 - 12:27 WIB