BATAM, KOMPAS.COM – Unit Satreskrim Polresta Barelang, Batam, Kepulauan Riau, telah memanggil dan memeriksa tiga warga Pulau Rempang yang kini ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penyerangan yang melibatkan puluhan orang diduga pekerja PT MEG pada 18 Desember 2024.
Ketiga tersangka tersebut adalah Siti Hawa atau Nek Awe (67), Sani Rio (37), dan Abu Bakar (54).
Mereka dikenakan Pasal 333 KUHP tentang perampasan kemerdekaan seseorang.
Baca juga: Kapolda Kepri Sebut Penyerangan di Rempang Tak Terkait Proyek Nasional
Menurut pihak kepolisian, ketiga warga tersebut diduga melakukan tindakan penghalangan dan mempengaruhi warga sebelum penyerangan terjadi.
Penyerangan tersebut terjadi setelah warga berhasil mengamankan satu dari empat orang diduga pekerja PT MEG yang melakukan perusakan dan pencopotan spanduk bernada penolakan terhadap proyek PSN Rempang Eco-City pada malam 17 Desember 2024.
Satu orang berinisial R yang diamankan warga kemudian dibawa ke posko di Kampung Sembulang Hulu, yang merupakan titik kumpul bagi warga yang mempertahankan kampung mereka.
Setelah itu, pihak kepolisian berusaha melakukan negosiasi, namun berujung pada penyerangan oleh puluhan orang menggunakan senjata seperti balok dan panah.
Kasat Reskrim Polresta Barelang, AKP Debby Tri Andrestian mengungkapkan, kasus ini berawal dari adanya karyawan PT MEG yang dikejar warga dan dibawa ke balai warga.
Menurutnya, polisi menerima laporan ada pria yang ditahan di balai warga dalam kondisi kaki terikat dan terbaring.
Baca juga: Usai Serangan ke Pulau Rempang, Warga dan Perusahaan Saling Lapor
“Polsek Galang sudah ke lokasi untuk bernegosiasi agar pria tersebut dilepaskan. Namun, ketiga warga yang kami tetapkan sebagai tersangka menghalangi dan mempengaruhi warga sekitar. Saat itu, jumlah warga banyak, sehingga kepolisian tidak bisa mengimbangi,” jelas Kasat Reskrim Polresta Barelang, AKP Debby Tri Andrestian, pada Kamis (6/2/2025).
Dalam proses pemeriksaan, ketiga tersangka hanya perlu menjawab sekitar 18 poin pertanyaan.
Kehadiran mereka untuk memenuhi panggilan kepolisian juga didampingi oleh tim kuasa hukum.
Pihak kepolisian menjelaskan pengenaan Pasal 333 KUHP karena tindakan ketiga tersangka yang menghalangi pertolongan kepada seseorang yang sudah tidak berdaya.
Dalam kasus ini, kepolisian menerima tiga laporan, dua di antaranya dari masyarakat yang menjadi korban, dan satu laporan dari pekerja PT MEG yang menjadi korban penahanan.
Selain menetapkan tiga warga sebagai tersangka, kepolisian juga telah menetapkan dua karyawan PT MEG sebagai tersangka penyerangan.
Alasan polisi dipertanyakan
Anggota Komisi XIII DPR RI, Mafirion, mempertanyakan pengenaan Pasal Perampasan Kemerdekaan terhadap warga Pulau Rempang.
“Kemerdekaan siapa yang dirampas? Bukankah Nek Awe yang merasa kebebasannya dirampas?” kata Mafirion.
Dalam rapat bersama Menteri HAM, Mafirion meminta kementerian untuk melakukan evaluasi mengenai tindakan intimidasi yang dialami warga sejak isu PSN Rempang Eco-City mencuat pada 2023.
Baca juga: Bentrokan di Rempang, Polisi Sebut Upaya Mediasi Berulang Kali Gagal
Meskipun menghormati proses hukum, Mafirion mengecam penahanan terhadap warga Pulau Rempang yang hanya ingin mempertahankan hak mereka.
Ia juga meminta Badan Pengusahaan (BP) Batam dan Pemerintah Kota Batam untuk berkomunikasi dengan warga terkait rencana investasi PSN Rempang Eco-City.
Ketiga warga Pulau Rempang yang ditetapkan sebagai tersangka tidak ditahan setelah pengajuan oleh LBH Mawar Saron Batam selaku kuasa hukum.
Tak berniat merampas kemerdekaan
Direktur LBH Mawar Saron Batam, Supriardoyo Simanjuntak, menegaskan bahwa kliennya tidak berniat menahan atau merampas kemerdekaan seseorang.
Ia menjelaskan bahwa warga hanya ingin kepastian dari pihak kepolisian terkait perusakan yang dilakukan pekerja perusahaan.
Baca juga: Kuasa Hukum Heran 3 Warga Rempang yang Dikeroyok Jadi Tersangka Perampasan Kemerdekaan
Siti Hawa atau Nek Awe, setelah menjalani pemeriksaan, mengaku tidak merasa tenang sejak rencana PSN Rempang Eco-City diumumkan.
Ia berharap perusahaan dapat memilih lokasi investasi lain. “Permintaan nenek dan warga, perusahaan ini dipindahkan saja sebab kami saat ini tidak pernah ada ketenangan,” ujarnya.
Nek Awe juga menolak pasal perampasan kemerdekaan yang dikenakan kepadanya, menegaskan bahwa ia hanya ingin melindungi kampung kelahirannya. “Nenek tak terima, apa yang nenek rampas, nenek kan jaga kampung,” tuturnya.