JAKARTA, KOMPAS.com – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus melemah setelah pekan lalu anjlok ke 6.270.
Tekanan ini memperpanjang tren penurunan yang sudah berlangsung dua pekan terakhir.
Analis saham sekaligus Founder Stocknow.id Hendra Wardana menjelaskan, salah satu pemicu utama adalah keluarnya dana asing dalam jumlah besar.
Penurunan peringkat Indonesia oleh Morgan Stanley Capital International (MSCI) dari Equalweight menjadi Underweight memicu aksi jual masif, memperburuk sentimen pasar.
“Jika tekanan ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin IHSG akan menembus level psikologis 6.000 dan bahkan bisa turun hingga 5.800 dalam skenario terburuk,” ujar Hendra dalam keterangan tertulis, dikutip Senin (3/3/2025).
Baca juga: IHSG Diproyekikan Menguat di Awal Pekan? Simak Analisis dan Rekomendasi Saham Senin
Investor asing mencatatkan net sell Rp 7,67 triliun dalam sepekan, terutama di sektor perbankan.
Saham PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI), PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI), dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) menjadi korban utama.
Sentimen Global dan Rupiah yang Melemah
Hendra menjelaskan, keluarnya dana asing bukan hanya akibat faktor domestik. Kondisi global juga berkontribusi besar.
Ketidakpastian meningkat setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan kenaikan tarif impor terhadap China, Kanada, dan Meksiko.
Kebijakan ini berpotensi menghambat perdagangan global dan memperlambat pertumbuhan ekonomi dunia.
Nilai tukar rupiah terus melemah, mendekati Rp 16.550 per dolar AS. Kondisi ini menambah tekanan bagi pasar saham domestik.
Minimnya stimulus dari pemerintah dan regulator membuat investor semakin ragu terhadap prospek ekonomi Indonesia.
“Trust issue terhadap kebijakan pemerintah dan prospek ekonomi nasional harus segera diatasi agar arus modal asing tidak semakin menjauh,” kata Hendra.
Baca juga: Lo Kheng Hong: IHSG Turun, Ini Saatnya Menampung Hujan Emas
Menurut dia, dalam jangka pendek, tekanan ini menunjukkan investor asing masih skeptis terhadap pasar saham Indonesia. Ketidakpastian global dan lemahnya sentimen domestik semakin menekan IHSG.
Namun, ada sedikit harapan dari pasar obligasi. Investor asing justru mencatatkan net buy di Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 11,5 triliun sepanjang Februari 2025. Ini menunjukkan Indonesia masih menarik dari sisi instrumen pendapatan tetap.
“Tapi tanpa langkah konkret dari pemerintah dan regulator, risiko keluarnya modal dalam jumlah yang lebih besar tetap terbuka lebar,” tambah Hendra.
Langkah Strategis yang Dibutuhkan
Untuk mencegah pelemahan lebih dalam, Bursa Efek Indonesia (BEI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus segera bertindak.
Komunikasi yang lebih efektif dengan pelaku pasar diperlukan untuk meredam kepanikan dan mengembalikan kepercayaan investor.
Salah satu langkah yang bisa diambil adalah pidato dari Presiden atau Menteri Ekonomi. Jika dilakukan di gedung BEI, langkah ini bisa menenangkan pasar sekaligus mengumumkan kebijakan pro-pasar.
Selain itu, pemerintah perlu memberikan stimulus fiskal yang lebih konkret, termasuk insentif bagi emiten strategis dan percepatan realisasi investasi di sektor riil.
Saat ini, Indonesia menjadi salah satu bursa dengan koreksi terdalam dalam satu bulan terakhir, turun 11,4 persen. Angka ini jauh lebih dalam dibandingkan Malaysia (-4,1 persen), India (-6,2 persen), dan Jepang (-6,9 persen).
Tekanan di pasar domestik tidak hanya dipicu faktor eksternal, tetapi juga ketidakpastian dalam negeri. Jika tidak ada langkah konkret dalam waktu dekat, tekanan jual bisa semakin masif dan menekan IHSG ke level yang lebih rendah.
Hendra menyarankan investor untuk tetap berhati-hati.
“Pertahankan porsi kas yang lebih besar dan hanya masuk ke saham dengan fundamental kuat,” ucapnya.
Beberapa saham yang masih menarik untuk dipantau adalah SCMA dengan target harga 210, PSAB 280, dan EMTK 580.
Pasar masih membutuhkan katalis positif yang kuat untuk membalikkan tren ini. Rebound hanya bisa terjadi jika ada kejelasan arah kebijakan dari regulator dan pemerintah. Stabilitas ekonomi harus dijaga agar kepercayaan investor kembali dan kondisi pasar lebih kondusif bagi investasi jangka panjang.
Disclaimer: Artikel ini bukan ajakan untuk membeli atau menjual saham. Semua rekomendasi dan analisis saham berasal dari analis sekuritas yang bersangkutan. Kompas.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan atau kerugian yang timbul. Keputusan investasi sepenuhnya berada di tangan investor. Pastikan melakukan riset menyeluruh sebelum membuat keputusan investasi.