KOMPAS.com – Sejak awal Februari 2025, masyarakat di berbagai daerah Indonesia mengalami kesulitan mendapatkan gas elpiji 3 kilogram. Antrean mengular panjang pun terjadi di beberapa daerah, seorang warga bahkan meninggal dunia usai lelah mengantre elpiji.
Fenomena ini terjadi setelah pemerintah memberlakukan kebijakan yang melarang penjualan elpiji 3 kg di tingkat pengecer, sehingga masyarakat hanya dapat membelinya di pangkalan resmi Pertamina.
Kebijakan ini bertujuan memastikan distribusi elpiji 3 kg tepat sasaran, khususnya bagi rumah tangga berpenghasilan rendah, usaha mikro, petani, dan nelayan.
Namun, implementasinya menimbulkan kekacauan di lapangan. Banyak warga yang sebelumnya mengandalkan pengecer kini harus mencari pangkalan resmi, yang lokasinya tidak selalu mudah dijangkau.
Baca juga: Adu Harga Elpiji Malaysia Vs RI, Lebih Mahal Mana?
Selain itu, pembelian gas elpiji kini mensyaratkan menunjukkan KTP dan memastikan data pembeli terdaftar dalam database pemerintah, seperti P3KE dan DTKS. Belakangan, kebijakan ini kemudian dibatalkan dam skema distribusi elpiji dikembalikan seperti semula karena menuai kritik.
Ironi negara kaya gas
Indonesia sejatinya negara yang kaya akan sumber daya alam gas alam. Bahkan menjadi salah satu negara produsen dan eksportir gas alam terbesar di dunia.
Lantas mengapa negara masih mengimpor elpiji tapi mengekspor gas alamnya sendiri dalam jumlah besar?
Untuk diketahui, kekayaan gas alam di Indonesia tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal lantaran infrastruktur yang terbangun masih minim.
Pemerintah pada tahun 2007 lebih memilih melakukan konversi besar-besaran dari minyak tanah ke gas elpiji yang berbasis tabung.
Padahal konversi gas, baik tabung maupun pipa, secara masif bisa dilakukan bersamaan. Jaringan pipa gas diprioritaskan menyasar perkotaan, gas tabung diperuntukan untuk wilayah pedesaan.
Yang jadi masalah, gas elpiji sebagian besar berasal dari impor yang menguras devisa. Sementara dengan gas alam yang diproduksi dan melimpah di Indonesia, harus menggunakan jaringan pipa untuk distribusinya.
Baca juga: Bandara Ngloram Blora, Diresmikan Jokowi pada 2021, Kini Nganggur
Mengutip Buku Jargas yang diterbitkan Kementerian ESDM, gas bumi adalah bahan bakar fosil berbentuk gas. Gas bumi sering juga disebut sebagai gas alam atau gas rawa.
Gas alam yang diproduksi di Indonesia ini kemudian distribusikan dengan mengubahnya menjadi LNG (liquefied natural gas). Gas LNG ini berbeda karakteristik dengan elpiji atau LPG (liquefied petroleum gas).
LPG dan LNG, sebenarnya sama-sama gas yang dicairkan. Tujuannya untuk memudahkan pengangkutan dalam jarak yang tidak terjangkau dengan pipa.
Meskipun sama-sama gas cair, komponen LPG dan LNG pun berbeda. Komponen LPG didominasi oleh propane dan butane. Jenis gas ini memiliki massa jenis yang lebih besar daripada LNG.
Dalam tabung, LPG berbentuk zat cair. Namun pada suhu dan tekanan normal, LPG yang keluar dari tabung akan langsung berubah menjadi gas.
Baca juga: Ironi Indonesia, Warganya Penggila Tempe, tapi Kedelainya Impor
Tekanan yang dibutuhkan untuk mencairkan gas ini cukup rendah sehingga sesuai untuk konsumen rumah tangga. Sifatnya mudah disimpan dan bisa langsung dibakar untuk dimanfaatkan tanpa perlu infrastruktur khusus.
Distribusi LNG lebik kompleks
Beda dengan LPG yang mayoritas impor, LNG adalah gas yang didominasi oleh metana dan etana yang didinginkan hingga menjadi cair pada suhu antara -150°C sampai -200°C.
Pengembangan dan pemanfaatan LNG memerlukan infrastruktur yang lebih kompleks. Di sisi hulu, pengembangan LNG tidak hanya memerlukan fasilitas produksi biasa, tapi membutuhkan kilang yang mampu mencairkan gas tersebut sampai suhu yang ditentukan.
Fasilitas pendingin dan tangki kriogenik ini membutuhkan investasi sangat besar. Di sisi hilir, pemanfaatan LNG
memerlukan fasilitas untuk mengubah LNG menjadi gas kembali yang disebut LNG regasification terminal.
Selain fasilitas regasifikasi, pemanfaatan gas yang dihasilkan juga memerlukan jaringan pipa untuk sampai ke konsumen. Dengan kebutuhan akan temperatur sangat rendah, LNG tidak bisa diedarkan dalam bentuk tabung-tabung layaknya LPG.
Tapi, pemanfaatan LNG memerlukan fasilitas regasifikasi sekaligus sistem transportasi terintegrasi ke pengguna.
Baca juga: Ironi Indonesia, Negara Agraris yang Terus-terusan Impor Beras