RAGAMUTAMA.COM – London Marathon 2025 kembali menjadi sorotan, bukan hanya karena skala dan prestisenya sebagai salah satu dari World Marathon Majors, tetapi juga karena kebijakan inklusif yang diterapkan kepada peserta transgender, yang berbeda dengan aturan dari World Athletics.
Dalam konferensi pers pada 23 April 2025, Direktur London Marathon, Hugh Brasher, menegaskan bahwa peserta lomba massal tetap diizinkan memilih identitas gender mereka—baik sebagai pria, wanita, atau non-biner saat mendaftar untuk berpartisipasi dalam lomba yang akan digelar 27 April 2025 mendatang.
“Untuk kategori elit dan kejuaraan kelompok usia, kami mengikuti definisi wanita menurut pengadilan, yakni wanita kelahiran biologis. Namun untuk peserta umum, mereka dapat menentukan sendiri identitas gendernya,” ujar Brasher.
World Athletics, sebagai badan tertinggi atletik dunia, telah menetapkan bahwa atlet transgender wanita tidak diizinkan bertanding dalam kategori wanita untuk kompetisi tingkat kejuaraan dan elit. Aturan ini bertujuan menjaga keadilan kompetisi, terutama menyangkut potensi keunggulan fisiologis dari atlet transgender yang dilahirkan sebagai pria.
Namun, London Marathon 2025 mengambil pendekatan berbeda untuk peserta umum, menekankan inklusivitas. Identifikasi peserta didasarkan pada dokumen resmi seperti paspor, yang dalam banyak kasus masih memungkinkan identitas gender yang telah diubah.
Kontroversi serupa sempat mencuat pada London Marathon 2023 ketika Glenique Frank, seorang pelari transgender yang sebelumnya mengikuti New York Marathon dan Tokyo Marathon sebagai laki-laki, kemudian berpartisipasi di London sebagai perempuan hanya berselang beberapa minggu. Kasus ini memicu perdebatan luas tentang etika, keadilan, dan aturan dalam olahraga.
Frank kemudian mengakui kesalahannya dan meminta maaf karena mengikuti lomba di kategori wanita sebelum menjalani operasi, serta berjanji tidak akan mengulanginya lagi hingga proses transisinya selesai.
Menambah kompleksitas isu ini, putusan Mahkamah Agung Inggris pekan lalu menyatakan bahwa pengertian wanita dalam Undang-Undang Kesetaraan harus merujuk pada jenis kelamin biologis. Putusan tersebut dapat membawa dampak signifikan terhadap kebijakan olahraga di seluruh Inggris.
Meski demikian, Brasher menegaskan bahwa kebijakan London Marathon belum akan diubah hingga Komisi Kesetaraan dan Hak Asasi Manusia (EHRC) serta Departemen Olahraga Inggris mengeluarkan pedoman resmi pada musim panas nanti.
“Kami akan patuh terhadap hukum, tetapi kami juga butuh rincian pedoman yang jelas sebelum membuat perubahan kebijakan penghargaan,” ungkapnya.
Brasher juga mengonfirmasi bahwa London Marathon memboikot platform X (sebelumnya Twitter) sejak awal tahun ini.
Alasannya adalah karena platform tersebut dinilai semakin “keras dan terdegradasi” sejak diambil alih oleh Elon Musk. Kebijakan Musk dan juga pernyataan Presiden AS Donald Trump yang berulang kali mengkritik keikutsertaan atlet transgender wanita dalam olahraga wanita disebut sebagai bagian dari eskalasi debat publik yang tidak sehat.
Sebagai salah satu dari tujuh maraton paling prestisius dunia bersama Boston, Berlin, Tokyo, Chicago, New York City, dan Sydney, London Marathon tetap berkomitmen untuk menyambut semua pelari tanpa memandang latar belakang. Namun, kontroversi mengenai gender dan keadilan kompetisi masih menjadi tantangan yang belum terselesaikan.
Dengan lebih dari 40.000 peserta yang akan berlari akhir pekan ini, London Marathon 2025 tidak hanya menjadi ajang olahraga akbar, tetapi juga panggung diskusi global tentang inklusivitas, identitas, dan regulasi dalam dunia atletik modern.