Lontong Bumbu, Nasi Ayam Kampung, dan Penurunan Daya Beli

- Penulis

Selasa, 11 Februari 2025 - 07:27 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

SELAMA olahraga jalan kaki pagi tidak jarang saya mampir jajan. Bukan lantaran lapar belum sarapan. Bukan sebab munculnya rasa ingin. Namun, karena ada satu pertimbangan tersendiri.

Teman-teman di Wild West sana menyebut, makan di antara waktu sarapan dan makan siang itu sebagai brunch. Sarapan telat, demi menambal rasa lapar sekaligus mengisi energi.

Nah, tidak jarang saya menikmati brunch, kendati pagi sebelumnya telah sarapan. Ada keadaan-keadaan yang mendorong saya untuk mampir.

Beberapa waktu lalu saya lewat di depan lapak Bu Yanti, penjual penganan sarapan: nasi uduk, lontong sayur, bihun saus kacang, gorengan, lontong bumbu.

“Mampir yeuh! Lama nih nggak jajan?”

Dua jam mendekati waktu tengah hari. Olahan bihun menggunduk, bakwan berderet bersama gorengan lainnya, dan enam bungkus lontong di antara cobek besar dan panci-panci. Setelah duduk, barulah saya mendapat keterangan bahwa masih tersedia beberapa porsi nasi uduk, lontong sayur, dan lontong bumbu.

Lontong bumbu. Bumbunya adalah kacang goreng diulek bersama garam, cabai rawit, dan air matang. Bumbu kacang diaduk dengan irisan lontong. Terkadang orang juga menamakannya doclang. Ada juga yang menyebutnya pesor (nama lain dari lontong).

Doclang versi bumbu ulek. Doclang versi hemat, harga Rp5.000 seporsi. Berbeda dengan umumnya doclang yang dijual di Jembatan Merah, Kota Bogor, dengan bumbu matang dan isi lebih beragam (tahu, telur, kentang).

Baca Juga :  3 Alasan Tak Dianjurkan Minum Kopi saat Sahur dan Buka Puasa di Ramadan 2025, Ada Efek Sampingnya

Rencananya, saya hanya ingin jajan dua atau tiga gorengan, karena ingat di tas ada lembaran dua ribu dan seribu. Namun, demi mendengar bahwa pembeli sepi, saya akhirnya memesan lontong bumbu plus dua bakwan/bala-bala.

Penjual menu sarapan sederhana ini mengeluh, belakangan terasa pembeli berkurang. Penjualan menurun. Ditambah, sulit mencari elpiji 3 kg. Ia tidak mengerti apa yang terjadi.

Saya tidak bisa menjawab, kecuali membayar penganan yang telah digiling oleh sistem pencernaan.

Pada kesempatan berbeda, sehari sebelum Acara Bedah Buku “60th Diamond Wedding Anniversary Tjiptadinata Effendi & Helena Roselina” di Gedung Perpusnas, pada 8 Februari 2025, saya mampir di sebuah warung.

Rencananya, ngopi sambil membuat draft tulisan pada suasana warung yang adem dan menenangkan.

Bangku kayu di sekitar bangunan warung tampak kosong. Hanya dua orang sedang menatap layar telepon genggam. Di depannya terletak segelas kopi yang sepertinya sudah tidak panas lagi. Biasanya, kedai ramai dengan obrolan pembeli mengelilingi meja-meja.

Saat menghidangkan kopi seduh, meluncur keluhan dari pemilik tentang penurunan penjualan.

Sepintas saya melihat jumlah rencengan kopi saset menggantung berkurang daripada biasanya. Di dalam etalase terlihat beberapa telur dadar, satu telur ceplok, tiga iris ikan cue (pindang), capjay dalam pinggan, dan tumis kacang yang tetap panjang kendati dipotong pendek.

Melihat ke dapur, tergeletak baskom berisi potongan ayam yang telah diungkep.

Baca Juga :  Saham Unilever Indonesia Semakin Tertekan pada Penutupan Bursa Akhir Pekan

“Ayam kampung. Dapet motong. Mau digorengkan?”

Barangkali penjual mengalami kesulitan membeli ayam negeri di pasar, maka ia memotong salah ayam kampung peliharaannya sebagai bahan jualan.

Satu perasaan ganjil di dalam hati mendorong saya memilih. Tak lama penjual menggoreng potongan paha atas.

Pada pagi jelang siang itu saya menyantap setengah piring nasi, sambal, lalap, telur ceplok tinggal satu, dan ayam kampung goreng. Sarapan telat, meski sudah sarapan, sekaligus makan siang terlalu cepat. Brunch.

Selama menghabiskan hidangan, saya mengobrol. Penjual merasa, belakangan penjualan anjlok di tengah sulitnya mencari elpiji 3 kg. Ia menduga, telah terjadi gelombang penurunan daya beli, sehingga berdampak terhadap penjualan di warungnya.

“Di tempat lain juga pada sepi? Kenapa ya?”

Saya tidak bisa menjawab, kecuali membayar harga makanan Rp20.000 dan mendoakan, semoga gejala penurunan penjualan bersifat sementara. Membaik seiring pencapaian pertumbuhan ekonomi 8% yang dijanjikan Presiden Prabowo dan jajarannya. Bisakah tercapai?

Para pakar lebih eligible menerangkan fenomena penurunan daya beli belakangan ini dan penyebabnya, daripada saya. 

Hal kecil yang saya bisa lakukan membeli produknya, dengan turut melariskan dagangan pelaku usaha mikro itu. Juga membesarkan hatinya.

“Siapa tahu nanti ada mercy terbaru lewat. Penumpangnya membuka kaca, melempar segepok uang. Ntar sebagian untuk modal,” saya melangitkan harap sembari memperagakan tangan sedang memutar engkol bukaan kaca sedan mewah itu.

Berita Terkait

Sejumlah Siswa di Pandeglang Diduga Keracunan Makan Bergizi Gratis, Begini Penjelasan Kepala Sekolah
Mana yang Lebih Baik, Makan Cepat atau Lambat?
Resep Serundeng Daging Empuk dan Wangi Kelapa, Bikin Nambah Nasi
7 Rekomendasi Kuliner Khas Sukoharjo, Mama Wajib Coba!
20 Rekomendasi Tempat Bukber di Jakarta Selatan, Cocok untuk Rombongan
Resep Sayur Lodeh Jagung, Ide Menu Sahur Berkuah Santan
Tampilan Mewah Hidangan Vegan Untuk Penggemar Sajian Nabati
5 Daya Tarik Wisata Alam Resto Klaten by Mbah Lurah,Resto dengan Konsep ,Pond Table, yang Unik

Berita Terkait

Sabtu, 22 Februari 2025 - 11:57 WIB

Sejumlah Siswa di Pandeglang Diduga Keracunan Makan Bergizi Gratis, Begini Penjelasan Kepala Sekolah

Sabtu, 22 Februari 2025 - 09:26 WIB

Mana yang Lebih Baik, Makan Cepat atau Lambat?

Sabtu, 22 Februari 2025 - 07:47 WIB

Resep Serundeng Daging Empuk dan Wangi Kelapa, Bikin Nambah Nasi

Sabtu, 22 Februari 2025 - 07:07 WIB

7 Rekomendasi Kuliner Khas Sukoharjo, Mama Wajib Coba!

Jumat, 21 Februari 2025 - 11:26 WIB

20 Rekomendasi Tempat Bukber di Jakarta Selatan, Cocok untuk Rombongan

Berita Terbaru

public-safety-and-emergencies

Mobil Pikap dan 16 Unit Sepeda Listrik Menghitam, Ludes Jadi Bangkai di Tol Gempol-Pasuruan

Sabtu, 22 Feb 2025 - 12:27 WIB