Ragamutama.com – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan adanya 21 perusahaan terbuka, atau emiten, yang berencana melaksanakan pembelian kembali (buyback) saham mereka tanpa melalui mekanisme Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK (KE PMDK), Inarno Djajadi, menjelaskan bahwa total anggaran yang dialokasikan untuk program buyback tanpa RUPS ini mencapai angka yang signifikan, yaitu Rp 14,97 triliun.
“Hingga tanggal 9 April 2025, tercatat ada 21 emiten yang telah mengajukan rencana pembelian kembali saham tanpa perlu persetujuan RUPS, dengan total dana yang disiapkan sebesar Rp 14,97 triliun. Jumlah ini hampir menyentuh angka Rp 15 triliun,” ungkap Inarno dalam konferensi pers yang diselenggarakan secara daring pada hari Jumat (11/4).
8 Alasan ARMY BTS Bukan Penggemar Biasa, Mereka Ada di Level Berbeda!
Sebelumnya, pada hari Selasa (18/3), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan tajam hingga hampir 6 persen, yang memicu penghentian sementara perdagangan atau yang dikenal sebagai trading halt.
Menanggapi situasi tersebut, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengumumkan kebijakan yang memungkinkan emiten untuk melakukan pembelian kembali saham mereka tanpa harus mendapatkan persetujuan dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Namun, pelaksanaan buyback saham tanpa melalui RUPS ini tetap harus mematuhi ketentuan yang tertuang dalam POJK Nomor 29 Tahun 2023, yang mengatur tentang pembelian kembali saham yang diterbitkan oleh perusahaan terbuka.
Kebijakan buyback tanpa RUPS ini berlaku selama 6 bulan terhitung sejak tanggal surat yang dikeluarkan oleh OJK, yaitu 18 Maret 2025. OJK berharap bahwa kebijakan ini dapat memulihkan kepercayaan pasar dan meredakan tekanan yang terjadi.
Inarno menambahkan bahwa pemberian izin untuk melakukan buyback saham tanpa RUPS merupakan salah satu kebijakan yang seringkali diambil oleh OJK di sektor pasar modal. Tujuannya adalah memberikan fleksibilitas kepada emiten untuk menstabilkan harga saham mereka di tengah kondisi pasar yang bergejolak atau memiliki tingkat volatilitas yang tinggi.
“Kebijakan ini juga bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan investor, sebagaimana yang pernah dilakukan pada tahun 2013, 2015, dan juga pada tahun 2020 selama masa pandemi COVID-19,” pungkasnya.