Hallo semuanya, Apa kabar? Semoga baik-baik saja. Pasti di sini sudah banyak yang mendengar musik keroncong. Musik yang khas dengan dentingan gitar dan irama yang syahdu ini telah menjadi bagian dari budaya Indonesia selama berabad-abad.
Ulasan ini akan menceritakan sejarah asal-usul keroncong, perjalanan panjangnya dalam menghadapi perubahan zaman, hingga wacana besar untuk menjadikannya sebagai Warisan Budaya Tak Benda UNESCO.
Musik keroncong adalah salah satu warisan budaya Indonesia yang telah berkembang selama berabad-abad.
Jejak awalnya dapat ditelusuri ke abad ke-16 ketika bangsa Portugis datang ke Nusantara. Mereka membawa alat musik khas seperti cavaquinho, yang kemudian beradaptasi dengan budaya lokal dan berkembang menjadi alat musik keroncong seperti yang kita kenal sekarang.
Konon katanya musik keroncong pertama kali dibawa oleh orang Mestizos ke Tanah Betawi, pada 1661. Siapakah orang Mestizos?
Mestizos merupakan orang yang memiliki keturunan pelaut Portugis yang akhirnya menikah dengan penduduk lokal dan menjadi koloni. Orang Mestizos kala itu membuat tradisi musik khas yang membuat mereka bernostalgia tentang keseharian, kesulitan serta kebahagiaan mereka.
Kreativitas warga Kampung Tugu Batavia (Jakarta) saat membuat tradisi musik khas, akhirnya menciptakan tiga jenis gitar yang diberi nama Jitera, Prunga serta Macina.
Jitera adalah sebutan untuk gitar yang besar, Prunga sebutan untuk gitar yang sedang serta Macina sebutan untuk gitar yang kecil. Ketika memainkan ketiga gitar tersebut akan muncul suara ‘krong-krong’ serta ‘crong-crong’. Bunyi gitar inilah yang menjadi awal mula penamaan musik keroncong.
Dalam perkembangannya, keroncong mengalami berbagai transformasi. Pada masa kolonial Belanda, musik ini semakin populer dan menjadi bagian dari hiburan masyarakat, termasuk di kalangan pribumi.
Berbagai unsur musik tradisional Nusantara pun masuk ke dalamnya, menciptakan warna khas yang membedakan keroncong dari musik asalnya. Seiring waktu, muncul berbagai varian seperti Keroncong Asli, Keroncong Stambul, dan Keroncong Langgam yang menggabungkan elemen musik daerah dan modern.
Memasuki era modern, keroncong sempat mengalami pasang surut. Perubahan selera musik yang cenderung mengikuti arus global membuat musik ini sempat meredup, meski tidak pernah benar-benar hilang. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, upaya pelestarian semakin digencarkan.
Banyak musisi muda mulai kembali mengangkat keroncong dengan nuansa yang lebih segar tanpa meninggalkan akar tradisinya. Festival keroncong di berbagai daerah pun bermunculan sebagai bentuk apresiasi terhadap musik ini.
Harapan dan wacana untuk mendaftarkan musik keroncong—salah satu genre musik khas Indonesia—sebagai warisan budaya tak benda dunia memang sudah lama digaungkan. Proses inskripsinya sendiri berada di bawah kewenangan UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization).
Sejumlah komunitas pencinta keroncong telah mengangkat isu ini sejak lebih dari lima tahun lalu. Namun, tampaknya wacana tersebut belum berkembang menjadi langkah konkret yang berujung pada aksi nyata. Akibatnya, upaya ini seolah terhenti di tengah jalan, mungkin karena belum ditemukan metode yang tepat untuk mewujudkannya.
Salah satu kesalahpahaman terbesar mengenai pendaftaran budaya ke dalam daftar UNESCO adalah anggapan bahwa suatu unsur budaya harus 100% asli. Padahal, UNESCO lebih mengutamakan nilai-nilai sosial kemanusiaan, serta bagaimana suatu budaya berkontribusi terhadap masyarakat luas.
Seperti halnya gamelan yang telah lebih dulu diakui pada tahun 2021, keroncong juga merupakan hasil percampuran budaya yang kaya akan sejarah dan makna.
Alat musik yang digunakan dalam ansambel keroncong, seperti gitar, biola, flute, dan cello, memang berasal dari luar negeri. Namun, ini bukanlah alasan untuk meragukan identitasnya sebagai musik khas Indonesia.
Justru, perpaduan elemen-elemen musik dari berbagai budaya inilah yang membentuk karakter unik keroncong. Musik ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia, dari rakyat kecil hingga kalangan elite.
Proses pengajuan keroncong sebagai Warisan Budaya Tak Benda UNESCO membutuhkan persiapan yang matang.
Salah satu langkah penting yang telah dilakukan adalah penyusunan Ensiklopedia Musik Keroncong pada tahun 2022 dengan dukungan Direktorat Perfilman, Musik, dan Media Kemendikbudristek.
Ensiklopedia ini menjadi bukti konkret bahwa keroncong memiliki sejarah panjang dan kontribusi besar terhadap kehidupan sosial di Indonesia.
Namun, pengakuan dari UNESCO bukanlah tujuan akhir. Lebih penting dari sekadar status adalah bagaimana pengakuan ini dapat membawa dampak nyata bagi keberlangsungan musik keroncong dan para senimannya. Apakah status ini akan membuka lebih banyak kesempatan bagi musisi keroncong untuk tampil di panggung internasional?
Apakah akan ada kebijakan yang mendukung regenerasi dan pelestarian musik ini?
Dalam hal ini, Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan No. 5 Tahun 2017 telah memberi landasan bagi negara untuk berperan sebagai fasilitator dalam menjaga keberlangsungan budaya.
Pemerintah bersama komunitas musik harus mampu memanfaatkan momentum ini untuk merancang program yang mendukung musisi keroncong dan memperluas jangkauan musik ini ke kancah global.
Saat ini, akademisi dan praktisi keroncong dari berbagai daerah tengah bekerja sama untuk memperjuangkan pengakuan UNESCO. Proses ini tidak mudah, tetapi langkah-langkah strategis telah disusun agar musik keroncong mendapatkan tempat yang layak di panggung dunia.
Dengan pengakuan ini, diharapkan keroncong tidak hanya semakin dihargai oleh masyarakat Indonesia, tetapi juga mendapat tempat di hati pendengar global. Karena sejatinya, musik adalah bahasa universal yang mampu menyatukan manusia di berbagai belahan dunia.
Keroncong bukan sekadar alunan musik, melainkan cerminan perjalanan sejarah, identitas, dan kebersamaan masyarakat Indonesia. Musik ini telah hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Indonesia selama lebih dari satu abad, menyatu dalam kehidupan sosial, mengiringi berbagai peristiwa, dan melahirkan generasi demi generasi pecinta seni. Oleh karena itu, sudah selayaknya keroncong diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda UNESCO.
Perjalanan panjang keroncong membuktikan bahwa musik ini memiliki daya tahan luar biasa. Dari masa kolonial hingga era digital, keroncong tetap menjadi bagian dari identitas budaya Indonesia.
Dengan upaya kolektif yang berkelanjutan, bukan tidak mungkin keroncong akan semakin berkembang dan terus mengalun merdu hingga generasi-generasi mendatang.
Mari kita bersama-sama menjaga dan melestarikan musik keroncong, agar suaranya tetap menggema dan menjadi kebanggaan kita semua.
Terima kasih
Referensi
Kompas.com
JawaPos