Cara Singapura, China, Taiwan, dan Korsel Cegah Warga Terampilnya “Kabur” ke Luar Negeri

- Penulis

Rabu, 19 Februari 2025 - 10:06 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

KOMPAS.com – Tren Kabur Aja Dulu atau #KaburAjaDulu ramai digunakan di media sosial dan menjadi pemberitaan beberapa hari terakhir.

Tren tagar #KaburAjaDulu telah memicu banyak pembahasan di berbagai kalangan masyarakat.

Para pejabat juga sudah ikut berkomentar mengenai tren yang merujuk pada dorongan untuk mencari lahan penghidupan yang lebih baik di luar negeri.

Baca juga: Awal Mula Tren Tagar Kabur Aja Dulu Ramai Digunakan, Mengapa?

Nah, salah satu dampak yang paling mungkin terjadi apabila langkah #KaburAjaDulu benar-benar jamak dilalui warga Indonesia adalah terjadinya brain drain.

Brain drain adalah fenomena keluarnya tenaga berkualitas atau tenaga kerja terampil atau kaum intelektual ke negara lain.

Sementara itu, realitasnya, sejumlah negara lain di Asia telah berusaha mencegah warga terampilnya “kabur” ke luar negeri dengan menerapkan berbagai kebijakan yang mendukung tujuan itu.

Sebagaimana dilansir Antara, apabila menelisik pada sejarah berbagai kebijakan yang dilakukan oleh sejumlah otoritas di benua Asia, sebenarnya ada banyak pelajaran penting yang bisa dipetik.

Singapura

Singapura tercatat salah satunya memiliki program Scholarship Bond System.

Dalam program tersebut, “Negeri Singa” menawarkan beasiswa yang didanai oleh pemerintah, seperti Beasiswa Public Service Commission (PSC) kepada para mahasiswa terbaik untuk menjalani pendidikan di universitas elite di luar negeri, termasuk Harvard di AS atau Oxford di Inggris.

Nah, sebagai imbalannya, para sarjana yang menerima beasiswa itu harus bekerja di Singapura selama beberapa tahun tertentu.

Jika mereka memutuskan ikatan tersebut, mereka harus membayar kembali biaya beasiswa secara penuh, yang jumlahnya bisa mencapai ratusan ribu dollar.

Beasiswa yang paling bergengsi di Singapura adalah President’s Scholarship.

Baca juga: Rangkuman Mahasiswa Demo Indonesia Gelap, Ini Maksud dan Tuntutannya

Beasiswa ini diberikan kepada sejumlah kecil siswa berprestasi setiap tahunnya.

Banyak dari penerima President’s Scholarship yang menjadi pejabat tinggi pemerintah sehingga berkontribusi penting kepada kebijakan nasional Singapura, termasuk mantan Perdana Menteri Goh Chok Tong.

Para penerima beasiswa tersebut sering bergabung dengan lembaga pemerintah terkait administrasi, luar negeri, dan pertahanan negara.

Alhasil, program itu dinilai bisa berguna dalam memastikan tersedianya sumber daya manusia yang mumpuni untuk menduduki posisi kepemimpinan di pemerintahan Singapura, serta dalam rangka membangun identitas dan loyalitas nasional di kalangan elite negeri.

Sebab, para penerima beasiswa di Singapura tersebut dipilih dengan cermat berdasarkan keunggulan akademis, potensi kepemimpinan, dan komitmen terhadap Singapura.

President’s Scholarship, yang akarnya dapat ditelusuri hingga ke Queen Scholarship pada 1885 oleh Kekaisaran kolonial Inggris Raya, kerap berfokus pada pemerintahan dan pelayanan publik, bukan bidang Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika (STEM).

Hal tersebut membuat banyak insinyur, pakar AI, dan peneliti biomedis terkemuka di Singapura tidak memenuhi syarat untuk menerima beasiswa ini sehingga talenta yang berfokus pada teknologi acap menuju ke Silicon Valley di AS, China, atau Eropa.

Korea Selatan

Sedikit berbeda dengan Singapura, Korea Selatan turut mengakomodasi warga yang berbakat di bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika agar dapat berkembang dan mengantisipasi terjadinya brain drain.

Korea Selatan diketahui telah membangun sejumlah universitas riset dengan fokus kepada penelitian yang menitikberatkan kepada sains dan teknologi.

Baca juga: DeepSeek Diblokir di Korea Selatan, Ada Apa?

Korsel pada 1966 membangun Institut Sains dan Teknologi Korea (KIST), sebuah lembaga riset nasional pertama di Korea Selatan, yang didirikan dengan dukungan AS.

Baca Juga :  PPDB Diganti SPMB, Bisa Berpotensi Munculkan Kesenjangan Antar Sekolah

Tujuannya adalah untuk mengembangkan teknologi dalam negeri dan mengurangi ketergantungan pada keahlian pihak asing.

Dampak dari pendirian KIST itu antara lain pada dekade 1970-an membantu berkembangnya sejumlah produksi industri seperti baja, bahan kimia, dan pembuatan kapal, sehingga menimbulkan kebangkitan sejumlah perusahaan seperti Hyundai (pembuatan kapal), POSCO (baja), dan Samsung (elektronik).

Sebelum adanya KIST, sebagian besar insinyur papan atas di Kosel harus belajar di luar negeri. Melalui KIST yang menjadi pusat pelatihan penelitian dan pengembangan, hal tersebut ke depannya juga membantu Korea Selatan membangun ekosistem inovasi lokal.

Tidak hanya berhenti di KIST, Pemerintah Korsel pada 1971 juga mendirikan Korea Advanced Institute of Science (KAIS), yang kemudian menjadi KAIST, melalui pinjaman dari Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID).

Fungsi utama dari lembaga pendidikan tersebut adalah untuk melatih ilmuwan dan insinyur tingkat lanjut serta mengembangkan struktur pendidikan pascasarjana di Korsel.

KAIST merupakan universitas sains dan teknologi pertama di Korea Selatan. Lembaga ini menjadikan Massachusetts Institute of Technology (MIT) di AS sebagai model untuk melatih para insinyur dan ilmuwan kelas dunia.

Dampak KAIST pada industri teknologi Korsel terbilang sangat besar, termasuk banyaknya lulusan KAIST yang menjadi pemimpin di perusahaan teknologi besar seperti Samsung, LG, dan SK Hynix.

Selain itu, KAIST membantu Korea Selatan mendominasi industri semikonduktor, robotika, dan kecerdasan buatan atau akal imitasi/AI.

Dengan menjadi salah satu inovator dalam penelitian di bidang AI, KAIST telah membantu Korea Selatan dalam mengembangkan kendaraan otomatis tanpa pengemudi, sistem pabrik pintar dan otomatisasi, serta mengembangkan robot humanoid pertama di negara tersebut.

KAIST dikenal memiliki kerja sama dengan sejumlah perusahaan terkemuka Korsel seperti Samsung, Hyundai, dan LG, dalam rangka mengubah penelitian menjadi inovasi dunia nyata, di antaranya dalam membantu mengembangkan teknologi layar OLED, yang menjadi standar global pada ponsel pintar dan televisi.

Baik KIST maupun KAIST dinilai menjadi salah satu faktor yang mengubah Korsel dari salah satu negara berpenghasilan rendah hingga menjadi salah satu negara yang unggul dalam teknologi global hanya dalam jangka waktu sekitar setengah abad kemudian.

Lembaga-lembaga tersebut diakui telah memimpin kebangkitan Korsel dalam bidang semikonduktor, robotika, AI, dan pembuatan kapal, serta melatih para insinyur terkemuka yang membangun Samsung, LG, dan Hyundai menjadi merek global.

Namun, yang paling penting, kedua institusi itu telah dinilai turut mencegah terjadinya brain drain dengan menciptakan peluang di dalam negeri, sehingga mengubah Korea Selatan menjadi salah satu negara dengan teknologi paling maju di dunia.

Baca juga: Presiden Korea Selatan Ditangkap, Gelar Doktor Istri Yoon Suk Yeol Terancam Dicabut

Taiwan

Serupa dengan Korea Selatan, Taiwan juga memiliki Hsinchu Science Park (HSP) yang didirikan pada 1980 untuk menciptakan pusat industri teknologi tinggi yang mirip dengan Silicon Valley.

Terletak di Kota Hsinchu, sekitar 70 km barat daya Taipei, kota ini menjadi pusat industri semikonduktor dan elektronik Taiwan.

HSP menarik inovasi ke Taiwan antara lain dengan adanya insentif pajak, pendanaan dari otoritas, serta infrastruktur untuk perusahaan rintisan dan korporasi teknologi.

HSP juga bermitra dengan universitas ternama seperti Universitas Nasional Tsing Hua dan Universitas Nasional Chiao Tung untuk memasok pekerja terampil yang berfokus kepada bidang industri semikonduktor, bioteknologi, optoelektronik, dan teknologi komputer.

Baca Juga :  4,7 Juta ASN Didorong Tingkatkan Pendidikan Melalui Beasiswa

Adanya HSP ini dinilai turut membantu Taiwan menjadi pemimpin global di bidang semikonduktor, antara lain karena Taiwan menjadi produsen cip terkemuka di dunia untuk memasok perusahaan seperti Apple, NVIDIA, dan AMD.

Pada 2023 saja, Taiwan Semiconductor Manufacturing Company (TSMC) disebut memproduksi lebih dari 50 persen cip canggih di dunia.

Otomatis HSP juga mengubah Taiwan menjadi salah satu pusat manufaktur elektronik di dunia. 

Faktanya, pada 2020 perusahaan-perusahaan yang ada di HSP dapat menciptakan hingga lebih dari 150.000 pekerjaan di bidang teknologi dengan gaji yang tinggi.

Hal itu dinilai telah mengurangi brain drain. Banyak insinyur dan ilmuwan Taiwan yang bekerja di AS kembali ke Taiwan untuk mendapatkan kesempatan yang lebih baik.

China

Sementara itu, China memiliki Program Ribuan Bakat (Thousand Talents Program/TTP) yang diluncurkan pada 2008 untuk menarik ilmuwan, insinyur, dan pengusaha terkemuka China dari luar negeri, terutama dari AS dan Eropa.

Baca juga: Polemik Obat Generik di China, Dokter Sebut Tak Manjur, Warga Ogah Pakai

Melalui TTP, salah satu negara adidaya perekonomian dunia itu telah menawarkan gaji yang tinggi, hibah penelitian, dan tunjangan perumahan untuk membujuk para profesional China kembali.

Pada awalnya, lembaga ini juga menarik para pakar asing, tetapi kemudian fokusnya beralih ke para cendekiawan dan profesional kelahiran China.

Hasilnya, pada 2017, sudah ada lebih dari 7.000 ilmuwan dan insinyur papan atas yang kembali untuk memperkuat penelitian dan pengembangan serta ainovasi China.

Banyak peserta TTP bekerja di bidang AI, bioteknologi, komputasi kuantum, dan penelitian semikonduktor.

Terdapat pula peneliti AI China yang sebelumnya bekerja di beragam perusahaan seperti Google, Microsoft, dan MIT, kembali memimpin ledakan AI di negara tersebut dan membantu perusahaan seperti Huawei, Alibaba, dan Tencent bersaing secara global dalam AI, 5G, dan komputasi awan.

TTP juga dinilai mengembangkan industri semikonduktor dengan berfokus kepada strategi kemandirian cip China untuk mengurangi ketergantungan pada teknologi AS.

Banyak ahli yang bekerja di SMIC (produsen cip terkemuka di China) serta laboratorium penelitian dan pengembangan semikonduktor nasional adalah rekrutan TTP.

Melihat kejadian di beberapa negara itu, dapat diambil pelajaran bahwa diperlukan inisiatif yang dipimpin oleh pemerintah dengan sumber pendanaan kuat untuk mencegah atau mengantisipasi brain drain.

Di samping itu, peluang lapangan kerja yang sangat berkualitas perlu diciptakan untuk menarik pekerja terampil yang bekerja di luar negeri agar kembali.

Para pekerja terampil dapat diberikan jaminan berupa insentif seperti gaji tinggi, pendanaan riset, dan infrastruktur memadai agar memiliki keinginan untuk kembali.

Selain itu, diperlukan adanya fokus kepada industri berteknologi tinggi dan berbasis sains-inovasi sebagai bidang yang dapat disebut paling terkena dampak dari brain drain di suatu negara.

Tidak ketinggalan, perlu adanya kolaborasi yang terintegrasi dengan universitas terkemuka untuk melatih dan memasok talenta bagi sektor industri dan pemerintahan.

“Setiap program yang terkait dengan hal ini, mau tidak mau, suka tidak suka, harus mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah, sebagai upaya untuk menunjukkan komitmen nasional yang kuat dalam berinvestasi pada pengembangan sumber daya manusia berkualitas,” tulis Antara.

Berita Terkait

Jadwal Hari Kedua Retreat Kepala Daerah: Pembukaan hingga Materi Asta Cita
Dasar dan Alasan Dedi Mulyadi Pecat Kepala Sekolah SMAN 6 Depok Buntut Study Tour
Belajar dari Insiden Taman Safari, Ini 7 Cara Efektif Ajari Anak Patuh Aturan
Fenomena NEET Meningkat, Bonus Demografi Indonesia Terancam?
Kursus Baca Al Qur’an dan Kitab Kuning Saat Ramadan 2025 dari Kemenag, Ini Link-nya
Berapa Hari Lagi Puasa? Pantau Jadwal Ramadhan 2025,Ada Jadwal Libur Anak Sekolah
3 Hal yang Dilakukan Orang yang Memiliki Kecerdasan Emosional
4,7 Juta ASN Didorong Tingkatkan Pendidikan Melalui Beasiswa

Berita Terkait

Sabtu, 22 Februari 2025 - 07:47 WIB

Jadwal Hari Kedua Retreat Kepala Daerah: Pembukaan hingga Materi Asta Cita

Jumat, 21 Februari 2025 - 11:16 WIB

Dasar dan Alasan Dedi Mulyadi Pecat Kepala Sekolah SMAN 6 Depok Buntut Study Tour

Kamis, 20 Februari 2025 - 09:07 WIB

Belajar dari Insiden Taman Safari, Ini 7 Cara Efektif Ajari Anak Patuh Aturan

Kamis, 20 Februari 2025 - 07:27 WIB

Fenomena NEET Meningkat, Bonus Demografi Indonesia Terancam?

Kamis, 20 Februari 2025 - 07:26 WIB

Kursus Baca Al Qur’an dan Kitab Kuning Saat Ramadan 2025 dari Kemenag, Ini Link-nya

Berita Terbaru

public-safety-and-emergencies

Mobil Pikap dan 16 Unit Sepeda Listrik Menghitam, Ludes Jadi Bangkai di Tol Gempol-Pasuruan

Sabtu, 22 Feb 2025 - 12:27 WIB