KOMPAS.com – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan penerapan kebijakan tarif pajak 10 persen terhadap semua barang yang diimpor dari China, 1 Februari lalu.
Kabarnya, kebijakan ini secara tidak langsung membuat harga laptop sedunia bakal naik. Salah satu vendor yang mengonfirmasi akan menaikkan harga adalah Acer.
CEO dan Chairman Acer, Jason Chen mengatakan pihaknya akan menaikkan harga laptopnya hingga sebesar 10 persen dari harga awal.
Baca juga: Keputusan Kontroversial Trump yang Bikin Bill Gates Geram
Peningkatan harga ini tentunya berlaku bagi laptop yang diimpor dari China ke AS per tanggal 1 Februari 2025, dan Chen menyebut peningkatan harga ini akan berlaku selama beberapa minggu ke depan.
Acer diketahui memang memproduksi sebagian besar laptop mereka di China, meski perusahaan ini bermarkas di Taiwan. Hal ini mereka lakukan bersama beberapa mitranya seperti Copal, Quanta, Wistron, hingga Pegatron.
“Kami harus menyesuaikan harga produk konsumen end-user supaya selaras dengan penerapan tarif pajak di AS. Kenaikannya, secara umum, mungkin akan berkisar 10 persen, sama seperti nilai tarif pajak yang dikenakan,” jelas Chen, dikutip KompasTekno dari WindowsCentral, Kamis (20/2/2025).
Baca juga: Acer Perkenalkan Monitor Gaming Nitro dengan Refresh Rate 600 Hz
Chen tak menyebut apakah peningkatan harga ini akan diterapkan ke semua pasar, seperti Indonesia, atau tidak. Namun yang pasti, kenaikan harga laptop akan terjadi di AS jika tarif pajak Trump masih 10 persen.
Selain menyebut kenaikan harga produk, Chen turut memprediksi bahwa beberapa vendor laptop lainnya kemungkinan akan melakukan hal serupa, yaitu menaikkan harga laptop yang mereka jual.
Sebab, sebagian besar laptop dari beberapa merek kenamaan saat ini, seperti Apple, Dell, HP, Asus, hingga Lenovo diproduksi dan dirakit di China.
Baca juga: Acer Swift Go 14 AI Resmi dengan Snapdragon X Plus 8-Core, Harga Lebih Murah
Pindah pabrik ke AS?
Chen turut menyebut bahwa kebijakan tarif pajak 10 persen terhadap barang impor dari China ini juga perlahan akan memaksa para vendor untuk memindahkan pabrik mereka ke luar China.
Acer menyebut pihaknya mungkin saja melakukan hal tersebut, dengan opsi pembangunan pabrik di AS untuk menghindari tarif pajak Trump.
Namun, pemindahan atau pembuatan pabrik baru biasanya membutuhkan proses yang tidak sebentar. Sebab, akan ada banyak hal yang harus dipertimbangkan, seperti pemasok, lokasi, tenaga kerja, dan hal lainnya yang berkaitan dengan operasional.
Baca juga: Acer Rilis Tablet Iconia X12, Punya Layar Luas dan Baterai Jumbo
Terkait peningkatan harga, hal ini tampaknya tak akan mempengaruhi produk Acer kategori desktop PC. Pasalnya, Chen menyebut pihaknya telah memindahkan mayoritas pabrik desktop PC ke luar China.
Hal ini dilakukan sebagai efek dari penerapan pajak impor desktop PC dari China ke AS sebesar 25 persen pada periode Trump sebelumnya di 2019 lalu.
Tarif pajak Trump
Seperti diwartakan sebelumnya, pemberlakuan tarif impor baru AS ditetapkan Trump pada Sabtu (1/2/2025) waktu setempat, dalam tiga perintah eksekutif yang ditandatangani terpisah.
Baca juga: Acer Rilis Swift 14 AI dan Swift 16 AI Generasi Baru, PC Copilot+ dengan Intel Core Ultra
Tindakan tersebut merupakan tindak lanjut dari ancaman berulang yang dilontarkan Trump sejak dia memenangkan Pilpres AS 2024.
Dalam kebijakan ini, Trump memerintahkan pemberian tarif impor sebesar 25 persen terhadap produk dari Kanada dan Meksiko. Sedangkan barang dari China dikenakan bea masuk 10 persen.
Sementara itu, menanggapi kekhawatiran dari penyuling minyak dan negara bagian Midwest, Trump hanya mengenakan bea masuk 10 persen pada produk energi dari Kanada, sedangkan impor energi Meksiko berlaku tarif penuh sebesar 25 persen.
Baca juga: Acer Pamer DualPlay, Laptop Gaming dengan Controller Terintegrasi
Sekadar informasi, China, Kanada, dan Meksiko selama ini dikenal sebagai mitra dagang utama AS. Kebijakan Trump ini dianggap bisa memicu kekhawatiran bea masuk tinggi, yang berujung pada peningkatan harga produk oleh vendor.
Selain itu, ada kemungkinan kebijakan Trump ini akan memicu perang dagang baru, yang, menurut para ekonom, bisa dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi global dan memicu kembali inflasi.