Ragamutama.com, Jakarta – Center of Economic and Law Studies (Celios) menyampaikan analisisnya terkait implementasi program swasembada pangan yang dicanangkan oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Lembaga ini menilai bahwa program tersebut berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan.
“Sebagai contoh, proyek food estate yang berlokasi di Merauke, berpotensi secara signifikan merusak ekosistem alami. Kerusakan ini mencakup hilangnya tutupan hutan, terganggunya ekosistem savana yang unik, serta kerusakan pada lahan rawa yang luas di wilayah Merauke,” ujar Direktur Socio-Bioeconomy Celios, Fiorentina Refani, ketika dihubungi pada hari Sabtu, 19 April 2025.
Lebih lanjut, Fiorentina juga memberikan perhatian khusus pada proyek food estate berupa perkebunan singkong yang berada di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Menurutnya, perubahan tata ruang yang dilakukan pemerintah, yang mengalihkan fungsi lahan gambut menjadi lahan pertanian lainnya, dapat memperburuk risiko bencana hidrometeorologis, seperti banjir, di wilayah tersebut.
Ia mengidentifikasi setidaknya tiga faktor utama yang menyebabkan program swasembada pangan berpotensi membahayakan lingkungan. Ia juga berpendapat bahwa kerusakan lingkungan erat kaitannya dengan adanya konflik kepentingan. “Sektor pangan seringkali menjadi sasaran intervensi untuk kepentingan bisnis tertentu.” Fiorentina menambahkan bahwa menjamurnya korporasi dalam program ini dapat menyebabkan benturan kepentingan dalam pengambilan keputusan.
Fiorentina juga menyoroti keterlibatan pihak-pihak yang kurang kompeten dalam posisi pengambil keputusan. Sebagai contoh, ia menyebutkan adanya keterlibatan aktif atau pensiunan militer dalam satuan tugas (satgas) Penertiban Kawasan Hutan yang bertugas mengawasi mega proyek lumbung pangan atau food estate di Merauke, Papua Selatan. “Akibatnya, pendekatan dalam pengadaan pangan cenderung menjadi militeristik,” jelasnya.
Selain itu, ia mengkritik pola penyeragaman pangan yang dianggap turut berkontribusi pada kerusakan lingkungan. Menurutnya, praktik monokultur yang berkelanjutan mendorong pemerintah untuk terus membuka lahan baru demi mewujudkan swasembada pangan.
“Misalnya, masyarakat di pedalaman Merauke dipaksa mengonsumsi padi, padahal tanaman ini secara alami tidak tumbuh di tanah mereka,” kata Fiorentina. Ia berpendapat bahwa keseragaman ini berpotensi menyebabkan kerentanan pangan di daerah tersebut.
Ia berpendapat bahwa program swasembada pangan yang dijalankan oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto kurang didukung oleh perencanaan teknokratik yang komprehensif. “Alih-alih menerapkan science-based policy, kebijakan pangan Prabowo justru cenderung mengadopsi pendekatan militeristik, monokultur, dan bersifat top-down,” pungkasnya.
Pilihan Editor: Kuota Impor Bakal Dihapus, Bos Bapanas: Hanya Komoditas yang Belum Swasembada