Banda Aceh, IDN Times – Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih berlanjut. Data Investing.com menunjukkan pelemahan rupiah mencapai 1,4 persen secara year to date (YTD) sampai Jumat (7/2/2025)
Direktur Departemen Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI), Juli Budi Winantya, mengatakan kebijakan Presiden AS, Donald Trump, yang memicu inflasi menjadi salah satu penyebab dolar menguat.
Di tengah kondisi tersebut, Federal Reserve (The Fed) diproyeksi akan menahan penurunan suku bunga acuan Fed Fund Rate (FFR). Hal itu pun memicu sentimen pelaku pasar terhadap dolar AS.
“Kami berpikirkan ke depan FFR akan cut sekali di 2025, ini yang dilakukan di semester II,” kata Juli dalam media briefing di Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Aceh di Banda Aceh, Jumat (7/2/2025).
1. Perekonomian AS menguat
Selain itu, perekonomian AS juga menguat, salah satunya dari sisi permintaan dengan adanya stimulus untuk masyarakat kelas menengah ke bawah. Kenaikan nilai aset properti dan saham yang dimiliki kelas menengah atas juga mendorong konsumsi. Dari sisi produksi, juga meningkat dibandingkan Jepang dan Korea Selatan.
“Kami perkirakan pertumbuhan ekonomi AS akan revisi ke atas,” tutur Juli.
Baca Juga: Cadangan Devisa Januari Naik Tipis Jadi 156,1 Miliar Dolar AS
Baca Juga: Cadangan Devisa Januari Naik Tipis Jadi 156,1 Miliar Dolar AS
2. AS banjir arus modal asing
Di tengah kondisi itu, arus modal dari negara-negara maju hingga berkembang pun beralih ke AS. Sehingga, nilai tukar dolar AS makin menguat. Dampaknya tak hanya terasa pada rupiah, tapi juga mata uang negara lain, termasuk negara maju.
“Karena fenomena arus modal semua ke AS, sehingga implikasinya dolar menguat secara merata di hampir seluruh negara. Jadi, menguat relatif terhadap euro, yuan China, yen Jepang, sehingga ini terjadi di semua negara,” ujar Juli.
3. Pelemahan rupiah masih terjaga
Meski begitu, menurut Juli pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih terjaga dibandingkan negara lain.
“Dibandingkan pergerakan negara-negara maju, euro, Jepang, kita relatif lebih kuat. Tapi kalau dibandingkan negara berkembang, India, yuan China, itu kita sebenarnya relatif sama. On par dengan pergerakan dari mata uang negara-negara berkembang lainnya,” kata Juli.