BLORA, KOMPAS.com – Blora, sebuah kota kecil di Jawa Tengah, menyimpan sejarah panjang yang menarik untuk ditelusuri.
Terkenal sebagai tempat kelahiran sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, Blora tidak hanya kaya akan warisan sastra, tetapi juga memiliki akar sejarah yang kuat dalam perkembangan budaya dan sosial di Jawa.
Nama “Blora” sendiri memiliki berbagai versi asal-usul, mulai dari legenda hingga catatan sejarah yang menunjukkan perannya sebagai wilayah penting sejak era kerajaan-kerajaan Nusantara.
Dari jejak Mataram hingga kolonialisme Belanda, Blora telah melalui berbagai transformasi yang membentuk identitasnya hingga saat ini.
Bagaimana sejarah panjang ini membentuk karakter kota yang dikenal dengan hutan jatinya dan warisan budayanya yang kaya?
Baca juga: Seabad Pramoedya Ananta Toer: Sastrawan dan Aktivis yang Menginspirasi
Arti nama Blora
Dikutip dari laman resmi Pemkab Blora, nama Blora berasal dari kata “belor”, yang berarti lumpur.
Kata ini kemudian berkembang menjadi “mbeloran”, sebelum akhirnya berubah menjadi “Blora”, seperti yang dikenal saat ini.
Secara etimologis, Blora diyakini berasal dari gabungan kata “wai” (air) dan “lorah” (jurang atau tanah rendah). Dalam bahasa Jawa, sering terjadi pergantian huruf “W” dengan “B” tanpa mengubah makna kata.
Seiring waktu, “Wailorah” mengalami perubahan menjadi “Bailorah”, lalu “Balora”, hingga akhirnya menjadi “Blora”.
Dengan demikian, nama Blora memiliki makna sebagai tanah rendah yang berair, yang sangat dekat dengan konsep tanah berlumpur.
Legenda nama Blora
Menurut cerita rakyat, asal-usul nama Blora dapat ditelusuri dari kisah Prabu Airlangga, raja di Kahuripan, Jawa Timur, yang terus melebarkan kekuasaannya.
Trump Tunda Kenaikan Tarif bagi Kanada- Meksiko, Tidak untuk China Artikel Kompas.id Prabu Airlangga sendiri memilik tiga orang anak.
Anak pertama perempuan dan anak kedua serta ketiganya laki-laki.
Anak perempuannya, yang dicalonkan menjadi penguasa selanjutnya, memangku jabatan sebagai Sanggramawijaya, jabatan tertinggi setelah raja.
Akan tetapi, ternyata putrinya tidak mau menerima mahkota kerajaan. Alasannya adalah karena ia berkeinginan untuk menjadi seorang brahmani (suatu golongan dalam agama Hindu).
Baca juga: Catat Tanggal Festival Seabad Pramoedya di Blora Jawa Tengah 2025
Sang putri ingin mendalami tentang agama dan hendak tinggal di lereng Gunung Penanggungan, karena ia merasa menjadi brahmani adalah panggilan hidupnya.
Ketika mengetahui bahwa putrinya menolak untuk mewarisi takhta kerajaan, Prabu Airlangga merasa bingung siapa yang akan menggantikan kedudukannya.
Terlebih lagi, ketika kedua anak lelaki Prabu Airlangga mendengar bahwa kakak perempuannya tidak bersedia menjadi penguasa di Kahuripan, mereka saling berebut takhta.
Kian hari pertengkaran di antara keduanya menjadi semakin membesar, hingga menyusahkan hati Prabu Airlangga.
Sebagai solusinya, sang putri mengusulkan agar negeri Kahuripan dibagi menjadi dua kerajaan.
Baca juga: Jalan Pramoedya Ananta Toer di Blora Tak Jadi Diresmikan, Ini Alasannya
Mendengar usulan tersebut, Prabu Airlangga terkejut. Pasalnya, ia telah bersusah payah menyatukan negeri Kahuripan dan menaklukkan banyak wilayah, tetapi sekarang harus memecahnya menjadi dua.
Namun, karena itu merupakan satu-satunya jalan agar kedua anak lelakinya berhenti berselisih, Prabu Airlangga mendiskusikan usulan putrinya bersama dengan para punggawa (pejabat kerajaan).
Setelah melalui berbagai pertimbangan, akhirnya usulan membagi negeri Kahuripan menjadi dua kerajaan disetujui. Orang yang akan membagi adalah Mpu Baradah.
Mpu Baradah dikenal sebagai orang yang pandai dan memiliki cinta yang besar terhadap sesama. Ia juga sempat membantu Prabu Airlangga ketika musuhnya, Calonarang, menyebar penyakit di Kahuripan.
Saat itu juga, Prabu Airlangga segera mengutus dua orang untuk berangkat menjumpai Mpu Baradah.
Baca juga: Menbud Fadli Zon Dukung Nama Jalan Pramoedya Ananta Toer di Blora
Setelah mendengar pesan dari Prabu Airlangga, Mpu Baradah setuju untuk membagi Kahuripan menjadi dua karena tidak ingin rakyat menderita karena perang saudara.
Mpu Baradah lantas membagi Kaharipan menjadi dua kerajaan, yang satu bernama Jenggala dan yang satu diberi nama Panjalu atau Kediri.
Setelah pembagian negeri Kahuripan diselesaikan, Prabu Airlangga menganugerahi Mpu Baradah sebidang tanah yang cukup luas.
Tanah tersebut kemudian dinamai Bhurara oleh Mpu Baradah.
Bhurara berasal dari kata bumi yang artinya tanah, dan rara yang artinya anak.
Bhurara dapat diartikan tanah yang diberikan raja kepada seorang anak atau orang yang berjasa kepada negara.
Oleh penduduk sekitar, nama Bhurara sering diucapkan Wurara atau Wurare.
Pasalnya, dalam bahasa Jawa sendiri, kerap terjadi pertukaran pada huruf w dengan huruf b. Lambat laun, nama Bhurara berubah menjadi Blura dan selanjutnya menjadi Blora.
Blora sebagai Kabupaten
Sejak era Kesultanan Pajang hingga masa Mataram, Blora memiliki peran penting dalam pemerintahan kerajaan karena kekayaan hutan jatinya.
Status Blora yang semula merupakan wilayah apanage kemudian berubah menjadi kabupaten pada hari Kamis Kliwon, 2 Sura tahun Alib 1675, atau bertepatan dengan 11 Desember 1749 Masehi.
Tanggal ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Blora. Bupati pertama yang memimpin Blora adalah Wilatikta.
Baca juga: Menbud Fadli Zon Bilang Blora Dikenal Dunia Berkat Pramoedya Ananta Toer
Perlawanan Rakyat Blora terhadap Kolonialisme
Pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, rakyat Blora, terutama kaum petani, melakukan perlawanan terhadap penjajahan.
Pemberontakan ini dipicu oleh semakin memburuknya kondisi sosial dan ekonomi di pedesaan.
Pada tahun 1882, kebijakan pajak kepala yang diberlakukan pemerintah kolonial menjadi beban berat bagi para pemilik tanah. Kenaikan pajak seperti ini juga memicu pemberontakan di berbagai daerah di Jawa, salah satunya adalah peristiwa Cilegon pada tahun 1888.
Di Blora, perlawanan terhadap penjajah mulai digerakkan oleh seorang petani bernama Samin Surosentiko pada tahun 1890.
Baca juga: Buka Festival Seabad Pramoedya Ananta Toer di Blora, Fadli Zon Bacakan Pantun
Gerakan Samin dikenal sebagai perlawanan petani anti-kolonial yang lebih mengedepankan protes pasif, bukan pemberontakan bersenjata. Beberapa faktor yang mendorong munculnya gerakan ini antara lain:
- Pemberlakuan berbagai jenis pajak yang semakin memberatkan rakyat
- Perubahan pola pemanfaatan tanah komunal
- Pengawasan ketat oleh pemerintah kolonial terhadap pemanfaatan hasil hutan oleh masyarakat
Gerakan Samin memiliki karakteristik millenarianisme, yaitu sebuah bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan dengan harapan terciptanya masa keemasan yang lebih makmur dan adil bagi rakyat.
Referensi: Sumartono, Edy.(2009). Cerita Rakyat dari Blora (Jawa Tengah). Jakarta: Grasindo.
SUMBER: KOMPAS.com (Penulis: Verelladevanka Adryamarthanino| Editor: Widya Lestari Ningsih)