JAKARTA, KOMPAS.com – Langit Jakarta seakan kelabu saat pandemi CoronaVirus Disease-2019 (Covid-19) melanda. Selain mengancam nyawa, virus asal Wuhan itu juga merenggut mimpi dan harapan banyak orang usai ekonomi lumpuh dan banyak bisnis bertumbangan.
Salah satu orang yang merasakan pukulan terberat akibat pandemi Covid-19 adalah Surmiyati (44), seorang perantau asal Bukittinggi, Sumatera Barat, yang telah meniti usaha busana muslim bernama Sayra dengan penuh perjuangan.
Dulu, nama Sayra bersinar di pusat grosir Thamrin City karena ratusan reseller yang tersebar di seluruh Indonesia. Kejayaan menghampiri Surmiyati karena ia memiliki omzet mencapai ratusan juta rupiah per bulan.
Baca juga: Kisah Perantau Asal Bukittinggi, Lepas dari Perusahaan Jepang Kini Sukses Pekerjakan 20 Orang
Namun, badai pandemi menghantam tanpa ampun. Dengan berat hati, Surmiyati harus memberhentikan 45 dari 50 karyawannya.
Konveksi yang dulu berkembang pesat, perlahan menyusut. Dari tiga, hanya satu yang tersisa, yakni di daerah Cipadu, Tangerang.
Tabungan yang ia dan suami kumpulkan selama bertahun-tahun habis untuk membangun rumah, sementara pesanan anjlok drastis. Lambat laun, reseller yang aktif berjualan di media sosial sudah tak lagi menjadi tumpuan.
“Orderan seminggu turun drastis, dari 1.000 menjadi 100,” kenangnya, suaranya lirih saat ditemui di Petukangan Utara, Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Kamis (13/2/2025).
Namun, Surmiyati bukanlah sosok yang mudah menyerah. Dalam kegelapan, ia mencari celah cahaya.
Pada 2022, ia memberanikan diri terjun ke dunia live streaming di e-commerce. Awalnya, hanya sedikit yang menonton. Bahkan, ada yang mencemoohnya.
“Suara sampai serak karena kebanyakan ngomong. Tapi saya tetap lanjut,” kata Sumiryati sambil matanya berbinar-binar mengenang perjuangan itu.
Perlahan tapi pasti, keberuntungan mulai berpihak. Nama Sayra yang telah dikenal reseller mempermudah jalannya. Pelanggan pun mulai berdatangan.
Baca juga: Rezeki Pedagang Ancol yang Kian Menyempit karena Aturan…
“Oh, ini Sayra? Saya dulu biasa belanja di Sayra!” seru seorang pelanggan di sesi live streaming-nya.
Kini, bisnisnya kembali stabil. Surmiyati telah merekrut host profesional, membangun tim, dan perlahan bangkit dari keterpurukan.
“Omzet sekarang puluhan juta per bulan. Konveksi ada di Cipadu dan Rawa Belong. Tapi, Rawa Belong itu punya paman. Karyawan kini sekitar 20 orang,” kata Surmiyati dengan senyum penuh syukur.
Lebih dari itu, Sayra kini telah menembus pasar internasional. Dari Singapura hingga Dubai, produk busana muslimnya mulai merambah dunia.
Merantau ke Jakarta
Sekitar 25 tahun silam, dengan tekad dan harapan, Surmiyati menginjakkan kaki di Jakarta.
Jakarta, yang bagi sebagian orang adalah kota gemerlap penuh peluang, justru menjadi medan tempur baginya.
Berbekal ijazah Sekolah Menengah Industri Pariwisata (SMIP) Perhotelan, Surmiyati meyakinkan orangtuanya bahwa di kota besar ini masa depannya bisa lebih baik.
Namun, kenyataan tak selalu ramah bagi mereka yang merantau. Awalnya, Surmiyati tinggal bersama kakaknya dan membantu berdagang di Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Baca juga: Semangat Azis Tak Padam, Terus Berjuang sebagai Pedagang Starling demi Hidupi Keluarga dan Pendidikan Anak
Mengurus administrasi, mengemas barang, hingga memastikan pengiriman ke luar negeri ia lakukan tanpa mengeluh. Namun, Surmiyati sadar, masa depan tak bisa hanya bergantung dari kebaikan kakaknya.
“Saya harus mandiri,” batinnya.
Pada siang hari Surmiyati bekerja. Pada malam hari ia kuliah.
Akhir pekan pun bukan waktunya beristirahat. Pada hari Sabtu Surmiyati menghabiskan waktu untuk membantu pamannya berdagang, sedangkan Minggu ia berjualan sendiri, menjajakan kaus kaki di masjid-masjid tanpa mengeluh dan menyerah.
“Saya pindah-pindah. Ke Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Utara. Semua sudah saya jelajahi,” kenangnya.
Demi menambah penghasilan, Surmiyati mencoba menjadi sales tas. Pekerjaan ini menuntutnya keluar-masuk gedung perkantoran, berjalan dari satu mal ke mal lain.
Tak jarang ia diusir satpam, dagangannya dibuang, bahkan dimarahi orang. Namun, ia tetap bertahan.
“Satu tas untungnya Rp 10.000. Kalau bisa jual lima sehari, dapatlah Rp 50.000 buat makan dan kuliah,” ujarnya.
Di tengah kesibukan itu, Surmiyati masih menyisihkan uang untuk membantu adiknya yang juga merantau ke Jakarta.
Baca juga: Tantangan Berat Pedagang Gorengan di Jakarta, Tak Laku Harus Dibuang
Dua tahun menjadi sales tas, akhirnya titik terang datang. Ia diterima bekerja di sebuah perusahaan Jepang sebagai sekretaris setelah lulus kuliah pada 2004.
Bagi sebagian orang, pekerjaan ini sudah cukup. Tapi tidak bagi Surmiyati.
Ia masih berjualan pada akhir pekan, berkeliling dari masjid ke masjid dengan troli kecilnya. Setiap Senin, rekan-rekannya di kantor heran melihat wajah Surmiyati yang menggelap karena terik matahari.
“Kenapa mukamu gosong?” tanya mereka.
Dengan santai, ia menjawab, “Iya, saya main.”
Padahal, Surmiyati bukan bermain, melainkan berjuang untuk memperbaiki hidup.
Pada 2008, Surmiyati menikah dengan Roy Saputra (42). Mereka tinggal di sebuah kontrakan kecil dengan jalan di depannya yang begitu sempit, bahkan satu motor pun sulit untuk melintas.
Saat itu, suami Surmiyati merasa kurang nyaman istrinya bekerja sebagai sekretaris. Akhirnya, Surmiyati memutuskan berhenti bekerja dan membantu suaminya berdagang di Thamrin City, Jakarta Pusat.
Tapi memulai usaha sendiri bukan perkara mudah.
Baca juga: Duka Pedagang Ikan Predator, 63 Ekor Peliharaan Dimusnahkan di Depan Mata
“Satu tahun pertama, modal enggak balik. Suami mulai mempertanyakan, tapi saya yakin bisa,” katanya.
Dengan ketekunan, Surmiyati mencari peluang baru, membuka bisnis kerudung. Sayra, nama yang ia sematkan untuk usahanya, mulai berkembang.
Setiap hari, ia berdagang di Thamrin City sejak subuh hingga sore, lalu ke konveksi di Cipadu hingga larut malam. Tidur hanya satu jam, lalu bangun dan memulai semuanya lagi.
“Mertua saya sampai kasihan. Katanya, ‘Apa yang dicari? Kok segitunya cari duit.’ Tapi saya masih muda, masih semangat,” katanya tersenyum kecil.
Lambat laun, bisnis Surmiyati meroket. Dari hanya berjualan sendiri, ia memiliki ratusan reseller di seluruh Indonesia.
Bahkan, Sayra memiliki tiga konveksi dengan lebih dari 50 karyawan.
“Waktu ramai, omzet ratusan juta per bulan. Orderan satu minggu bisa 1.000-an,” ungkapnya.
Pesan
Setelah 17 tahun berkecimpung di dunia perdagangan, Surmiyati memahami bahwa bisnis bukan hanya soal menjual, tapi juga soal keyakinan.
Baca juga: Omzet Pedagang Bunga Rawa Belong Meroket saat Valentine, Capai Rp 25 Juta
“Jangan ragu sama produk sendiri. Kadang kita lihat produk orang lain lebih bagus, lebih murah, lalu mulai ragu. Jangan seperti itu,” tegasnya.
Menurutnya, kejujuran adalah kunci utama dalam berjualan, terutama di era digital.
“Kalau jualan online, kita harus jujur. Tunjukkan barang apa adanya, jangan beda,” katanya.
Konsistensi juga menjadi faktor penting. Tren boleh berubah, tapi ciri khas harus tetap dijaga.
“Jangan ikut-ikutan orang, jangan sikut-sikutan, jangan menjatuhkan pesaing,” pesannya.
Kini, di usianya yang hampir setengah abad, Surmiyati tak hanya membangun bisnis, tetapi juga membangun inspirasi.
Surmiyati membuktikan bahwa dengan ketekunan, keberanian, dan keyakinan, mimpi yang dulu hanya setitik cahaya bisa menjadi terang yang menyinari banyak orang.