Kabar gembira datang dari Taman Safari Indonesia (TSI) Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Lembaga konservasi ini sukses mengembangbiakkan dan menetaskan empat ekor kodok merah, atau yang dikenal secara ilmiah sebagai Leptophryne cruentata, di luar habitat aslinya. Ini merupakan kali pertama keberhasilan semacam ini dicapai.
Menurut Direktur TSI, Jansen Manansang, kodok merah adalah spesies endemik Jawa yang saat ini statusnya sangat terancam punah.
“Ini adalah sebuah pencapaian yang sungguh luar biasa, menandai langkah penting dalam upaya penyelamatan salah satu kekayaan alam Indonesia yang sangat langka,” ungkapnya, seperti dikutip dari laporan Antara, Kamis (17/4).
Selama proses perkawinan, kodok merah jantan memperdengarkan suara unik yang belum pernah terdokumentasi sebelumnya. Hasil pengamatan para peneliti menunjukkan bahwa setiap kali bertelur, kodok merah betina menghasilkan antara 50 hingga 150 butir telur. Jumlah ini tergolong sedikit, mencerminkan strategi reproduksi yang sangat selektif dan terbatasnya habitat spesies ini.
- Taman Safari Menanggapi Tuduhan Eksploitasi dan Kekerasan Terhadap Pemain Sirkus
- DPR Mendorong Polisi untuk Menginvestigasi Dugaan Eksploitasi Pemain Sirkus di Taman Safari
- Boy Thohir Akan Membangun Taman Safari di IKN pada Akhir 2025, Lahan Seluas 225 Hektare Telah Disiapkan
“Kami telah berupaya semaksimal mungkin untuk menciptakan kondisi habitat yang sangat mirip dengan aslinya, meliputi suhu, kelembaban, dan berbagai faktor lingkungan yang ada di pegunungan Jawa Barat, tempat kodok merah hidup. Keberhasilan ini adalah bukti nyata komitmen Taman Safari Indonesia dalam mendukung program konservasi, baik di tingkat nasional maupun global,” tegasnya.
Satwa yang dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 ini, kini menjadi simbol krusial dalam upaya menyelamatkan keanekaragaman hayati Indonesia yang menghadapi ancaman akibat kerusakan habitat dan perubahan iklim.
Jansen menambahkan bahwa keberhasilan ini menjadi tonggak bersejarah dalam upaya global melindungi keanekaragaman hayati, khususnya amfibi yang terancam punah. Diharapkan, keberhasilan program penangkaran ini dapat diterapkan pada spesies langka lainnya dan mendukung program pelepasliaran di masa depan.
Sementara itu, Vice President Life Science TSI, dr Bongot Huaso Mulia, menjelaskan bahwa tim konservasi TSI Bogor telah berhasil mendokumentasikan seluruh proses reproduksi dan metamorfosis spesies langka ini, mulai dari perkawinan, proses bertelur, hingga perkembangan menjadi kodok dewasa yang sempurna.
Tim konservasi mencatat seluruh tahapan metamorfosis secara rinci. Dimulai dari hari ke-0 hingga ke-4 masa perkembangan telur. Pada hari ke-6 hingga ke-18, terjadi pembentukan mulut dan organ internal, dan berudu mulai aktif mencari makan di antara bebatuan.
Pada hari ke-60 hingga ke-76, terjadi perkembangan morfologis yang signifikan, ditandai dengan munculnya kaki belakang, diikuti dengan pertumbuhan kaki depan. Pada hari ke-90 hingga ke-95, berudu menyelesaikan metamorfosisnya dan mulai menjelajah daratan untuk pertama kalinya, sementara ekornya secara bertahap menyusut.
Selanjutnya, pada hari ke-95 hingga ke-100, kodok merah menyelesaikan seluruh tahapan metamorfosisnya dan sepenuhnya beradaptasi dengan kehidupan di darat.
“Dokumentasi lengkap siklus hidup kodok merah yang telah kami lakukan memiliki nilai ilmiah yang sangat tinggi. Kami menemukan bahwa kualitas air dan mikrohabitat yang sangat spesifik adalah faktor penentu keberhasilan reproduksi spesies ini,” jelas dr Bongot.
Perlu diketahui, kodok merah, yang dijuluki “Bleeding Toad” karena warnanya yang merah menyala, hanya dapat ditemukan di beberapa lokasi terbatas di Pulau Jawa. Spesies ini masuk dalam daftar merah IUCN (The International Union for Conservation of Nature) dengan status konservasi “kritis” (Critically Endangered), yang menandakan bahwa spesies ini sangat terancam punah.