LABUAN BAJO, RAGAMUTAMA.COM – Gelombang pembangunan hotel di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), memicu sorotan tajam. Sejumlah penginapan terpantau agresif membangun fasilitas, termasuk dermaga dan vila mewah, yang sayangnya berpotensi merampas wilayah pantai hingga ke area laut.
Konsekuensi dari ekspansi ini dirasakan langsung oleh warga Labuan Bajo. Akses mereka ke pantai, yang seharusnya menjadi ruang publik bersama, semakin terbatas.
Menanggapi situasi tersebut, Badan Peduli Taman Nasional Komodo dan Perairan Sekitarnya (BPTNKPS) secara resmi menyampaikan keberatan mereka kepada Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Emanuel Melkiades Laka Lena.
Pater Marsel Agot, Ketua BPTNKPS, menjelaskan bahwa surat keberatan tersebut telah dikirimkan ke Kupang pada hari Rabu, 9 April 2025.
“Hardcopy surat sudah kami kirimkan ke Kupang pada hari Rabu. Sebelumnya, kami juga sudah menyampaikan pemberitahuan melalui pesan WhatsApp langsung ke nomor pribadi Bapak Gubernur NTT,” jelas Pater Marsel saat ditemui di Labuan Bajo pada Kamis (10/4/2025) siang.
Menurut Pater Marsel, pembangunan vila-vila di atas laut di Labuan Bajo menyimpan risiko besar terhadap kerusakan lingkungan dan berdampak negatif bagi masyarakat lokal. Lebih lanjut, ia menyoroti polemik terkait pelanggaran aturan sempadan pantai dan dugaan pengkaplingan tanah negara yang menyertai pembangunan infrastruktur pariwisata di Labuan Bajo.
“Kasus-kasus yang mengemuka, seperti pembangunan vila di atas laut yang menghalangi akses publik ke pantai serta reklamasi laut yang diduga bermasalah dalam perizinannya, mencerminkan minimnya kepatuhan terhadap regulasi tata ruang wilayah pesisir,” tegasnya.
Pelanggaran-pelanggaran ini, lanjutnya, jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 yang telah diubah dengan UU Nomor 1 Tahun 2014, serta berbagai peraturan pemerintah dan daerah yang mengatur zonasi wilayah pesisir.
Selain itu, pembangunan vila di atas laut juga berpotensi besar mencemari lingkungan perairan Labuan Bajo.
“Limbah yang dihasilkan dari aktivitas tersebut dapat merusak ekosistem laut dan mengancam keberlangsungan hidup berbagai biota laut,” Pater Marsel menambahkan.
Untuk mengantisipasi dan mengatasi dampak negatif tersebut, Pater Marsel menekankan perlunya pengambilan sampel dan analisis kualitas air laut secara berkala. Pemantauan intensif terhadap aktivitas pembangunan dan pelaksanaan analisis dampak lingkungan (Amdal) yang komprehensif juga menjadi krusial.
Selain itu, Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang cermat juga sangat penting untuk mengatur zonasi pariwisata dengan mempertimbangkan daya dukung lingkungan secara berkelanjutan.
“Pemerintah provinsi memiliki kewenangan penuh dalam pengawasan dan pengendalian pencemaran laut,” ujarnya.
Pater Marsel juga menyoroti bahwa pembangunan infrastruktur pariwisata dan aktivitas kapal wisata yang tidak terkontrol di Labuan Bajo berpotensi mempersempit ruang gerak nelayan dalam mencari nafkah.
Pihaknya menilai situasi ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, serta melanggar peraturan daerah terkait zonasi perikanan tangkap.
“Kami memohon agar pemerintah provinsi segera mengambil tindakan tegas dan penegakan hukum yang sesuai dengan tata ruang perairan yang berlaku, serta menghentikan segala bentuk pembangunan yang berpotensi merusak lingkungan dan merugikan masyarakat,” pungkasnya.