Bila sedang berada di Bandung dan ingin menikmati suasana alam yang sejuk maka Taman Hutan Raya (Tahura) Ir. H. Djuanda yang terletak di Bandung utara bisa menjadi pilihan yang tepat untuk dikunjungi.
Pada akhir bulan Januari yang lalu, saya bersama keluarga berkunjung ke sini melalui pintu masuk utama Dago Pakar yang berlokasi di Jl, Ir. Juanda No 99 Ciburial Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung.
Pada hari Minggu ataupun hari libur, Tahura Juanda selalu ramai dikunjungi oleh warga Bandung yang ingin melakukan trekking, hiking, lari pagi, ataupun yang hanya sekadar ngin bersantai.
Pengunjung juga banyak yang datang dari luar kota Bandung. Karena selain bisa menikmati keindahan hutan tropis, juga ada peninggalan sejarah masa kolonial yaitu Gua Belanda dan Gua Jepang yang menyimpan kisah menarik dari masa lalu.
Pengalaman Menarik Menyusuri Gua Jepang dan Gua Belanda di Tahura Juanda
Saat itu kami menginap di rumah keponakan yang ada di Bandung, pukul 07.30 kami sudah berangkat menuju ke jalan Dago. Ternyata jalanan sudah macet, dan saat sampai ke lokasi ternyata tempat parkir di dekat pintu masuk sudah penuh sehingga kami kebagian parkir di atas.
Saat membeli tiket, antrian pun lumayan panjang. Tetapi ada beberapa orang petugas yang melayani pembayaran baik secara tunai ataupun digital. Harga tiket masuk yang harus dibayar oleh pengunjung sebesar Rp 17.000,00 per orang.
Setelah membeli tiket, kami memakai gelang kertas yang diberikan oleh petugas di loket. Kami pun masuk dan berjalan menuju ke dalam hutan dan melewati sebuah jembatan.
Ternyata di dalam banyak warung yang terletak di bawah pohon rindang, banyak pengunjung yang sedang jajan dan menikmati makanan ataupun minuman yang sudah dibelinya. Salah satunya adalah kepala muda.
Kami pun terus berjalan, udara benar-benar terasa sejuk sekali karena di sekelilingnya terdapat pohon-pohon rindang yang besar. Setelah berjalan kurang lebih setengah kilometer, kami pun sampai di tujuan pertama kami yaitu Gua Jepang.
Gua ini dibangun pada masa pendudukan Jepang sekitar tahun 1942-1945, memiliki lorong pendek dan sempit dengan panjang total sekitar 70 meter. Gua ini dibuat dengan sistem kerja paksa atau romusha oleh rakyat Indonesia, dan digunakan sebagai tempat perlindungan militer serta penyimpanan logistik.
Saya dan suami berfoto dulu di depan Gua Jepang ini, kami pun masuk ke dalam gua mengikuti orang lain yang sudah berjalan di depan. Untuk penerangan, kami menggunakan lampu Hp.
Atmosfer gua yang gelap dan sunyi mengingatkan pada masa kelam ketika rakyat Indonesia dipaksa bekerja tanpa upah dan banyak yang kehilangan nyawa di tempat ini. Dari depan kami melihat ada empat pintu gua yang berjejer, kami masuk melalui pintu gua yang pertama dan pada saat keluar melalui pintu gua yang ketiga.
Selanjutnya kami berjalan kembali, bila ingin mengetahui jenis pohon yang ada di sekitar sini tinggal membaca tulisan yang ditempel di batang pohon. Ada keterangan tentang nama daerah, nama ilmiah, famili dan daerah asal tanaman tersebut. Jadinya sambil jalan-jalan, bisa belajar tentang nama-nama ilmiah tumbuhan.
Sampailah kami di sebuah warung, ternyata banyak pengunjung yang sedang antri membeli jajanan yang sedang viral yaitu cilor bumbu rujak. Cilor singkatan dari cilok telur, yaitu cilok yang digoreng dengan balutan telur, kemudian disajikan dengan bumbu rujak yang segar. Selain cilor, di warung ini tersedia juga basreng (baso goreng) dan cilok dengan bumbu rujak yang sama. Harga untuk seporsi jajanan ini yaitu Rp 10.000,00.
Kami terus berjalan, dan melewati kafe yang bernama Holland Spot yang memiliki nuansa khas Belanda. Banyak meja dan kursi yang sediakan di sini, pengunjung bisa memesan menu aneka masakan Belanda serta minuman seperti jus buah, kopi dan bandrek. Pengunjung bisa menikmati hidangan di bawah pohon rindang sambil mendengarkan lagu yang dinyanyikan oleh grup musik yang berada di depan kafe.
Di sekitar sini banyak sekali monyet berekor panjang yang bergelayutan di atas pohon, dan ada juga beberapa ekor yang sedang duduk di pinggir jalan. Apabila ada yang memberikan makanan, monyet-monyet ini akan mendekat.
Kami pun sampai di Gua Belanda, pengunjung yang datang ke sini lebih banyak dibandingkan dengan Gua Jepang sebelumnya. Di depan pintu gua ada bapak-bapak yang menawarkan sewa senter, tetapi jarang ada yang mau karena bisa menggunakan lampu yang ada di Hp.
Dulu keponakan sering datang ke sini bersama teman-teman sekantornya, sehingga sudah hafal jalan menuju ke Gua Belanda ini. Kami pun masuk menyusuri gua yang panjangnya sekitar 548 meter. Di dalam gua terdapat lorong-lorong yang bercabang, memberikan kesan misterius sehingga menggugah rasa penasaran pengunjung.
Kami berjalan tidak sampai ke ujung, kata keponakan lebih baik pulang lagi ke arah pintu masuk yang tadi supaya pulangnya lebih dekat. Ketika berada di dalam, kami hanya bisa melihat lorong yang gelap dan terasa lembap, tetapi aura sejarahnya terasa sangat kuat.
Saat keluar saya melihat tulisan tentang sejarah Gua Belanda ini. Gua ini dibangun pada tahun 1906, sebagai terowongan penyadapan aliran sungai Ci Kapundung untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang dibuat oleh BEM (Bandoengsche Electriciteit Maatchappij) untuk kebutuhan kota Bandung dan sekitarnya.
Namun pada tahun 1918 terowongan ini berubah fungsi untuk kepentingan militer dengan menambah beberapa ruang yang berada di sayap kiri dan kanan terowongan yang digunakan sebagai kantor, penjara kecil, dan pos pengawasan.
Sedangkan sistem PLTA dibangun kembali dengan perubahan jalur penyadapan yang tidak lagi melewati Gua Belanda melainkan melalui saluran-saluran di bawah tanah. Kemudian muncul kembali ke permukaan tanah di Pintu II Tahura yang ditampung di kolam Tandon harian yang dikenal dengan “Kolam Pakar”.
Dari Kolam Pakar, air akan disalurkan melalui pipa pesat ke PLTA Bengkok yang difungsikan sekitar tahun 1923 yang sejak tahun 1921 dikelola oleh GEBEO (Gemeenscaapelijk Electriciteit Bedrijf voor Bandoeng en Omstreken). Setelah Indonesia merdeka, GEBEO berubah nama menjadi PLN. Ternyata sejarah Gua Belanda ini berkaitan dengan perkembangan kelistrikan yang ada di kota Bandung dan sekitarnya.
Saat berada di dalam Gua Belanda, saya melihat rel kereta. Dulunya digunakan untuk mengangkut perbekalan, amunisi dan kebutuhan operasional lainnya. Sistem ini memungkinkan pergerakan barang yang lebih cepat di dalam terowongan yang cukup panjang. Walaupun saat ini rek kereta tersebut sudah tidak digunakan lagi, tetapi jejaknya bisa ditemukan di dalam gua sebagai bagian dari peninggalan sejarah.
Sebenarnya kami ingin melanjutkan perjalanan menuju ke curug atau air terjun, tetapi kata keponakan masih jauh perjalanannya dan dia pun belum pernah sampai ke sana. Kata keponakan ada perkedel yang viral, membelinya harus antri tetapi lokasinya masih jauh.
Karena waktu sudah menunjukkan pukul 11.00, kami pun segera kembali menuju pintu keluar Tahura untuk kembali ke kota Bandung karena masih ada beberapa tempat yang akan kami kunjungi lagi.
Mudah-mudahan di kesempatan lain, kami bisa berkunjung ke Tahura Juanda lagi untuk melihat keindahan Curug Dago dan Curug Omas, melihat Bantu Batik dan Tebing Keraton serta mengunjungi penangkaran rusa timor yang ada di sana.
Wasana kata
Mengunjungi Tahura Juanda di Bandung merupakan pengalaman yang menarik karena bisa menikmati keindahan alam dan menghirup udara yang sejuk serta melihat peninggalan sejarah.
Menyusuri Gua Belanda dan Gua Jepang di Taman Hutan Raya Juanda bukan hanya menjadi pengalaman wisata sejarah, tetapi juga menjadi pengingat akan perjuangan bangsa di masa penjajahan.
Setelah lelah berkeliling, pengunjung juga bisa menikmati minuman dan aneka jajanan baik yang lokal maupun yang bercita rasa Belanda. Pastinya akan merasakan suasana yang berbeda saat menikmati makanan dan minuman di bawah pohon yang rindang sehingga akan menjadi kenangan yang indah dan berkesan.
Terima kasih telah membaca tulisan ini, salam hangat dan bahagia selalu.
#Tulisan ke-20 di tahun 2025
Cibadak, 16 Februari 2025
Tati Ajeng Saidah untuk Kompasiana