JAKARTA, RAGAMUTAMA.COM – Para analis pasar modal memberikan proyeksi bahwa aktivitas perdagangan saham pada hari ini, Kamis (17/4/2025), diperkirakan akan sangat dipengaruhi oleh dinamika terbaru seputar kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan Amerika Serikat (AS) terhadap China.
Seperti diketahui, pada hari Selasa (15/4/2025) malam waktu setempat, pemerintah AS secara resmi mengumumkan peningkatan tarif impor yang signifikan untuk produk-produk asal China, dari sebelumnya 145 persen menjadi 245 persen.
Nafan Aji Gusta, seorang Senior Investment Information dari Mirae Asset Sekuritas Indonesia, menjelaskan bahwa dampak dari pengumuman penting tersebut mulai terasa di pasar saham domestik pada penghujung sesi perdagangan hari Rabu (16/4/2025).
Sebagai ilustrasi, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penutupan yang lebih rendah pada sesi perdagangan hari Rabu. Secara rinci, IHSG terkoreksi sebesar 41,62 poin atau setara dengan 0,65 persen, hingga mencapai level 6.400,05.
Perlu dicatat bahwa pada sesi perdagangan pagi hari Rabu, IHSG sempat mencatatkan level tertinggi hariannya di angka 6.469,59.
Akan tetapi, pergerakan IHSG cenderung menurun pada sesi kedua dan bahkan sempat menyentuh titik terendah di level 6.373,79.
“(Penurunan IHSG pada hari Rabu kemarin) erat kaitannya dengan sentimen pemberlakuan tarif oleh AS terhadap China yang mengalami lonjakan sebesar 100 persen menjadi 245 persen. Oleh karena itu, efeknya sudah terasa pada pelemahan IHSG pada perdagangan hari ini (Rabu),” ungkapnya saat dihubungi oleh Kompas.com pada hari Rabu.
Nafan memperkirakan bahwa perkembangan kebijakan tarif balasan dari AS ini masih akan menjadi faktor negatif yang mempengaruhi sentimen pasar pada perdagangan hari ini.
Hal ini dikarenakan, dari sisi dalam negeri, belum ada rilis data makroekonomi domestik yang signifikan yang dapat memberikan sentimen positif bagi pasar.
Selain itu, perlu diingat bahwa pada hari Jumat (18/4/2025) mendatang, aktivitas perdagangan saham di Indonesia akan ditiadakan karena bertepatan dengan hari libur nasional Paskah.
“Dampak tersebut seharusnya juga dapat dirasakan pada perdagangan besok. Terlebih lagi, (tarif resiprokal AS) memiliki potensi untuk memberikan high market impact,” jelasnya.
Perdagangan Saham di RI Berpotensi Disuspend?
Di sisi lain, pengamat sektor keuangan, Ibrahim Assuaibi, berpendapat bahwa ada kemungkinan besar indeks saham gabungan AS akan mengalami penurunan pada sesi perdagangan hari Rabu.
Hal serupa juga berlaku untuk indeks saham gabungan di wilayah Eropa dan Inggris.
Namun, pihak yang paling merasakan dampak negatif dari keputusan AS ini adalah pasar saham Asia, mengingat keberadaan China sebagai mitra dagang yang berselisih dengan AS.
“Para investor harus berhati-hati karena informasi tentang perang dagang ini cukup signifikan, terutama dengan tarif sebesar 245 persen yang tergolong luar biasa dan pasti akan menggoyahkan pasar, khususnya pasar Asia,” kata Ibrahim saat dihubungi oleh Kompas.com pada hari Rabu.
Ibrahim menambahkan bahwa pelemahan pasar saham global tersebut pada akhirnya akan berdampak pula pada pasar saham Indonesia, dengan potensi IHSG untuk bergerak di zona merah.
Bahkan, ia mengindikasikan adanya kemungkinan bahwa perdagangan saham pada hari ini akan dihentikan sementara (suspend) pada sesi perdagangan pertama. Ini berarti IHSG diprediksi akan melemah lebih dari 5 persen.
“Dalam perdagangan IHSG besok, kemungkinan besar situasinya akan memburuk, bahkan bisa mencapai 8 persen. Ada kemungkinan besar akan ada suspend di perdagangan pertama,” pungkasnya.
Akan tetapi, saat dikonfirmasi secara terpisah, Nafan Aji justru berpendapat bahwa meskipun IHSG diperkirakan akan mengalami penurunan pada perdagangan hari ini, penurunan tersebut tidak akan sampai menyebabkan pemberlakuan suspend oleh Bursa Efek Indonesia (BEI). “Tidak (sampai disuspend),” tegasnya saat dikonfirmasi oleh Kompas.com.
Alasannya adalah karena para investor kemungkinan besar sudah dapat mengantisipasi bahwa pemerintah AS akan melancarkan serangan balasan terhadap China.
Perlu diingat bahwa kedua negara besar ini telah beberapa kali terlibat dalam aksi saling balas di sektor perdagangan sejak Presiden AS Donald Trump mengumumkan pemberlakuan tarif impor terhadap sejumlah negara, termasuk China.
“Memang, Trump’s temper tantrum effect ini bisa jadi sentimennya masih belum mereda. Kecuali jika masing-masing pihak dapat saling menahan diri dan mengambil pendekatan diplomasi dalam hal perdagangan, situasinya mungkin akan membaik,” ujarnya.