Di suatu pagi yang masih remang-remang, Herman, dengan cangkir kopi di tangan, membuka aplikasi investasi di ponselnya. Seketika, sebuah notifikasi mengejutkan muncul: “Trump Naikkan Tarif Impor Mobil Listrik China, Rupiah Anjlok ke Rp16.800!”
Napasnya tercekat. Layar ponselnya menampilkan portofolio saham yang didominasi warna merah menyala, bagaikan lautan cabe rawit, sementara harga emas justru melambung tinggi, menyerupai roket yang melesat ke angkasa. “Seharusnya aku beli emas kemarin,” bisiknya lirih, menyesali gejolak FOMO (Fear of Missing Out) yang mulai merayapi benaknya.
Inilah kenyataan pahit yang dihadapi banyak investor: di tengah pusaran perang dagang AS-China yang kembali memanas, instrumen investasi bertransformasi menjadi wahana rollercoaster yang mendebarkan—sebagian melesat tinggi ke awan, sementara yang lain terjun bebas ke jurang.
Lantas, di antara ketiga pilihan utama: emas, saham, dan kripto, manakah yang paling tangguh, yang paling “anti-baper” dalam menghadapi manuver kebijakan ala Trump?
Perang dagang jauh melampaui sekadar adu tarif. Sejak era pemerintahan Trump di tahun 2018, ketika AS memberlakukan tarif sebesar 25% pada impor baja dari China, harga emas dunia langsung meroket hingga 8% hanya dalam kurun waktu tiga bulan.
Logikanya cukup sederhana: di saat ketidakpastian merajalela dan gejolak ekonomi mengancam, emas selalu menjadi “pelabuhan yang aman dan teduh” bagi para investor. Namun, benarkah emas seaman yang dibayangkan? Di Indonesia, harga emas Antam pernah mencapai puncaknya di angka Rp1,3 juta per gram pada tahun 2020 saat badai pandemi menerjang, tetapi kemudian merosot tajam hingga 12% hanya dalam sebulan setelah AS dan China menyepakati gencatan senjata dalam perang dagang.
Dengan kata lain, emas memang menyerupai seorang mantan kekasih yang setia—selalu hadir dan menemani di saat-saat sulit, tetapi dengan mudah menghilang ketika situasi kembali membaik.
Belum lagi mempertimbangkan biaya penyimpanan yang cukup mahal di safe deposit box atau selisih harga jual-beli (spread) yang dapat menggerus potensi keuntungan.
“Emas itu memang investasi yang bagus, tapi jangan pernah berpikir bisa digeprek terus-menerus dan langsung dapat untung besar,” canda Erick, seorang pedagang emas yang beroperasi di Pasar Bambaru, Palu.
Bagaimana dengan saham? Di tengah hiruk pikuk perang tarif, saham dapat diibaratkan seperti sepeda motor yang lincah dalam menghadapi kemacetan lalu lintas. Ada yang berhasil ngebut, tetapi tidak sedikit pula yang mogok di tengah jalan.
Sebagai contoh, perhatikan saham UNTR, emiten di sektor alat berat, yang berhasil meroket hingga 25% pada tahun 2019 ketika proyek infrastruktur dalam negeri menggantikan impor baja dari AS.
Sektor ekspor, seperti industri tekstil, juga turut bersinar karena produk-produk China terkena dampak tarif, sehingga pesanan mulai dialihkan ke Indonesia. Namun, nasib berbeda dialami oleh saham perusahaan elektronik lokal yang justru terpuruk karena biaya bahan baku impor yang semakin mahal.
“Saham itu ibarat mencari pacar: pilihlah yang sesuai dengan karakter risiko yang kamu miliki. Jangan hanya asal gebet karena ikut-ikutan tren yang sedang hype,” ujar Rini Malaba, seorang investor muda yang portofolionya didominasi oleh saham-saham di sektor logistik.
Lalu, bagaimana dengan kripto? Inilah si “bad boy” yang selalu membuat jantung berdebar kencang. Saat Trump pertama kali mengobarkan perang dagang di tahun 2019, Bitcoin melonjak hingga 120% dalam setahun, dan mulai digadang-gadang sebagai “emas digital” yang kebal terhadap intervensi pemerintah.
Namun, pada tahun 2021, ketika pemerintah China melarang segala bentuk transaksi kripto, harganya langsung anjlok hingga 50% hanya dalam kurun waktu seminggu. Volatilitasnya menyerupai anak kecil yang sedang bermain layangan—bisa terbang tinggi, tetapi talinya sangat mudah putus.
“Bermain kripto itu seperti berjudi. Kalau mentalmu belum siap, sebaiknya jangan coba-coba,” pesan Hery, seorang trader kripto yang pernah merasakan nikmatnya untung Rp200 juta sekaligus pahitnya rugi Rp50 juta hanya dalam sehari.
Lantas, bagaimana cara menyusun strategi investasi yang tepat di tengah ketidakpastian yang melanda? Mari kita membahas konsep portofolio “Anti-Tarif Trump”.
Bayangkan ini sebagai sebuah menu makanan yang lengkap dan bergizi: 30% emas fisik (lauk utama yang mengenyangkan perut), 40% saham dari sektor ekspor/logistik (sayuran yang kaya akan nutrisi), 10% kripto (sambal yang membangkitkan selera), dan 20% reksa dana pendapatan tetap (nasi yang menstabilkan kondisi).
Namun, ingatlah selalu: investasi tanpa riset yang mendalam itu sama seperti makan tanpa melihat menu—bisa menyebabkan keracunan! Seperti yang pernah diungkapkan oleh ahli ekonomi dari Universitas Indonesia, Lana Soelistianingsih, “Perang dagang adalah ujian kesabaran bagi para investor. Diversifikasi dan disiplin adalah kunci utama untuk meraih kesuksesan.”
Kini, Trump kembali menebar ancaman dengan potensi tarif sebesar 245% untuk produk-produk China. Apa implikasinya? Harga komoditas dan volatilitas pasar akan semakin tidak terkendali.
Emas mungkin akan kembali bersinar, saham-saham di sektor hijau seperti energi terbarukan berpeluang untuk naik daun, sementara kripto tetap menjadi sebuah misteri yang sulit ditebak.
Namun, ingatlah baik-baik: kebijakan proteksionisme ala AS itu ibarat angin—arahnya bisa berubah sewaktu-waktu. Pada tahun 2018, banyak investor yang panik dan berbondong-bondong membeli emas, tetapi kemudian menyesal ketika harganya justru berbalik arah dan turun drastis. Di tahun 2024 ini, jangan sampai kita kembali terjebak dalam pusaran FOMO investasi yang sama.
Jadi, pada akhir cerita Herman tadi, ia memutuskan untuk melakukan rebalancing portofolio: mengurangi kepemilikan saham-saham impor, menambah alokasi pada emas batangan, dan “iseng” membeli Bitcoin dalam jumlah yang terbatas.
Hasilnya? Ia tetap bisa tidur nyenyak meskipun pasar terus bergejolak. Bagaimana dengan Anda? Menurut Anda, apakah Trump akan terus memainkan kartu tarif?
Dan yang paling penting: apakah Anda lebih percaya pada kilau emas yang mempesona, ketangkasan saham yang penuh potensi, atau keberanian bermain kripto yang penuh tantangan?
Jangan pernah berinvestasi hanya karena tertekan oleh FOMO—karena uang masih bisa dicari, tetapi kesehatan mental jauh lebih berharga dan tak ternilai harganya!