RAGAMUTAMA.COM – Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, bekerja sama dengan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dalam upaya melakukan modifikasi cuaca guna mengurangi risiko banjir di beberapa wilayah rawan.
Langkah ini diumumkan dalam unggahan video terbaru Dedi di media sosialnya pada Senin (10/3/2025), dengan rencana eksekusi modifikasi cuaca yang dijadwalkan berlangsung pada 11 hingga 20 Maret 2025.
Apa Itu Modifikasi Cuaca?
Menurut Deputi Bidang Modifikasi Cuaca BMKG, Tri Handoko Seto, modifikasi cuaca adalah teknik intervensi atmosfer untuk mengubah perilaku awan agar lebih menguntungkan bagi manusia. Salah satu tujuannya adalah mengalihkan hujan ke lokasi yang lebih aman, seperti laut atau danau, guna mencegah genangan di daerah berisiko tinggi.
“Upaya ini bertujuan untuk menjadikan fenomena cuaca yang awalnya berpotensi menjadi bencana, justru menjadi manfaat,” ujar Seto.
Dalam pertemuan tersebut, Dedi Mulyadi menyoroti banyaknya lahan yang telah memiliki sertifikasi lingkungan, mulai dari pegunungan hingga bantaran sungai. Ia pun berkelakar, “Gunung, sungai, dan laut sudah bersertifikat. Kalau awan, bisa bersertifikat juga tidak?” Seto menanggapi dengan humor, “Alhamdulillah, sampai saat ini awan masih bebas dari sertifikat, jadi masih bisa kita modifikasi.”
Modifikasi cuaca ini akan difokuskan pada daerah-daerah yang memiliki potensi curah hujan tinggi yang berisiko menyebabkan banjir, seperti Sukabumi, Bogor, Kuningan, dan Karawang. BMKG telah menyusun strategi sebagai berikut:
- Hujan yang terjadi di Sukabumi dan wilayah selatan Jawa Barat akan dialihkan ke Laut Selatan dan Laut Bintara.
- Curah hujan di Bandung akan diarahkan ke Danau Wado Jatiluhur.
- Untuk wilayah Kuningan dan Karawang, hujan akan dijatuhkan di Laut Utara.
Langkah ini diharapkan dapat mengurangi dampak banjir di daerah padat penduduk dan kawasan yang rentan terdampak bencana.
Dedi Mulyadi menegaskan bahwa modifikasi cuaca merupakan langkah proaktif dari Pemprov Jabar untuk menanggulangi bencana banjir, bukan sekadar respons setelah bencana terjadi. “Ini bukan reaksi setelah banjir datang, melainkan langkah antisipasi agar bencana bisa dicegah sebelum terjadi,” katanya.
Ia juga mengklarifikasi bahwa banjir yang baru-baru ini terjadi di Bandung dan Purwakarta bukan disebabkan oleh modifikasi cuaca, melainkan akibat curah hujan alami dan kegagalan tanggul yang menyebabkan air meluap. “Banjir kemarin itu karena tanggul Cinangka jebol, bukan karena modifikasi cuaca. Jadi jangan salah paham,” tegasnya.
Dedi Mulyadi berharap upaya ini dapat menjadi solusi nyata dalam mengurangi dampak cuaca ekstrem di Jawa Barat.
Dengan kolaborasi antara pemerintah dan BMKG, diharapkan modifikasi cuaca bisa menjadi bagian dari strategi jangka panjang dalam mitigasi bencana dan pengelolaan lingkungan.