Beberapa waktu lalu, tim penyidik dari Kejaksaan Agung menghadapi situasi yang tak terduga saat melakukan penggeledahan di kediaman Hakim Ali Muhtarom yang berlokasi di Jepara, Jawa Tengah. Upaya pencarian bukti berupa uang tunai sempat menemui jalan buntu.
Situasi berubah ketika seorang wanita, yang diduga merupakan salah satu penghuni rumah, menunjukkan arah kepada para penyidik menuju sebuah kamar. Di dalam kamar tersebut, wanita itu terlihat menghampiri area di bawah tempat tidur.
Dengan sedikit kesulitan, wanita tersebut berusaha mencari sesuatu di kolong kasur. Seorang penyidik kemudian menawarkan bantuan untuk mempermudah pencarian.
Penyidik tersebut kemudian menarik keluar sebuah kardus yang ternyata menutupi sebuah karung berwarna putih. Setelah karung tersebut dibuka, terlihatlah sebuah koper di dalamnya. Saat koper dibuka, tampak dua bungkusan mencurigakan.
Setelah diperiksa lebih lanjut, bungkusan tersebut ternyata berisi uang tunai dengan jumlah yang sangat signifikan, mencapai Rp 5,5 miliar. “Terdapat 3.600 lembar atau 36 blok dalam mata uang asing, yaitu 100 USD,” ungkap Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, pada hari Kamis (24/4).
Uang tersebut disembunyikan dengan sangat rapi. Dibungkus dalam empat lapisan pelindung dan disimpan di tempat yang tak lazim, yaitu di bawah kasur. Hingga saat ini, Ali Muhtarom belum memberikan komentar terkait penemuan uang tersebut oleh penyidik.
Kejaksaan Agung terus melakukan investigasi mendalam untuk mengungkap asal-usul uang tersebut. “Kami akan mendalami apakah uang itu merupakan bagian dari aliran dana yang belum digunakan, atau mungkin berasal dari sumber simpanan lain,” jelas Harli.
Perlu diketahui bahwa Ali Muhtarom adalah salah satu anggota Majelis Hakim yang memberikan vonis bebas kepada terdakwa korporasi dalam kasus persetujuan ekspor CPO. Ia bertugas bersama Hakim Djuyamto dan Hakim Agam Syarif Baharudin.
Ketiganya kini berstatus tersangka penerima suap terkait dengan pengaturan vonis tersebut. Bersama Hakim Muhammad Arif Nuryanta (mantan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat), mereka diduga menerima suap dengan total mencapai Rp 60 miliar.
Dalam kasus ini, terdapat tiga tersangka penerima suap lainnya, yaitu dua pengacara yang mewakili terdakwa korporasi dalam kasus CPO, Ariyanto Bakri dan Marcella Santoso, serta pihak Legal Wilmar Group, Muhammad Syafei. Dalam perkara CPO tersebut, terdapat tiga terdakwa korporasi, yakni Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.
Penyerahan uang kepada Arif dilakukan melalui seorang panitera bernama Wahyu Gunawan. Setelah uang diterima, Wahyu mendapatkan bagian sebesar USD 50 ribu sebagai imbalan atas jasanya sebagai penghubung.
Selanjutnya, Arif menunjuk susunan majelis hakim yang akan bertugas menangani perkara korupsi CPO tersebut.
Diduga, Arif membagi-bagikan uang suap tersebut kepada majelis hakim dalam dua tahap. Tahap pertama, Arif memberikan total Rp 4,5 miliar kepada ketiga hakim tersebut sebagai uang untuk membaca berkas perkara.
Kemudian, Arif kembali menyerahkan uang sebesar Rp 18 miliar kepada Djuyamto dan rekan-rekannya dengan tujuan agar memberikan vonis bebas kepada para terdakwa. Diketahui bahwa Ali diduga menerima bagian sebesar Rp 5 miliar.
Dalam putusannya terkait kasus persetujuan ekspor CPO, Majelis Hakim menyatakan bahwa para terdakwa korporasi terbukti melakukan perbuatan yang sesuai dengan dakwaan. Namun, hakim berpendapat bahwa perbuatan tersebut bukanlah tindakan korupsi.
Oleh karena itu, Majelis Hakim memutuskan untuk menjatuhkan vonis bebas atau *ontslag* dan membebaskan para terdakwa dari tuntutan pembayaran uang pengganti sebesar Rp 17 triliun.
Hingga saat ini, belum ada keterangan resmi yang diberikan oleh para terdakwa korporasi CPO maupun para tersangka dalam kasus pengaturan vonis perkara persetujuan ekspor CPO terkait dengan dugaan kasus suap ini.