BANGKOK, KOMPAS.TV — Pasar saham Asia mengalami penurunan tajam pada hari Senin, 7 April 2025, dipicu oleh kebijakan tarif baru yang diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump. Langkah ini memicu reaksi keras dari pemerintah China, memperburuk sentimen pasar. Sebelumnya, pada hari Jumat, bursa saham di Wall Street juga telah menunjukkan tren yang melemah.
Kontrak berjangka AS mengindikasikan potensi penurunan lebih lanjut. Kontrak berjangka untuk indeks S&P 500 merosot sebesar 2,5%, sementara kontrak berjangka untuk Dow Jones Industrial Average mengalami penurunan sebesar 2,1%. Kontrak berjangka untuk Nasdaq juga terpantau turun 3,1%.
Pada hari Jumat, pasar mengalami guncangan terburuk sejak awal pandemi Covid-19, dengan indeks S&P 500 anjlok 6% dan Dow Jones Industrial Average merosot 5,5%. Sementara itu, indeks komposit Nasdaq turun 5,8%.
Pada Minggu malam, 6 April 2025, Presiden Trump kembali menegaskan komitmennya terhadap kebijakan tarif. Dalam pernyataannya kepada wartawan di pesawat Air Force One, Trump menyampaikan bahwa ia tidak menginginkan pasar global mengalami kerugian, namun ia juga tidak terlalu khawatir dengan potensi aksi jual besar-besaran.
“Terkadang, kita harus menelan pil pahit untuk mencapai perbaikan,” ujarnya, mengutip laporan dari The Associated Press.
Rachmat Gobel Mendesak Pemerintah untuk Berani Menahan Impor Sebagai Respon Kebijakan Tarif Trump
Tren penurunan ini berlanjut di bursa Asia pada hari ini. Indeks Nikkei 225 Tokyo mencatat penurunan hampir 8% segera setelah pembukaan pasar. Pada sesi tengah hari, indeks tersebut turun 7,2% menjadi 31.337,76. Mekanisme pemutus sirkuit diaktifkan untuk sementara waktu menghentikan perdagangan berjangka Topix, atau Indeks Harga Saham Tokyo, menyusul penurunan tajam sebelumnya pada saham berjangka AS.
Di antara saham yang paling terdampak adalah Mizuho Financial Group, yang mengalami penurunan saham sebesar 11,4%. Saham Mitsubishi UFJ Financial Group juga anjlok 10,7%, mencerminkan kekhawatiran investor terhadap dampak perang dagang pada ekonomi global.
“Ketidakpastian yang signifikan mengenai bagaimana tarif ini akan diterapkan adalah faktor utama yang memicu penurunan harga saham ini,” ujar Rintaro Nishimura, seorang analis di Asia Group.
Meskipun pasar saham China seringkali tidak sejalan dengan tren global, kali ini pasar tersebut juga mengalami penurunan serupa. Hang Seng Hong Kong anjlok 10,7% menjadi 20.404,62, sementara indeks Shanghai Composite turun 6,3% menjadi 3.130,17. Di Taiwan, Taiex mencatat penurunan sebesar 9,7%.
Pasar saham di Tiongkok tutup pada hari Jumat, dan Kenny Ng Lai-yin, seorang ahli strategi di Everbright Securities International, berpendapat bahwa pergerakan signifikan ini mungkin mencerminkan upaya untuk mengejar ketertinggalan dari penurunan yang terjadi pada hari Jumat.
Selain itu, raksasa e-commerce Alibaba Group Holdings mengalami penurunan sebesar 9,9%, dan Tencent Holdings, perusahaan teknologi besar lainnya, merosot 10,8%.
Kospi Korea Selatan turun 5,2% menjadi 2.336,80, sementara S&P/ASX 200 Australia turun 4% menjadi 7.361,40, setelah sebelumnya mengalami kerugian lebih dari 6%.
Ekonomi Asia sangat bergantung pada ekspor, dengan sebagian besar produk dikirim ke Amerika Serikat.
Alih-alih Membalas Kebijakan Tarif Dagang Trump, Taiwan Menawarkan Alternatif Ini kepada Amerika Serikat
“Di luar gejolak pasar, kekhawatiran yang lebih mendalam adalah dampak dan potensi krisis yang mungkin timbul bagi ekonomi kecil dan negara-negara yang sangat bergantung pada perdagangan. Oleh karena itu, penting untuk memantau apakah Trump akan segera mencapai kesepakatan dengan sebagian besar negara, setidaknya sebagian,” kata Gary Ng dari Nataxis.
Sementara itu, harga minyak juga mengalami penurunan. Minyak mentah acuan AS turun $1,50 menjadi $60,49 per barel. Minyak mentah Brent, yang menjadi standar internasional, turun $1,48 menjadi $64,10 per barel.
Para pengamat pasar memperkirakan bahwa investor akan menghadapi fluktuasi yang lebih besar dalam beberapa hari dan minggu mendatang, dengan resolusi jangka pendek untuk perang dagang yang tampaknya tidak mungkin tercapai dalam waktu dekat.
Nathan Thooft, kepala investasi dan manajer portofolio senior di Manulife Investment Management, menyatakan bahwa kemungkinan akan ada lebih banyak negara yang membalas tindakan AS dengan menaikkan tarif.
“Menurut pandangan kami, akan diperlukan waktu yang cukup lama untuk menyelesaikan berbagai negosiasi yang mungkin terjadi. Pada akhirnya, kami berpendapat bahwa ketidakpastian dan volatilitas pasar cenderung akan berlanjut untuk beberapa waktu,” pungkas Thooft.