Dalam rapat kerja bersama Komisi II DPR RI dan Kementerian Dalam Negeri pada hari Selasa (29/4), Gubernur Sulawesi Tengah, Anwar Hafid, menyampaikan keluh kesahnya mengenai kondisi terkini wilayah yang dipimpinnya.
Anwar mengungkapkan bahwa Sulawesi Tengah kini mengalami kerusakan yang parah akibat eksploitasi tambang nikel yang dilakukan secara besar-besaran.
“Negeri kami benar-benar hancur, Bapak. Aktivitas pertambangan ada di mana-mana, dampaknya sangat merusak, Bapak. Negeri kami benar-benar hancur,” ungkap Anwar dalam rapat tersebut.
“Saya khawatir, jika nikelnya habis, daerah itu mungkin akan menjadi daerah mati. Padahal, kontribusi yang didapatkan daerah hanya sekitar Rp 222 Miliar,” lanjutnya dengan nada prihatin.
Anwar juga menyampaikan kesulitan yang dihadapinya dalam mengatur dan mengendalikan aktivitas industri pertambangan di wilayahnya. Meskipun kerusakan lingkungan semakin jelas terlihat, pemerintah daerah memiliki keterbatasan wewenang dalam menindak.
“Di mana letak permasalahannya? Gubernur tidak bisa berbuat banyak, Bapak,” keluhnya.
Menurutnya, para pelaku usaha pertambangan seringkali berlindung di balik status kawasan industri, sehingga sulit untuk dijangkau oleh peraturan daerah.
Ia menjelaskan bahwa para pengusaha kerap kali beralasan bahwa mereka beroperasi di kawasan industri yang memiliki Izin Usaha Industri (IUI), sehingga merasa memiliki kebebasan untuk melakukan berbagai aktivitas, termasuk mengoperasikan kendaraan dan melakukan aktivitas pertambangan tanpa batasan yang jelas.
“Para pengusaha ini selalu berdalih dengan mengatakan, ‘Kami berada di kawasan industri khusus, tidak ada yang boleh melarang’. Mereka semua berlindung di balik izin usaha industri. Jadi, kawasan industri itu seolah-olah tidak tersentuh, semua bebas, kendaraan bebas, dan mereka bebas melakukan apa saja di dalamnya,” tuturnya dengan nada frustrasi.
Anwar juga menyoroti kebijakan pemberian pembebasan pajak atau tax holiday kepada perusahaan-perusahaan tambang. Ia mengungkapkan bahwa fasilitas tersebut dapat berlangsung hingga 25 tahun, sementara cadangan nikel di wilayahnya diperkirakan hanya akan bertahan selama satu dekade.
Kebijakan ini dinilainya tidak adil dan sangat merugikan daerah, karena kekayaan alam dieksploitasi habis dalam waktu yang relatif singkat, sementara daerah tidak mendapatkan manfaat fiskal yang sepadan.
“Saya membaca dalam undang-undang industri, masalahnya adalah para pengusaha ini diberikan tax holiday atau tax allowance hingga 25 tahun. Padahal, nikel di Morowali itu tinggal 10 tahun, Bapak,” ujar Anwar.
“Jadi, setelah masa tax holiday selesai dan nikelnya habis, kami akan tetap seperti ini saja. Hal ini perlu saya sampaikan karena berkaitan erat dengan sumber daya alam,” tambahnya.
Ia juga menyoroti ketidakseimbangan yang mencolok antara besarnya penerimaan negara dari sektor pertambangan di daerahnya dengan minimnya Dana Bagi Hasil (DBH) yang diterima oleh pemerintah provinsi.
Anwar menyebutkan bahwa Presiden RI Prabowo Subianto pernah menyampaikan bahwa kontribusi pajak dari industri smelter di Sulawesi Tengah mencapai angka yang fantastis, yaitu Rp570 triliun.
Namun, kenyataan yang diterima daerah sangat jauh berbeda dengan angka tersebut.
“Bapak Presiden pernah mengatakan bahwa ada Rp 570 Triliun pajak yang berasal dari industri Smelter di Sulawesi Tengah. Namun, coba Bapak-Bapak bayangkan, setiap tahun DBH yang kami terima hanya sekitar Rp 200 Miliar,” pungkasnya.