RAGAMUTAMA.COM – Di Korea Selatan, terlihat muda bukan sekadar bonus—itu semacam keharusan sosial. Ucapan seperti “Kamu awet muda banget!” sudah menjadi ritual dalam perbincangan sehari-hari. Bahkan saat pertama kali kenal, orang Korea sering langsung bertanya soal usia, bukan untuk sekadar tahu, tapi untuk menentukan cara bicara dan bersikap yang tepat.
Namun di balik basa-basi itu, tersembunyi tekanan sosial yang tak main-main. Penampilan muda bukan hanya diidam-idamkan, tapi seolah menjadi tolok ukur status sosial dan penerimaan.
Kalau di banyak budaya usia dianggap sesuatu yang pribadi, di Korea hal itu dibicarakan dengan sangat terbuka. Standar kecantikan pun sangat detail—dari kekenyalan kulit, kerutan di sekitar mata, hingga gaya bicara yang dianggap “kekinian”. Tak heran, banyak orang, baik tua maupun muda, berlomba-lomba mempertahankan citra awet muda.
Bahkan tren “dongan”yang berarti memiliki wajah seperti anak-anak telah menjadi fenomena tersendiri. Klinik-klinik kecantikan memanfaatkan tren ini dengan menjanjikan berbagai prosedur estetika yang bisa “mengembalikan masa muda” dalam sekejap.
Contoh nyata datang dari aktris Choi Hwa-jung yang kini berusia 63 tahun. Video YouTube miliknya tentang rahasia anti-aging telah ditonton lebih dari 1,1 juta kali. Di sana, ia membagikan kiat-kiat mulai dari cara mencegah kerontokan rambut hingga menjaga kulit tetap bercahaya.
Video seperti itu menarik perhatian masyarakat luas—terutama generasi 30 hingga 50-an. Banyak yang merasa tertinggal jika belum mencoba berbagai terapi pengencangan kulit atau prosedur lainnya. Song Su-jung, 40 tahun, mengaku mulai mempertimbangkan perawatan karena teman-temannya sudah lebih dulu melakukannya.
“Aku merasa tertekan karena semua teman sudah mulai perawatan, dan aku belum,” katanya.
Namun di tengah tekanan sosial yang kian besar, para ahli mengingatkan bahwa penuaan adalah proses alami yang tak seharusnya dilawan mati-matian.
Kim Hyun, psikolog klinis dan asisten profesor di Universitas Columbia, menyarankan agar masyarakat Korea mulai membangun hubungan yang lebih sehat dengan tubuh yang berubah. Menurutnya, saat melihat keriput, jangan buru-buru menilainya sebagai hal buruk.
“Daripada langsung berpikir ‘aku jadi jelek’, coba lihat kerutan itu sebagai bagian dari cerita hidupmu,” ujar Kim.
Ia juga mengingatkan bahwa perasaan terasing saat melihat tanda-tanda penuaan adalah hal yang wajar, tapi justru dengan menerima itu, seseorang bisa merasa lebih terhubung dengan sesama.
Hal senada diungkapkan Lee Seon-kyung, psikolog dan CEO With Insight. Ia mendorong orang untuk bersyukur atas tubuh yang telah menemani mereka melewati berbagai pasang surut hidup.
“Tubuhmu layak dihargai, bukan dikritik,” katanya. Menurutnya, berbagi kekhawatiran tentang penuaan dengan orang terdekat bisa mengurangi kecemasan dan menumbuhkan rasa aman.
Meski budaya Korea masih sangat menekankan pentingnya penampilan muda, para ahli sepakat bahwa fokus hidup seharusnya tidak hanya soal tampilan luar.
Menemukan nilai pribadi dan makna hidup bisa membantu orang terbebas dari tekanan sosial yang kadang terlalu keras.
Penuaan bukan sesuatu yang harus dilawan, apalagi disembunyikan. Ia adalah bagian alami dari hidup. Dan mungkin, saat kita bisa menerimanya tanpa syarat, di situlah letak kebebasan sejati.