Jaka Tingkir, yang terlahir dengan nama Mas Karebet, adalah putra dari Kebo Kenanga dan cucu dari Adipati Andayaningrat, sosok yang dikenal pula dengan nama Syarief Muhammad Kebungsuan. Dari garis nasab ini, terungkap bahwa Mas Karebet (Jaka Tingkir) merupakan keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad Saw. Untuk mendapatkan bimbingan yang tepat, Mas Karebet diasuh oleh Kanjeng Adipati Tingkir. Semasa mudanya, ia lebih dikenal dengan julukan Jaka Tingkir, nama yang lebih populer di masyarakat dibandingkan nama aslinya. Jaka Tingkir juga mendapatkan arahan dari pamannya, Kanjeng Adipati Kebo Kanigoro, kakak dari Kanjeng Adipati Kebo Kenongo. Bersama tiga sahabatnya, yaitu Ki Tumenggung Wilomarto, Ki Tumenggung Wuragil, dan Kanjeng Pangeran Monco Negoro, ia menimba ilmu di wilayah Sukoharjo.
Ketika beranjak dewasa, Raden Jaka Tingkir mendapat utusan untuk mengabdi di kerajaan Demak, yang saat itu dipimpin oleh Sultan Trenggono, Demak III. Jaka Tingkir bersama ketiga sahabatnya memohon restu kepada kedua orang tua sebelum berangkat, menggunakan gethek (perahu tradisional Jawa) sebagai sarana transportasi. Mereka memulai perjalanan dari kediaman Kanjeng Adipati Kebo Kanigoro di Jatingarang, Weru, Sukoharjo, menuju Butuh. Perjalanan tersebut melewati sungai Bengawan Solo, dan mereka berlabuh di tepian sungai. Setelah mendapatkan restu, mereka melanjutkan perjalanan menuju Demak.
Jaka Tingkir adalah seorang ulama besar yang sangat dihormati oleh masyarakat Jawa. Beliau pernah memerintah sebagai raja di kerajaan Demak. Selama masa pemerintahannya, ia dikenal sebagai raja yang adil, merangkul seluruh rakyatnya tanpa memandang perbedaan latar belakang kedudukan, kasta, keyakinan, maupun suku. Tindakan ini diambil sebagai upaya untuk menciptakan kedamaian, kemakmuran, dan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya. Setelah mencapai usia senja, beliau memutuskan untuk kembali ke kampung halaman orang tuanya, yaitu di Desa Butuh. Di sana, beliau ingin menghabiskan sisa hidupnya untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Beliau juga meneruskan perjuangan orang tuanya, yang sebelumnya menjadi pemimpin masyarakat dan pendidik agama. Di Desa Butuh inilah, beliau menghembuskan napas terakhirnya. Beliau dimakamkan dalam satu kompleks dengan makam kedua orang tuanya.
Makam ini terletak di Desa Butuh, Kecamatan Plupuh, Kabupaten Sragen, Provinsi Jawa Tengah. Makam Jaka Tingkir senantiasa ramai dikunjungi oleh para peziarah. Peziarah yang datang tidak hanya berasal dari wilayah Sragen, tetapi juga dari daerah di luar Sragen, terutama wilayah Solo Raya. Lokasi makam Jaka Tingkir berada di tengah perkampungan warga, namun kebersihannya sangat terjaga dan tertata dengan baik. Makam Jaka Tingkir telah menjadi tempat wisata religi, yang hingga kini masih banyak dikunjungi. Di bagian pelataran depan terdapat pendopo yang dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan kemasyarakatan, keagamaan, serta sebagai tempat penerimaan tamu.
Dahulu, area makam Butuh merupakan pemakaman umum seperti biasanya. Kemudian, oleh Sinuhun Paku Buwono X (1893-1939), dibangunlah tembok di sekeliling makam, dan batu nisannya ditinggikan. Alasannya adalah karena pada saat itu sering terjadi banjir tahunan yang melanda area pemakaman. Selain itu, dibangun pula gedong bagian dalam, dengan tujuan untuk memberikan kenyamanan kepada para peziarah dan untuk menjaga makam tetap terpelihara, sebagai bukti sejarah yang autentik dan orisinil.
Di Makam Butuh, terdapat peninggalan masjid yang diberi nama Masjid Butuh. Masjid ini juga menjadi salah satu bukti bahwa beliau adalah seorang yang religius dan tokoh yang sangat penting di masyarakat. Beliau mengajarkan ajaran agama Islam kepada warga yang memeluk agama tersebut. Beliau mendirikan masjid ini sebagai tempat untuk beribadah dan menimba ilmu. Masjid ini telah mengalami beberapa kali renovasi. Di dalam masjid ini, terdapat mimbar yang sangat ikonik dengan tulisan angka Arab 1852, yang menunjukkan bahwa keberadaan masjid tersebut diperkirakan sekitar tahun 1852. Masjid Butuh menjadi salah satu bukti sejarah bahwa pada zaman itu, agama telah berkembang. Diperkirakan, masjid ini merupakan salah satu masjid tertua di Sragen.
Tanpa kita sadari, Sragen menyimpan sejarah yang patut kita lestarikan. Dengan mengunjungi makam Jaka Tingkir, kita dapat merasakan wisata religi yang tenang, karena tempatnya yang bersih, terawat, dan suasananya yang terjaga. Diharapkan, dengan mengunjungi Makam Jaka Tingkir, kita dapat lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt. dengan merenungkan bahwa tujuan dari hidup ini adalah kematian, sehingga kita dapat mempersiapkan bekal yang sebaik-baiknya untuk kehidupan akhirat. Di sana, kita juga dapat belajar tentang silsilah Jaka Tingkir, perjuangan, dan pengabdiannya terhadap negara dan masyarakat.