Ragamutama.com, Jakarta – Rencana kebijakan transmigrasi lokal bagi warga terdampak proyek Rempang Eco City di Batam, Kepulauan Riau, menuai sorotan. Made Natasya Restu Dewi Pratiwi, seorang peneliti Bidang Sosial dari The Indonesian Institute (TII), mendesak pemerintah untuk melakukan pengkajian ulang terhadap rencana tersebut.
Menurut Natasya, narasi transmigrasi lokal berpotensi menjadi sebuah upaya untuk merelokasi masyarakat lokal dari tanah kelahiran mereka demi kepentingan pembukaan lahan industri. Mengingat masih adanya penolakan dari warga Rempang, pemerintah diharapkan dapat mengambil langkah yang lebih bijaksana.
“Kebijakan transmigrasi yang tidak selaras dengan kebutuhan masyarakat lokal berisiko menyebabkan disintegrasi struktur agraria, yang pada akhirnya dapat memicu peralihan kontrol atas pengelolaan tanah dari masyarakat lokal ke pihak yang memiliki kekuasaan,” ujar Natasya kepada Tempo, Sabtu, 5 April 2025.
Akibatnya, warga terdampak yang menolak proyek Rempang Eco City dan program transmigrasi lokal menjadi lebih rentan terhadap berbagai ancaman, potensi kriminalisasi, bahkan kehilangan mata pencaharian. Dengan kata lain, transmigrasi lokal menyimpan risiko terjadinya perubahan struktur sosial dan dapat mengancam kondisi ekonomi masyarakat Rempang secara keseluruhan.
“Penting bagi pemerintah untuk mengevaluasi kembali kebijakan ini guna memberikan kepastian hukum kepada masyarakat dan melindungi hak kepemilikan serta kesejahteraan mereka,” tegas Natasya.
Lebih lanjut, Natasya menyoroti perlunya pemerintah untuk mengklarifikasi urgensi pelaksanaan transmigrasi lokal. Terlebih lagi, lokasi yang direncanakan untuk transmigrasi, yaitu di Tanjung Banon, Kecamatan Galang, terletak tidak jauh dari permukiman warga saat ini.
Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai keamanan lokasi transmigrasi tersebut. “Apakah lokasi yang dipilih benar-benar dapat melindungi masyarakat setempat dari dampak lingkungan yang mungkin timbul akibat pembangunan kawasan industri?” tanya Natasya.
Program transmigrasi lokal bagi warga Rempang merupakan inisiatif Menteri Transmigrasi, Muhammad Iftitah Sulaiman Suryanagara, sebagai respons terhadap terhambatnya proyek Rempang Eco City akibat konflik agraria. Iftitah meyakini bahwa transmigrasi lokal dapat menjadi solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Ia juga berencana untuk segera menetapkan Rempang sebagai Kawasan Transmigrasi.
Iftitah menegaskan bahwa keikutsertaan warga dalam program transmigrasi tidak bersifat paksaan. Ia juga menjanjikan tidak akan ada intimidasi terhadap warga. Namun, purnawirawan TNI AD ini menekankan bahwa transmigrasi dilakukan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pemerintah berjanji akan memberikan pendampingan kepada warga dan mengembangkan kawasan transmigrasi menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru yang dilengkapi dengan fasilitas kesehatan dan pendidikan. Politikus dari Partai Demokrat ini juga menjamin bahwa warga Rempang akan diprioritaskan sebagai tenaga kerja di industri-industri yang dibangun di Rempang Eco City.
“Kami tidak ingin investasi yang masuk justru menggusur keberadaan mereka,” kata Iftitah kepada Tempo, Senin, 31 Maret 2025.
Namun demikian, warga Rempang yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Rempang Galang Bersatu (AMAR-GB) tetap bersikukuh menolak kebijakan tersebut. Penolakan ini tidak surut meskipun Iftitah telah berupaya berdialog dengan warga dan merayakan Idul Fitri bersama mereka di Rempang pada Sabtu-Senin, 29-31 Maret 2025.
Miswadi alias Wadi, salah seorang pengurus AMAR-GB, berpendapat bahwa transmigrasi lokal sama saja dengan penggusuran karena memaksa warga untuk meninggalkan kampung halaman mereka. Warga Rempang dengan tegas menolak untuk dipindahkan. Mereka menuntut pengakuan legalitas atas kampung-kampung tua yang telah dihuni secara turun temurun sejak zaman nenek moyang sebelum Indonesia merdeka.
“Kami sudah berada di sini selama hampir 6 generasi,” kata Wadi. “Tanpa Rempang Eco City pun, kami tetap bisa hidup sejahtera.”
Sani Rio, seorang warga yang hadir dalam sesi dialog bersama Iftitah di Kampung Pasir Panjang pada Ahad, 30 Maret 2025, juga menyuarakan tuntutan yang sama. Rio menegaskan bahwa warga Pulau Rempang tidak ingin direlokasi karena mereka telah tinggal di sana jauh sebelum NKRI berdiri.
Sebagai bukti, ia menyebutkan bahwa neneknya berusia 105 tahun. Oleh karena itu, daripada transmigrasi, warga lebih membutuhkan pengakuan atas hak kepemilikan lahan tempat tinggal mereka. “Kalau ada warga yang ingin masuk (Rempang), silakan. Bukan kami yang harus digeser,” ujarnya.
Pilihan Editor: Berlebaran di Pulau Rempang sebelum Transmigrasi, Iftitah Sulaiman: Untuk Mendapatkan Soul