“`html
Ragamutama.com – JAKARTA. Dalam sepekan terakhir, nilai tukar rupiah belum menunjukkan perbaikan yang signifikan. Mata uang Garuda ini masih tertekan oleh sentimen negatif yang datang dari luar negeri, terutama terkait isu perang dagang, yang diperkirakan akan terus berlanjut hingga pekan berikutnya.
Selama empat hari perdagangan di pasar domestik pada minggu lalu, rupiah mengalami pelemahan selama tiga hari berturut-turut sebelum akhirnya ditutup dengan penguatan tipis pada hari Kamis (17/6), di level Rp16.833. Secara persentase, penguatan tersebut hanya mencapai 0,2%.
Tunggu BI Rate, Rupiah Diperkirakan Menguat Terbatas di Awal Pekan
Sementara itu, di pasar spot, rupiah justru melemah ke level Rp 16.876 pada hari Jumat (18/4), semakin mendekati angka 16.900. Padahal, indeks dolar AS sendiri masih berada dalam tekanan di level 99 basis poin.
Menurut analis Doo Financial Futures, Lukman Leong, pergerakan rupiah yang cenderung stagnan terhadap dolar AS sangat dipengaruhi oleh sentimen global yang sedang berlangsung.
“Para investor masih bersikap hati-hati dan cenderung wait and see, menunggu hasil perundingan antara AS dan Jepang. Jika Jepang gagal mencapai kesepakatan dengan AS, ada potensi besar bahwa rupiah akan melemah terhadap dolar AS,” jelasnya kepada Kontan.co.id pada hari Minggu (20/4).
Sebagai informasi, Presiden AS Donald Trump telah mengadakan pertemuan dengan delegasi perdagangan Jepang pada hari Rabu (16/4) lalu. Pertemuan ini bertujuan untuk mengatasi ketegangan yang timbul akibat penerapan tarif oleh AS.
Rupiah Diperkirakan Menguat Terbatas di Pekan Depan, Ini Pendorongnya
Hingga saat ini, belum ada detail yang diumumkan mengenai hasil pertemuan tersebut. Namun, seperti yang dilansir dari Reuters pada hari Minggu (20/4), Jepang diminta untuk meningkatkan impor sebagai kompensasi atas hambatan pasar yang diberlakukan di sektor otomotif dan beras.
Selain itu, Lukman juga menambahkan bahwa eskalasi ketegangan antara AS dan China juga akan terus memberikan tekanan pada rupiah selama pekan depan.
Pengamat mata uang, Ibrahim Assuaibi, memiliki pendapat yang serupa. Ia menyoroti tuntutan dari China agar pemerintah AS lebih menghormati negara tersebut.
“China bersedia untuk memulai kembali pembicaraan perdagangan dengan pemerintahan Trump, tetapi dengan syarat Gedung Putih menunjukkan rasa hormat yang lebih besar. Perkembangan ini sedikit meredakan kekhawatiran, meskipun para investor tetap waspada,” ujar Ibrahim dalam keterangan tertulisnya pada hari Kamis (16/4).
Dari sisi domestik, Ibrahim menyoroti posisi utang luar negeri (ULN) Indonesia per Februari 2025 yang mengalami penurunan menjadi US$ 427,2 miliar.
Sebagai perbandingan, pada bulan Januari 2025, ULN Indonesia tercatat sebesar US$ 427,9 miliar. Secara tahunan, ULN Indonesia mengalami pertumbuhan sebesar 4,7%, lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan pada bulan Januari 2025 yang mencapai 5,3%.
Utang Luar Negeri Indonesia Masih Aman, Tapi Pelemahan Rupiah Perlu Diwaspadai
Menurut Ibrahim, perubahan pada posisi ULN ini dipengaruhi oleh perpindahan dana investor asing dari Surat Berharga Negara (SBN) domestik ke instrumen investasi lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa sentimen asing terhadap ekonomi Indonesia masih cenderung negatif.
Dengan demikian, Ibrahim memprediksi bahwa rupiah akan terus bergerak fluktuatif pada perdagangan hari Senin (21/4). Namun, ia tetap optimis bahwa rupiah akan ditutup menguat di kisaran Rp 16.780–Rp 16.840.
Senada dengan Ibrahim, Lukman juga berpendapat bahwa rupiah hanya akan mampu menguat tipis di kisaran Rp 16.750–Rp 16.900 pada hari Senin (21/4) mendatang.
“`