JAKARTA, KOMPAS.com – Putra sulung Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) kembali terpilih menjadi Ketua Umum Partai Demokrat untuk periode 2025-2030.
Keputusan itu diambil dalam Kongres ke-6 Partai Demokrat yang berlangsung di Hotel Ritz-Carlton, Jakarta, Senin (24/2/2025) malam.
Tak ada dinamika politik yang terjadi dalam proses pemilihan itu. Pasalnya, semua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) dan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) meminta AHY menjadi nahkoda partai untuk kedua kalinya, sehingga keputusan diambil secara aklamasi.
“Kami bertanya, apakah Bapak AHY dapat disetujui menjadi Ketua Umum secara aklamasi periode 2025-2030?” ujar pimpinan sidang pleno Herman Khaeron, Senin.
“Setuju,” seru kader Demokrat.
Baca juga: AHY Resmi Jadi Ketum Partai Demokrat 2025-2030
Herman Khaeron pun mengetuk palu. Dia kemudian menanyakan para peserta kongres apakah keputusan tersebut dapat disahkan.
“Sah,” jawab para pimpinan DPC dan DPD Partai Demokrat seluruh Indonesia.
Berhadapan dengan Moeldoko Cs
AHY sendiri pertama kali menjadi Ketua Umum Partai Demokrat pada tahun 2020. Saat itu, dia dipilih para kader untuk menggantikan SBY yang kemudian menjadi Majelis Tinggi Partai (MTP).
Meski nampak mulus di awal, perjalanan AHY memimpin partai berlambang mercy menemui rintangan.
Pada 2 Februari 2021, AHY tiba-tiba menggelar konferensi pers dan mengumumkan pada publik bahwa ada serangan politik yang berusaha untuk mengganggu posisinya dan kepengurusan DPP Partai Demokrat.
Baca juga: AHY Segera Umumkan Pengurus Demokrat Periode 2025-2030
“Gabungan dari pelaku gerakan ini ada lima orang, terdiri dari satu kader Demokrat aktif, satu kader yang sudah enam tahun tidak aktif, satu mantan kader yang sudah sembilan tahun diberhentikan dengan tidak hormat dari partai, karena menjalani hukuman akibat korupsi, dan satu mantan kader yang telah keluar dari partai tiga tahun yang lalu,” ujar AHY kala itu.
“Sedangkan yang non-kader partai adalah seorang pejabat tinggi pemerintahan, yang sekali lagi, sedang kami mintakan konfirmasi dan klarifikasi kepada Presiden Joko Widodo,” katanya lagi.
Belakangan terungkap, langkah untuk merebut kepemimpinan AHY dilakukan oleh beberapa mantan kader Demokrat seperti Jhoni Allen Marbun, Marzuki Alie, Darmizal, Yus Sudarso, Tri Yulianto, Syofwatillah Mohzaib, dan Ahmad Yahya.
Sementara, pihak yang disebut berada dalam pemerintahan adalah Moeldoko yang saat itu menjabat sebagai Kepala Staf Kepresidenan (KSP).
Baca juga: Optimistis Menang Hadapi PK Moeldoko, AHY: Gusti Allah Mboten Sare
Kubu lawan pun sempat melaksanakan Kongres Luar Biasa (KLB) di Deli Serdang dan menunjuk Moeldoko sebagai ketua umum Demokrat.
Singkat cerita, setelah melewati beberapa gugatan, pengadilan menyatakan struktur kepemimpinan DPP Demokrat yang sah berada di tangan AHY dan jajarannya.
Ditinggal Anies, Nasdem, dan PKS, Gagal Jadi Cawapres
Setelah ditempa tantangan terkait dengan kepengurusannya, Demokrat dalam kepemimpinan AHY harus kembali merasakan pahitnya proses politik jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Sebelum Koalisi Indonesia Maju (KIM) terbentuk untuk mendukung Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, sebenarnya Demokrat, Partai Nasdem, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sudah lebih dulu membentuk Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP).
Koalisi terbentuk pada 23 Maret 2023 dan diumumkan oleh tim kecil KPP di Sekretariat Perubahan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Mereka menunjukan nota kesepakatan yang telah ditandatangi oleh Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, Presiden PKS Ahmad Syaikhu, dan AHY.
Saat itu, KPP sudah memiliki calon presiden (capres) yang bakal dijagokan, yaitu Anies Baswedan.
Baca juga: Kejutan Putusan Tolak PK Moeldoko di Hari Ulang Tahun AHY…
Dalam perjalanannya, Koalisi Perubahan dipenuhi oleh dinamika tentang siapa figur yang akan mendampingi Aneis sebagai calon wakil presiden (cawapres).
Saat itu, Demokrat ingin memasangkan AHY untuk menjadi bakal RI-2 untuk mendampingi Anies. Namun, usulan itu tidak diterima oleh Nasdem.
Hingga akhirnya, koalisi terpecah karena Nasdem membangun kesepakatan dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan mendeklarasikan Anies berpasangan dengan Muhaimin Iskandar di Surabaya pada 2 September 2023.
Deklarasi itu dilakukan satu hari setelah Demokrat memutuskan untuk hengkang setelah mengetahui adanya kesepakatan tersebut.
Memori pahit itu pun masih selalu dibawa AHY hingga saat ini. Bahkan, dalam sambutannya di Kongres ke-6 Partai Demokrat, kemarin malam.
Baca juga: AHY Singgung Luka Lama Ditinggal Anies di Pilpres 2024, Bersyukur Akhirnya Merapat ke Prabowo
“Belum lagi ketika kita bubar jalan dengan poros koalisi sebelumnya. Banyak yang bingung, betul?” ujar AHY.
“Terus saya jawabannya gini, ‘apalagi saya, Pak. Kalau bapak bingung, apalagi saya’,” katanya lagi disambut tawa para kader.
Meski begitu, AHY mengatakan kebingungannya hanya terjadi dua minggu. Setelah itu Demokrat mendapatkan jalan dan memutuskan untuk bergabung dengan KIM dan mendukung Prabowo-Gibran pada Pilpres 2024.
Pekerjaan Rumah ke depan
Rintangan yang dihadapi Demokrat dalam kepemimpinan AHY nyatanya membawa dampak pada hasil Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024.
Hal itu diakui oleh SBY saat menyampaikan pidatonya di depan para kader pada Kongres ke-6 Demokrat. Dia meyebutkan, lima tahun ke belakang merupakan masa yang berat bagi partainya.
“Memang sangat melelahkan dan mengganggu keseluruhan agenda partai. Termasuk pelaksanaan musda dan muscab, mengganggu konsolidasi partai, dan kesiapan kita menghadapi Pemilu 2024 yang lalu,” kata SBY, Senin.
Baca juga: AHY: Kami Bangga Pak SBY Turun Gunung Dukung Pak Prabowo
Upaya kudeta dan koalisi yang bubar jalan, nyatanya memang mengganggu hasil Pileg 2024 Partai Demokrat.
Saat ini, Demokrat hanya memiliki 44 kursi DPR RI. Jumlah itu turun cukup signifikan dari kursi Demokrat di DPR RI pada periode 2019-2024. Saat itu, Demokrat memperoleh 54 kursi.
Hasil tersebut juga menempatkan Demokrat sebagai partai politik (parpol) dengan perolehan kursi paling kecil di Senayan, ketimbang tujuh partai yang lain.
Praktis bergabungnya Demokrat ke KIM juga tidak membuat suaranya di Senayan terdongkrak.
Penambahan jumlah suara dan kursi DPR RI, justru didapatkan oleh partai KIM yang lain, yakni Partai Gerindra, Partai Golkar, dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Baca juga: SBY Kenang Masa Sulit Demokrat Saat Hendak Direbut Paksa Kekuasaan
Partai Golkar mengalami kenaikan signifikan dengan memperoleh 102 kursi. Padahal, pada Pileg 2019, partai beringin hanya memiliki 85 kursi DPR RI.
Kemudian, Partai Gerindra saat ini memiliki 86 kursi, naik delapan kursi jika dibandingkan pada pileg lima tahun lalu. Lalu, PAN yang sebelumnya memiliki 44 kursi, saat ini memperoleh 48 kursi.
Di sisi eksekutif, jumlah menteri dari Demokrat juga tidak sebanyak Partai Gerindra dan Golkar.
Saat ini, Kabinet Merah Putih diisi oleh 23 menteri yang merupakan perwakilan partai politik (parpol). Demokrat memiliki satu menteri koordinator (menko), tiga menteri, dan satu wakil menteri. Sementara, Golkar memiliki delapan orang menteri dan Gerindra punya lima orang menteri.
Hasil itu lantas memunculkan tanya, bisakah AHY mengembalikan kejayaan partainya seperti Pileg 2009 lalu di mana Demokrat memperoleh 148 kursi di Senayan?
Selain itu, bisakah AHY maju sebagai kandidat calon presiden (capres) atau calon wakil presiden (cawapres) pada Pilpres 2029?
Mari kita tunggu jawabannya dengan mengutip salah satu kalimat yang sering diucapkan SBY, ”time will tell”.
Baca juga: AHY Jawab Peluang Dampingi Prabowo pada Pilpres 2029