RAGAMUTAMA.COM – Internet belakangan ini dipenuhi gambar-gambar ajaib bergaya animasi Studio Ghibli.
Karakter dengan mata besar berbinar, langit pastel yang damai, dan atmosfer khas film Jepang klasik—semuanya dibuat bukan oleh tangan seniman, tapi lewat fitur terbaru ChatGPT yang berbasis AI.
Cukup unggah foto dan ketik permintaan, dalam hitungan detik kamu bisa “masuk” ke dunia Totoro.
Namun, seiring tren ini meledak, pertanyaan hukum dan etika pun mulai bergema.
“Saya sudah lama suka gaya Ghibli, tapi tidak bisa gambar. Sekarang saya bisa lihat diri saya di dunia itu. Ajaib!” tulis pengguna Facebook Hoang Yen, membagikan potret AI-nya.
Reaksi serupa juga datang dari banyak pengguna lain di media sosial. Foto-foto dengan filter Ghibli buatan ChatGPT tersebar luas di Facebook, X (Twitter), hingga TikTok, lengkap dengan komentar seperti “imut banget” atau “kayak anime sungguhan!”
Fitur ini adalah bagian dari Photo Creator, alat gambar berbasis model GPT-4o yang diluncurkan OpenAI pada 26 Maret 2025. Dengan kemampuan mentransformasi wajah pengguna menjadi gaya tertentu dari realistis hingga kartun fitur ini bahkan mendukung pengeditan foto dan pemulihan gambar lama.
Sayangnya, pengguna gratis tidak selalu bisa mengaksesnya dengan lancar, karena beban permintaan tinggi. Tapi bagi pengguna ChatGPT Plus, Pro, atau Tim, pengalaman pembuatan gambar berlangsung mulus dan cepat.
Di tengah euforia ini, para ahli mulai mempertanyakan legalitasnya. Gaya Ghibli bukanlah gaya biasa. Ia adalah warisan visual dari Studio Ghibli, rumah produksi animasi legendaris dari Jepang yang berdiri sejak 1985 dan dikenal lewat film-film seperti My Neighbor Totoro, Spirited Away, dan Princess Mononoke. Delapan filmnya masuk daftar anime terlaris sepanjang masa.
Evan Brown, pengacara kekayaan intelektual dari firma hukum Neal & McDevitt, menyebut praktik OpenAI ini masuk dalam “zona abu-abu hukum.” Menurutnya, gaya visual secara teknis tidak dilindungi hak cipta, berbeda dengan karakter, logo, atau cuplikan spesifik. Namun jika AI benar-benar dilatih dengan ribuan frame film Ghibli, maka bisa saja itu termasuk pelanggaran tidak langsung.
OpenAI sendiri menyatakan tidak secara eksplisit melatih AI-nya dengan “gaya artis hidup.” Namun, mereka tidak menyangkal kemungkinan meniru “simbol studio” yang lebih umum.
Tak hanya soal hak cipta, kekhawatiran soal privasi juga ikut naik ke permukaan. Ketika seseorang mengunggah foto mereka ke AI untuk diolah, data wajah itu kemungkinan besar akan disimpan dan digunakan untuk melatih model di masa depan—hal yang menurut sebagian pihak belum dijelaskan secara transparan oleh OpenAI.
Apalagi, ini bukan kali pertama industri AI menghadapi sorotan. Sebelumnya, NYTimes melaporkan gugatan dari sejumlah penerbit terhadap OpenAI, karena menggunakan konten tanpa izin untuk melatih model bahasa mereka. Perusahaan lain seperti Meta dan Midjourney juga menghadapi tuduhan serupa.
Bahkan Google sempat menuai kontroversi ketika versi terbaru Gemini 2.0 Flash bisa menghapus watermark foto—fitur yang dianggap berpotensi ilegal karena melanggar hukum hak cipta di AS. Sampai sekarang, Google belum memberikan pernyataan resmi.
Tren mengubah wajah menjadi karakter Ghibli memang menghibur, menyentuh sisi nostalgia banyak orang. Tapi seiring AI makin canggih, batas antara kreativitas dan pelanggaran hukum pun jadi makin kabur.
Membuat versi anime dari foto pribadi itu sah? Mungkin. Tapi bagaimana kalau digunakan untuk promosi, monetisasi, atau dijadikan karya seni baru tanpa kredit ke sumber gaya?
Itulah pertanyaan yang kini jadi perhatian komunitas hukum, seniman, hingga penggemar Studio Ghibli itu sendiri.