Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selama dua pekan terakhir menunjukkan volatilitas yang signifikan, memicu pertanyaan mendalam mengenai stabilitas pasar modal Indonesia di tengah gejolak ekonomi global. Dari tanggal 24 hingga 27 Maret 2025, IHSG mencatat peningkatan yang cukup pesat sebesar 4,03 persen, ditutup pada level 6.510.620. Namun, hanya dalam waktu dua pekan, tepatnya antara 8 hingga 11 April 2025, IHSG mengalami koreksi tajam sebesar 3,82 persen, kembali mendekati level sebelumnya di angka 6.262.226. Fluktuasi ini bukan sekadar indikator pasar yang dinamis, tetapi juga gambaran nyata dari excess stock market volatility—di mana pergerakan harga saham jauh melampaui fluktuasi nilai fundamentalnya.
Fenomena ini menantang asumsi dasar efisiensi pasar. Penelitian Robert J. Shiller di awal 1980-an menunjukkan bahwa volatilitas harga saham secara statistik jauh lebih tinggi daripada perubahan dividen atau earnings fundamental perusahaan. Laporan mingguan Bursa Efek Indonesia (BEI) merefleksikan hal ini melalui pergerakan saham-saham blue chip seperti BBRI, BMRI, dan BBCA yang sempat menjadi penggerak utama IHSG di akhir Maret, namun kemudian menjadi penekan utama pada pekan kedua April. Pergerakan harga saham tampaknya dipengaruhi bukan hanya oleh kinerja fundamental, melainkan juga oleh sentimen dan ekspektasi pasar yang ekstrem.
Lebih lanjut, studi oleh DeLong, Shleifer, Summers, dan Waldmann mengungkapkan bahwa keberadaan investor positive feedback traders—yang membeli saat harga naik dan menjual saat harga turun—justru memperkuat ketidakstabilan pasar. Investor jenis ini, bersama spekulan jangka pendek, berkontribusi pada pembentukan gelembung harga (bubbles) dan koreksi pasar yang tajam. Kondisi ini terlihat jelas di BEI dengan saham-saham seperti GOTO dan DCII yang mengalami kenaikan cepat diikuti koreksi drastis dalam waktu singkat, tanpa penjelasan fundamental yang memadai.
Sementara itu, Daniel, Hirshleifer, dan Subrahmanyam menekankan peran overconfidence dalam menciptakan momentum palsu, di mana investor terlalu percaya diri dengan informasi pribadi dan mengabaikan sinyal pasar yang objektif. Laporan IDX periode 8-11 April menunjukkan saham-saham baru IPO seperti YUPI, yang sebelumnya menjadi favorit investor dengan volume transaksi tertinggi, justru menjadi top loser, terkoreksi lebih dari 37 persen hanya dalam seminggu. Ini menunjukkan koreksi tajam terhadap ekspektasi yang tadinya terlalu optimistis. Di sisi lain, Eugene Fama, pencetus efficient market hypothesis (EMH), mengkritik teori overreaction atau underreaction. Fama berpendapat bahwa keberadaan keduanya tidak otomatis membantah efisiensi pasar, selama tidak ada pola yang konsisten dan dapat diprediksi untuk meraih abnormal return. Setidaknya, hal ini menunjukkan perlunya melonggarkan asumsi rasionalitas investor, terutama dalam kondisi krisis atau tekanan geopolitik seperti perang dagang AS-China yang sedang berlangsung.
Perang dagang tersebut telah memicu kekhawatiran global terhadap rantai pasok, tarif impor, dan stabilitas nilai tukar, yang berdampak pada arus modal ke negara berkembang. Laporan mingguan IDX 8-11 April menunjukkan arus keluar dana asing bersih sebesar Rp5,94 triliun, berbanding terbalik dengan arus masuk bersih Rp3,25 triliun dua pekan sebelumnya. Perubahan drastis ini mencerminkan flight to safety, di mana investor global menarik modal dari pasar berkembang saat ketidakpastian meningkat, menguatkan argumen Shiller bahwa pasar sering didorong oleh sentimen, bukan informasi fundamental. Konsep decision usefulness dalam pelaporan keuangan pun menjadi relevan. Ketika volatilitas pasar tinggi dan harga saham tidak mencerminkan nilai fundamental, kebutuhan akan informasi akuntansi yang berkualitas, transparan, dan mampu mengurangi asimetri informasi menjadi semakin krusial. Laporan keuangan yang hanya memenuhi standar teknis tanpa mempertimbangkan relevansi dan risiko sistemik gagal menjalankan perannya dalam membimbing keputusan ekonomi investor.
Fluktuasi tajam IHSG dalam dua pekan terakhir, sebagaimana terlihat dalam laporan mingguan BEI, bukan sekadar anomali pasar, melainkan cerminan ketegangan struktural antara teori efisiensi pasar, perilaku investor aktual, dan konteks geopolitik global yang dinamis. Teori-teori yang dibahas di atas menjadi sangat relevan, bukan hanya untuk memahami fenomena empiris, tetapi juga sebagai dasar untuk merumuskan kebijakan akuntansi dan pasar modal yang lebih adaptif dan realistis.
Pustaka
Ball, R., Sadka, G., & Sadka, R. (2009). Earnings quality and financial market volatility. Journal of Accounting and Economics, 48(1), 57–74.
Daniel, K., Hirshleifer, D., & Subrahmanyam, A. (2001). Overconfidence, arbitrage, and equilibrium asset pricing. The Journal of Finance, 56(3), 921–965.
DeLong, J. B., Shleifer, A., Summers, L. H., & Waldmann, R. J. (1990). Noise trader risk in financial markets. Journal of Political Economy, 98(4), 703–738.
Fama, E. F. (1998). Market efficiency, long-term returns, and behavioral finance. Journal of Financial Economics, 49(3), 283–306.
Shiller, R. J. (1981). Do stock prices move too much to be justified by subsequent changes in dividends? The American Economic Review, 71(3), 421–436.
Shiller, R. J. (2000). Irrational Exuberance. Princeton: Princeton University Press.