Kisah Nyata di Balik Film The Great Escape: Lebih Mengerikan dari yang Digambarkan

Avatar photo

- Penulis

Sabtu, 26 April 2025 - 12:36 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pada 24 Maret 1944, sebuah peristiwa bersejarah terukir dalam catatan Perang Dunia II: 76 perwira Sekutu berhasil meloloskan diri dari cengkeraman Stalag Luft III, kamp tahanan perang Jerman. Petualangan berani ini kemudian diabadikan dalam film klasik, The Great Escape. Salah satu tokoh kunci dalam pelarian tersebut, Ley Kenyon, berbagi kisahnya yang menggetarkan pada program Nationwide BBC tahun 1977.

Di tengah salju malam 1944, lebih dari 200 perwira Sekutu berani mempertaruhkan nyawa mereka dengan upaya pelarian besar-besaran dari kamp tahanan perang Jerman tersebut.

Upaya ini merupakan puncak dari perencanaan cermat selama lebih dari setahun. Mereka melibatkan serangkaian kegiatan rahasia: penyuapan, penggalian terowongan yang licik, dan produksi massal peralatan, seragam, serta dokumen palsu – semua dilakukan secara sembunyi-sembunyi dari pengawasan ketat para penjaga dan mata-mata kamp.

The Great Escape, film garapan John Sturges tahun 1963, menjadi film klasik yang amat digemari dan dibintangi oleh aktor-aktor ternama seperti Steve McQueen, Richard Attenborough, dan James Garner.

Namun, film tersebut ternyata mengandung sejumlah ketidakakuratan.

Jem Duducu, sejarawan dan presenter podcast Condensed History, dalam wawancaranya dengan Metro, mengatakan film ini adalah “perpaduan aneh antara detail akurat dan fantasi khas Hollywood”.

Kisah pelarian heroik ini pertama kali diceritakan oleh Paul Brickhill, salah satu yang turut serta dalam upaya pelarian tersebut, dalam buku yang diterbitkan pada tahun 1950, juga berjudul The Great Escape.

Dalam bukunya, Brickhill menggambarkan Ley Kenyon, yang turut mengilustrasikan buku tersebut, sebagai “ahli pemalsu ulung” yang berperan vital dalam misi pelarian. Kenyon berhasil memalsukan ribuan dokumen untuk mendukung upaya pelarian tersebut.

Berbicara tentang film The Great Escape dalam acara Nationwide BBC tahun 1977 bersama Dilys Morgan, Kenyon mengungkapkan:

“Filmnya memang menghibur, tetapi tentu saja tidak menggambarkan penderitaan sebenarnya sebagai tawanan perang. Kengerian sesungguhnya, tentu saja, adalah perasaan pribadi seseorang berada di balik kawat berduri – kebosanan, kelaparan. Kelaparan itu sungguh mengerikan.”

Pendapat mantan tahanan perang lainnya terhadap film tersebut beragam.

Charles Clarke, yang berada di kamp pada saat itu dan membantu perencanaan sebagai pengintai, mengatakan kepada BBC dalam wawancara radio tahun 2019: “Bahkan setelah bertahun-tahun, saya selalu kagum dengan betapa luar biasanya film itu.”

Salah satu perubahan signifikan dalam film adalah perihal personel yang terlibat. Meskipun peristiwa The Great Escape sebagian besar berdasarkan fakta, namun beberapa nama telah diubah, dan sejumlah tokoh digabungkan menjadi karakter fiktif.

Pada saat pelarian, tidak ada lagi warga Amerika yang tersisa di kamp, dan William Ash, yang konon menjadi inspirasi karakter Virgil Hilts yang diperankan McQueen, tidak ikut serta dalam pelarian tersebut.

Mungkin Anda tertarik:

  • Di balik pujian dan kritikan terhadap Jumbo, film animasi terlaris se-Asia Tenggara – ‘Mengungkap bagaimana anak memproses duka kehilangan orang yang dicintai’
  • Sempat ‘hilang’ puluhan tahun, bagaimana ‘Turang’ yang meraih predikat film terbaik Indonesia ditemukan kembali?
  • Badan perfilman teken kerja sama dengan polisi, pengembangan SDM atau ‘pengawasan’?

Rencana pelarian tersebut digagas oleh pemimpin skuadron, Roger Bushell, yang dalam film diganti namanya menjadi Bartlett dan diperankan oleh Attenborough.

Bushell pertama kali ditawan pada tahun 1940 setelah pesawatnya ditembak jatuh. Ia memiliki rekam jejak mengesankan dalam upaya pelarian sebelumnya, bahkan nyaris mencapai perbatasan Swiss yang netral.

Stalag Luft III merupakan upaya Jerman untuk menciptakan kamp tahanan yang mustahil ditembus, khususnya bagi perwira angkatan udara dari Inggris, Kanada, Australia, Polandia, dan negara-negara sekutu lainnya.

Kamp ini dibangun dan dikelola oleh Luftwaffe sebagai tempat penahanan yang aman bagi mereka yang dianggap berisiko tinggi untuk melarikan diri.

Baca Juga :  Update Kematian Kim Sae Ron: Penyebab Meninggal, Ganti Nama, dan Rencana Hidup Baru

Namun, yang tidak mereka perhitungkan adalah konsekuensi dari mengumpulkan begitu banyak ahli pelarian dalam satu tempat.

Berbulan-bulan persiapan

Kamp tersebut dibangun di atas tanah berpasir yang menyulitkan penggalian terowongan.

Lapisan tanah di bawahnya lebih terang dan berwarna kuning, berbeda dengan lapisan tanah atas yang gelap. Oleh karena itu, akan sangat mudah terlihat jika ada tanah yang muncul di permukaan kamp.

Barak-barak didirikan di atas tiang-tiang bata sehingga setiap penggalian di bawahnya akan mudah terdeteksi.

Selain itu, Brickhill menggambarkan dalam bukunya “pagar kawat berduri ganda setinggi 2,75 meter”, dan di luarnya terdapat “menara penjaga” setinggi 4,5 meter setiap 90 meter, diawasi oleh penjaga dengan lampu sorot dan senapan mesin.

Lebih lanjut, mikrofon ditanam di dalam tanah di sekitar kawat untuk mendeteksi suara penggalian terowongan.

Seperti yang dapat diduga dari sebuah rencana yang dirancang oleh para tentara, proyek penggalian terowongan dijalankan dengan efisiensi militer.

Bushell – yang juga dikenal sebagai “Big X” – bertanggung jawab atas keseluruhan operasi dan mendelegasikan tugas-tugas tertentu kepada orang lain.

Perencanaan dimulai bahkan sebelum Stalag Luft III dibangun: Bushell dan yang lainnya telah memperkirakan pembangunan kamp tersebut dan menawarkan diri untuk membantu pembangunannya.

Dengan demikian, mereka dapat memetakan dan memilih lokasi terbaik untuk membuat terowongan. Bushell memiliki ide untuk menggali bukan satu, melainkan tiga terowongan secara bersamaan.

Logikanya, jika Jerman menemukan satu terowongan, mereka tidak akan menduga adanya dua terowongan lainnya.

Terowongan-terowongan tersebut hanya boleh disebut dengan nama kode: Tom, Dick, dan Harry. Bushell mengancam akan menyeret siapa pun yang mengucapkan kata “terowongan” ke pengadilan militer.

Tujuan rencana tersebut adalah agar 200 orang dapat melarikan diri. Ini merupakan tugas yang sangat besar.

Setiap orang membutuhkan satu set pakaian sipil, paspor palsu, kompas, makanan, dan banyak lagi.

Beberapa surat izin membutuhkan foto, sehingga sebuah kamera diselundupkan dengan bantuan seorang penjaga yang telah disuap.

Dalam film, karakter yang diperankan oleh Donald Pleasence bertanggung jawab atas pemalsuan dokumen.

Namun kenyataannya, Kenyon adalah salah satu pemalsu utama yang harus memalsukan ribuan dokumen yang dibutuhkan.

Dalam wawancara Nationwide, dia mengenang bagaimana mereka melakukannya: “Kami membuat mesin cetak, salah satunya, dan setiap huruf harus diukir dengan tangan dari karet yang kami dapatkan dari tukang sepatu – sol karet – atau potongan kayu yang dipotong dengan silet cukur.”

Setiap dokumen harus sempurna. Mereka meniru surat izin dan dokumen yang telah mereka curi dari penjaga atau membujuk penjaga untuk menunjukkannya kepada mereka.

“Sekitar tujuh atau 8.000 lembar kertas diproduksi,” katanya.

Terowongan itu sendiri juga merupakan keajaiban teknik dan kecerdikan. Sebuah pompa udara dibuat dengan tas perlengkapan dan kayu, dan udara dipompa melalui saluran yang terbuat dari kaleng susu kosong yang dikirim oleh Palang Merah.

Salah satu tantangan terbesar adalah membuang tanah galian dari terowongan. Kantong-kantong berisi tanah digantung di dalam celana panjang yang dibuat dari kain panjang, lalu tanah itu dijatuhkan di sekitar kamp dan dicampur dengan tanah permukaan.

Dari tiga terowongan, satu yang bernama Tom ditemukan oleh penjaga beberapa saat sebelum selesai. Setelah istirahat sejenak, diputuskan untuk melanjutkan penggalian terowongan Harry.

Terowongan ini selesai pada musim dingin 1943, dan ditutup sampai kondisi memungkinkan untuk pelarian.

Waktu itu akhirnya tiba pada malam 24 Maret 1944. Banyak kendala muncul, tetapi pada akhirnya, dari 220 orang, 76 orang berhasil keluar sebelum orang ke-77 terlihat oleh seorang penjaga.

Operasi besar-besaran dilakukan untuk menangkap kembali ke-76 orang tersebut. Mereka semua menyadari kemungkinan besar akan tertangkap, tetapi banyak yang menganggap bahwa upaya pelarian merupakan pilihan terbaik.

Baca Juga :  Pengakuan Mengejutkan Lisa Mariana: Hubungan dengan Artis dan Pejabat, Terungkap!

Tujuan lain dari para perwira tersebut adalah untuk memaksa Jerman mengalihkan sumber daya dari perang untuk memburu mereka.

Menurut Brickhill, lima juta orang Jerman terlibat dalam pencarian para tahanan yang melarikan diri.

Dari jumlah tersebut, hanya tiga orang yang berhasil lolos. Dua berhasil mencapai Swedia, dan satu ke Spanyol.

Hitler memerintahkan agar ke-73 tahanan yang tertangkap kembali dihukum mati.

Namun, orang-orang di sekitarnya berhasil membujuk Hitler untuk tidak melakukannya – toh, Inggris juga menahan tawanan perang Jerman dan tidak akan menerima pembantaian perwira mereka.

Akan tetapi, Hitler tetap memerintahkan agar 50 di antara mereka dihukum mati. Ken Rees, yang berada di dalam terowongan saat ditemukan, menceritakan bahwa mereka yang dibunuh “dibawa keluar berdua dan bertiga, dan ditembak,” dalam podcast BBC Witness History tahun 2010.

Ditembak di jalan

Dalam versi film, semua orang dibawa ke lapangan dan ditembak dengan senapan mesin, tetapi kenyataannya berbeda.

Buku Brickhill mencatat bahwa para tawanan dibawa dalam kelompok kecil menuju kamp semula dan ditembak di jalan.

Dia menulis, “Penembakan akan dijelaskan dengan alasan bahwa para perwira yang ditangkap kembali ditembak saat mencoba melarikan diri, atau karena melakukan perlawanan, sehingga tidak ada yang dapat dibuktikan di kemudian hari.”

Semua jenazah dikremasi, dan, seperti yang dinyatakan oleh Menteri Luar Negeri Anthony Eden dalam pidato parlemen pada Juni 1944, alasannya adalah untuk menyembunyikan cara kematian mereka.

Bushell adalah salah satu yang tertangkap dan dibunuh. Ia meninggal pada usia 33 tahun. Detail kematiannya terungkap dalam penyelidikan selanjutnya: bersama dengan rekan-rekannya, ia ditembak di punggung oleh petugas Gestapo.

Abu jenazahnya dikembalikan ke kamp bersama yang lainnya, tetapi, menurut keponakannya, peti matinya rusak ketika tentara menyerbu kamp, dan oleh karena itu, lebih dari 80 tahun kemudian, ia masih berada di sana.

Dua orang yang berhasil menghindari eksekusi adalah Jimmy James dan Sydney Dowse. Dalam sebuah film dokumenter tahun 2012, Dowse berbagi perspektifnya sebagai penyintas.

“Anda akan bertanya-tanya mengapa Anda sendiri tidak ditembak. Itulah yang Jimmy dan saya rasakan. Mengapa kami tidak ditembak. Kami bisa saja. Itu hanya keberuntungan. Dan… cukup mengerikan.”

Eksekusi 50 tawanan perang tersebut memicu kemarahan di Inggris. Eden mengatakan dalam pidatonya di Parlemen:

“Pemerintah Yang Mulia, oleh karena itu, mencatat protes keras mereka atas tindakan pembantaian keji ini. Mereka tidak akan pernah berhenti berusaha mengumpulkan bukti untuk mengidentifikasi semua pihak yang bertanggung jawab. Mereka bertekad bahwa para penjahat keji ini akan dilacak sampai orang terakhir di mana pun mereka bersembunyi. Ketika perang berakhir, mereka akan dibawa ke pengadilan.”

Setelah perang, upaya besar dilakukan untuk menyelidiki pembunuhan tersebut. Hasilnya, 13 petugas Gestapo dihukum gantung atas peran mereka dalam eksekusi tersebut.

Enam tahun setelah pelarian, pada tahun 1950, Brickhill menerbitkan catatannya tentang kejadian tersebut, yang kemudian diadaptasi menjadi film terkenal tersebut.

Ketika Charles Clarke ditanya tentang pendapatnya mengenai versi Hollywood dari peristiwa tersebut, dia berkata, “Tanpa film ini, siapa yang akan mengingat betapa luar biasanya pencapaian itu?”

  • Kisah geng perempuan yang meneror London selama puluhan tahun
  • Miniseri Netflix ‘Adolescence’ disebut serial TV yang ‘sempurna’ oleh penonton dan kritikus
  • Kisah para pekerja seks di balik film Anora yang meraih Piala Oscar
  • Serial agen rahasia menguasai layar – Tontonan aksi mata-mata populer di tengah krisis kepercayaan terhadap pemerintah

Berita Terkait

Gitaris Seringai Ricky Siahaan Meninggal: Stevi Item Kenang Humornya
Dochi Sadega Terpukul: Kehilangan Ricky Siahaan Sangat Mendalam
Peti Jenazah Ricky Siahaan Dihiasi Stiker Band, Seringai Beri Penghormatan
Pemakaman Ricky Siahaan: Landslide Iringi Kepergian Sang Gitaris Seringai
Pemakaman Ricky Siahaan Diiringi Lanslide, Lagu Perpisahan Menyentuh Hati
Arya Saloka Ungkap Tekanan Syuting Film Dendam Malam Kelam Bersama Marissa Anita
Rumah untuk Alie: Sinopsis Film Keluarga Menyentuh Hati dan Daftar Pemain Lengkap
TWS Rilis Album ‘TRY WITH US’: Intip Lirik Lagu “Countdown!”

Berita Terkait

Sabtu, 26 April 2025 - 20:03 WIB

Gitaris Seringai Ricky Siahaan Meninggal: Stevi Item Kenang Humornya

Sabtu, 26 April 2025 - 19:59 WIB

Dochi Sadega Terpukul: Kehilangan Ricky Siahaan Sangat Mendalam

Sabtu, 26 April 2025 - 19:23 WIB

Peti Jenazah Ricky Siahaan Dihiasi Stiker Band, Seringai Beri Penghormatan

Sabtu, 26 April 2025 - 19:07 WIB

Pemakaman Ricky Siahaan: Landslide Iringi Kepergian Sang Gitaris Seringai

Sabtu, 26 April 2025 - 18:27 WIB

Pemakaman Ricky Siahaan Diiringi Lanslide, Lagu Perpisahan Menyentuh Hati

Berita Terbaru

general

Harga Emas Antam Hari Ini Anjlok: Waktunya Beli?

Sabtu, 26 Apr 2025 - 21:12 WIB

Public Safety And Emergencies

Kemensos Beri Santunan Korban Longsor Ponpes Gontor: Meninggal dan Luka-Luka

Sabtu, 26 Apr 2025 - 21:03 WIB