Ragamutama.com – Pasar saham global menaruh perhatian besar pada kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump. Implikasinya terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diperkirakan cukup signifikan. Pada perdagangan Selasa (8/4), IHSG berpotensi mengalami penurunan tajam, menyusul koreksi yang telah terjadi di bursa global selama periode libur panjang di Indonesia.
“IHSG diperkirakan akan bergerak dengan level support antara 6.179 hingga 5.967, serta level resistance antara 6.550 hingga 6.706,” ujar Hans Kwee, seorang analis pasar modal, kepada Jawa Pos pada hari Minggu (6/4).
Meskipun ada potensi untuk rebound menjelang akhir pekan, Hans menyarankan kepada para investor untuk menerapkan strategi *buy on weakness* (BOW). Namun, ia menekankan pentingnya kehati-hatian dalam pengambilan keputusan investasi.
Kebijakan tarif yang dikeluarkan oleh Trump telah memicu reaksi keras di pasar saham. Wall Street, sebagai bursa utama, mengalami koreksi yang cukup dalam akibat kekhawatiran akan eskalasi perang dagang dan meningkatnya potensi risiko resesi global.
“Tarif yang lebih tinggi dari ekspektasi telah mengirimkan kejutan ke seluruh pasar keuangan dunia. Federal Reserve (The Fed) diperkirakan akan melakukan pemotongan suku bunga sebanyak 3 hingga 4 kali pada tahun 2025 sebagai respons terhadap risiko resesi di AS,” jelas dosen Magister Fakultas Ekonomi Bisnis Unika Atma Jaya tersebut.
Di Eropa, bursa saham juga menghadapi tekanan penurunan setelah pengumuman tarif oleh Trump. Uni Eropa dan Tiongkok segera merespons dengan mengumumkan tarif balasan.
Kondisi ini diperkirakan akan mendorong Bank Sentral Eropa (ECB) untuk melakukan pemangkasan suku bunga acuan sebanyak tiga kali.
“Masing-masing sebesar 25 basis poin (bps), dengan perkiraan 90 persen dimulai pada akhir bulan ini,” tambahnya.
Negara-negara di kawasan Asia Tenggara turut merasakan dampak dari kebijakan ini. Terlebih, tarif yang dikenakan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan Eropa dan India, termasuk Indonesia.
“Indonesia dikenakan tarif yang relatif tinggi, yaitu 32 persen, ditambah 10 persen tarif dasar. Diharapkan pemerintah segera melakukan negosiasi dengan AS dan lebih mendekatkan diri ke BRICS sebagai solusi perdagangan di masa depan,” ungkap Hans.
Harga minyak juga tidak luput dari guncangan akibat kebijakan tarif Trump. Harga komoditas ini berpotensi tertekan, seiring dengan kekhawatiran akan risiko resesi dan perlambatan permintaan.
Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI), Ramdan Denny Prakoso, menyampaikan bahwa bank sentral terus memantau perkembangan pasar keuangan global dan domestik pasca pengumuman kebijakan tarif Trump pada tanggal 2 April 2025. Termasuk pengumuman retaliasi tarif oleh Tiongkok pada 4 April 2025.
“Pasar bergerak dinamis, di mana pasar saham global mengalami pelemahan dan *yield* US Treasury mengalami penurunan hingga mencapai level terendah sejak Oktober 2024,” jelas Denny.
BI tetap berkomitmen untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, terutama melalui optimalisasi instrumen *triple intervention*. Ini meliputi intervensi di pasar valuta asing (valas) pada transaksi spot, *domestic non-deliverable forward* (DNDF), dan surat berharga negara (SBN) di pasar sekunder.
Dengan demikian, BI berupaya memastikan kecukupan likuiditas valuta asing (valas) untuk memenuhi kebutuhan perbankan dan dunia usaha, serta menjaga keyakinan para pelaku pasar.
Upaya ini bertujuan untuk meminimalkan dampak volatilitas pasar yang dapat mempengaruhi perekonomian domestik, khususnya dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
BI terus berupaya untuk memitigasi risiko yang ditimbulkan oleh ketegangan perdagangan global, serta memastikan likuiditas pasar tetap terjaga dalam kondisi yang penuh tantangan saat ini. (han)