LABUAN BAJO RAGAMUTAMA.COM – Balai Taman Nasional Komodo (BTNK) memberikan klarifikasi terkait izin usaha wisata alam di kawasan konservasi Taman Nasional Komodo, menanggapi pertanyaan publik dan kekhawatiran yang beredar.
Pertanyaan tersebut muncul, antara lain, dari anggota DPRD Manggarai Barat, Silvester Syukur, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Kantor DPRD Manggarai Barat pada Senin (28/4/2025). Pertanyaan ini dipicu oleh insiden larangan bagi seorang pemandu lokal untuk membawa wisatawan ke Pantai Padar Utara oleh petugas dari PT Palma Hijau Cemerlang (PHC).
Kepala BTNK, Hendrikus Rani Siga, menjelaskan bahwa keberadaan perusahaan dan koperasi di Taman Nasional Komodo sesuai dengan regulasi pemerintah. Terdapat izin penyediaan jasa wisata alam dan izin penyediaan sarana wisata alam.
“Izin penyediaan jasa diberikan kepada beberapa koperasi, seperti Komodo Citra Lestari di Loh Buaya, juga di Padar Selatan dan Loh Liang. Warga di Kampung Komodo dan Kampung Rinca juga memegang izin serupa secara perorangan,” terang Hendrikus.
Sementara itu, untuk penyediaan sarana wisata alam, tiga perusahaan telah mendapatkan izin: PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE), PT Segara Komodo Lestari (SKL), dan PT Sinergindo Niagatama. PT KWE memiliki konsesi di Pulau Komodo (151,94 hektar) dan Padar Selatan (274,13 hektar); PT Segara Komodo Lestari di Pulau Rinca (22,1 hektar); dan PT Sinergindo Niagatama di Pulau Tatawa (15,32 hektar).
Dasar hukum pemberian izin tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di kawasan konservasi.
“Praktik ini bukan hanya di Taman Nasional Komodo. Hampir semua taman nasional di Indonesia memberikan izin serupa,” tambahnya.
Hendrikus mengakui sensitivitas isu ini karena Taman Nasional Komodo memiliki tiga status internasional: Warisan Alam Dunia (World Heritage Site), Cagar Biosfer (Man and Biosphere Reserve), dan masuk dalam daftar New7Wonders of Nature.
“Ketiga status ini membuat pengawasan aktivitas pembangunan di TNK sangat ketat, termasuk dari UNESCO,” jelasnya.
Untuk memenuhi standar UNESCO, semua pembangunan wajib melengkapi dokumen Kajian Lingkungan Strategis (KLHS) dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). BTNK juga menjalankan skema perjanjian kerja sama (PKS) dengan pihak ketiga, seperti PT Palma Hijau Cemerlang, untuk pengamanan kawasan, monitoring, dan penyediaan sarana wisata, seperti mooring buoy.
Hendrikus menekankan sering terjadi kesalahpahaman publik antara perusahaan yang beroperasi berdasarkan PKS dan perusahaan yang memiliki Izin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA).
“Seringkali informasi di media sosial tercampur aduk,” ujarnya.
Meskipun regulasi mengizinkan pemberian izin, Hendrikus mengakui adanya keberatan dari berbagai pihak, termasuk aktivis lingkungan dan pemerhati Taman Nasional Komodo. BTNK telah menerima berbagai masukan dan kekhawatiran terkait pembangunan sarana wisata di kawasan konservasi.
“Secara moral, publik mungkin keberatan. Namun, dari sisi aturan, hal ini dimungkinkan,” tutupnya.