MAGELANG, KOMPAS.com – Tak banyak kelenteng, kecuali Hok An Kiong, yang punya koleksi ratusan bahkan ribuan buku, kata Astrid Salsabila, peneliti dari Center for Religious and Cross-Cultural Studies Universitas Gadjah Mada (CRCS UGM) di Yogyakarta.
Tapi, perpustakaan kelenteng Hok An Kiong menghadapi senjakala soal revitalisasi yang tidak lepas dari peristiwa 1965.
Tempat peribadatan itu berada di jantung Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah atau jalur utama Jalan Yogyakarta-Magelang.
Baca juga: Mengenal Kiai Juru Mudi, Nahkoda Muslim yang Dimakamkan di Kelenteng Sam Poo Kong Semarang
Hok An Kiong didirikan warsa 1911 setelah dipindahkan dari lokasi awal di dekat Pasar Muntilan sejak 1878.
Perpustakaan itu berada di dalam Hok An Kiong.
Pengunjung bisa mengaksesnya melalui jalur yang menembus bagian belakang kelenteng; artinya tidak memasuki tempat ibadat, sekalipun jalurnya terhubung dengan perpustakaan.
Baca juga: Kenapa Imlek Identik dengan Warna Merah dan Kuning Emas?
Selasa (4/2/2025), Astrid menunjukkan koleksi perpustakaan meliputi buku perayaan Sincia di Magelang dan satu bendel majalah Moestika Dharma berbagai edisi.
Moestika Dharma dibesut Kwee Tek Hoay yang khusus membahas ajaran Tridharma dan filsafat.
Adanya Astrid di perpustakaan Hok An Kiong, dan peneliti lain dari CRCS UGM Refan Aditya, tengah memindai buku-buku ajaran Tridharma berbahasa Melayu.
“So far, kami sudah men-scan 200 lebih buku. Target kami (memindai) 5.000 lembar halaman per orang atau total 10.000 lembar,” ujar Astrid.
Baca juga: Kue Keranjang Imlek Terbuat dari Apa? Berikut Penjelasannya
CRCS UGM sedang menjalankan program Modern Endangered Archive Program (MEAP), bekerja sama dengan University of California, Los Angeles (UCLA).
Astrid menuturkan, pemindaian berfokus pada buku-buku Tridharma karena ajaran ini jarang dibahas dalam lingkup ilmiah dan dinilai sebagai ajaran yang hampir punah. Apalagi, Tridharma turut membentuk lanskap sejarah berdirinya Indonesia.
“Fokus kami sebelum periode 1998, bahkan ada yang sebelum 1965,” ucapnya.
Baca juga: Kemenkeu Hibahkan Tanah dan Bangunan Balai Diklat, Bakal Jadi Kantor Baru Pemkot Magelang
Bagian dari sekolah Tiong Hwa Hak Hauw (THHH) Muntilan
Astrid menaksir ada lebih dari 1.000 buku ragam genre di perpustakaan Hok An Kiong.
Dia tidak bisa memastikan tahun berapa terbitan paling lama. Hanya, dia baru menemukan buku terbitan 1920-an.
“Asumsi kami ada yang lebih tua, dan berbahasa Tiongkok. Masih asumsi karena kami nggak ada yang bisa berbahasa Tiongkok,” jelasnya.
Baca juga: Mengenal Ashurbanipal, Perpustakaan Tertua di Dunia dari Abad Ke-7 SM
Perpustakaan ini mula-mula bukan bagian dari Hok An Kiong, melainkan dari sekolah Tiong Hwa Hak Hauw (THHH) Muntilan yang persis di belakang kelenteng.
Alhasil, sisa bangunan sekolah yang dibangun pada 1912 masih berdiri, termasuk bekas ruang kelas yang kini menjadi aula.
THHH Muntilan berganti nama menjadi Sekolah Rakyat Setia Dharma akibat keputusan larangan “sekolah asing” yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 1959.
Baca juga: 5 Perpustakaan Terbesar dan Termegah di Dunia
“Sayangnya, ketika ’65 sekolah ditutup dan beberapa informan saya yang sekolah di Setia Dharma akhirnya dipindahkan ke sekolah-sekolah lain,” papar Astrid.
Astrid tidak bisa memastikan buku mana yang sudah ada sejak berdirinya sekolah.
Terlebih, era 1980-an, kelenteng Hok An Kiong banyak menerima donasi buku yang kebanyakan dari kalangan Tionghoa.
Baca juga: Jelang Imlek, Patung Dewa-dewi di Kelenteng Hok Tek Bio Salatiga Dibersihkan Pakai Air Hujan
Buku Tionghoa dan sensor pemerintah
Astrid mengaku, kebanyakan buku Tridharma yang dipindai terbitan edisi 1965 ke atas dan dilabeli “kalangan sendiri”.
Dia menduga label tersebut sebagai strategi untuk lolos dari sensor pemerintah yang membatasi ekspresi kaum Tionghoa pasca-peristiwa Gerakan 30 September 1965.
“Buku-buku di kelenteng ini banyak dari Jakarta, Banten, sampai Kalimantan. Artinya ada upaya saling sharing (bacaan). Memang, harus ada keterangan ‘kalangan sendiri’ untuk menghindari pemberedelan dari pemerintah,” bebernya.
Baca juga: Wacana Penutupan Plengkung Gading, Apa yang Sebenarnya Terjadi?
Akan tetapi, tragedi 1965 begitu memukul telak kebebasan aktivitas komunitas Tionghoa, termasuk kunjungan ke perpustakaan.
“Peristiwa 1965 benar-benar berdampak signifikan, membuat orang semakin jarang ke kelenteng karena takut,” ungkap dia.
Persoalan kiwari yang dihadapi perpustakaan itu mengenai bagaimana pengurus merawat dan menghidupkan tempat baca itu untuk kalangan sendiri maupun masyarakat luas.
Astrid menambahkan, keadaan sekarang lebih baik ketimbang saat dia dan rekannya start melakukan pemindaian buku pada 2023.
Saat itu, tidak ada istilah perpustakaan, melainkan gudang; bercampur dengan perabotan-perabotan.
Baca juga: GOR Kridosono Dikembalikan ke Keraton Yogyakarta, Bakal Dijadikan Area Hijau
Tak heran, ketika proses pemilahan, Astrid menemukan buku-buku yang rusak karena, antara lain, dimakan rayap.
“Kekhawatiran kami jangan sampai perpustakaan ini selesai aktif saat kami sudah tidak di sini lagi,” imbuhnya.
Program MEAP ini ditargetkan rampung pada April 2025.
Ketua Umum Tempat Ibadah Tri Dharma Hok An Kiong Muntilan, Budi Raharjo mengatakan, kerja-kerja yang dilakukan CRCS sangat membantu kelentengnya di tengah keterbatasan pengurus yang punya perhatian akan revitalisasi perpustakaan.
“Pengurus kelenteng ini sudah tua-tua. Wong saya mengundurkan diri saja nggak boleh,” ujarnya, Selasa (4/2/2025).
Baca juga: Profil Laksamana Yudo Margono, Calon Terkuat Panglima TNI Pengganti Jenderal Andika Perkasa
Budi mengaku menjadi pengurus kelenteng sejak 1987.
Budi, yang juga bernama Wong Kim Tjung, menyebutkan, sebenarnya perpustakaan dibuka untuk umum, tidak ada batasan agama atau etnis.
Cuma, pria berusia 80 tahun ini tidak memungkiri adanya rasa segan masyarakat umum untuk berkunjung.
“Karena kita dijajah zaman Orde Baru itu, mulai 1965-1998,” tegasnya.
Dia pun tidak punya harapan muluk-muluk perihal perpustakaan. Ada orang yang bertandang, juga membaca buku, itu sudah cukup.
Baca juga: Telan Anggaran Rp 26 Miliar, Renovasi Gereja Blenduk Semarang Rampung 2025