Konferensi Asia Afrika Bandung: Warisan Monumental, Relevansi di Era Modern?

- Penulis

Kamis, 17 April 2025 - 09:08 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Konferensi Asia Afrika (KAA), yang kerap pula disebut Konferensi Bandung, akan mencapai usia 70 tahun pada tahun 2025. Para sejarawan berpendapat bahwa KAA merupakan sebuah konferensi yang sangat penting dan telah menginspirasi banyak organisasi kerjasama internasional. Pertanyaannya, apakah KAA masih relevan di era modern ini?

Pada tanggal 18 Mei 1964, ribuan orang memadati Istana Olahraga di Kompleks Stadion Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta.

Para hadirin, yang berasal dari berbagai negara di Asia dan Afrika, memberikan tepuk tangan meriah saat Presiden Sukarno muncul di podium. Dalam pidatonya, Presiden Sukarno menekankan pentingnya film dalam memperkuat solidaritas antar bangsa.

Momen bersejarah ini berhasil diabadikan dan menjadi satu-satunya dokumentasi yang tersisa dari penyelenggaraan Festival Film Asia Afrika ketiga, menurut Bunga Siagian, seorang seniman, kurator, dan peneliti.

“Kurang lebih 10.000 orang hadir di GBK [untuk pembukaan festival],” ungkapnya.

Festival Film tersebut berlangsung dari tanggal 18 hingga 30 Maret 1964.

“Hampir semua bioskop di Jakarta menayangkan film-filmnya. Ada sekitar 60 film yang berkompetisi, terdiri dari berbagai genre seperti fiksi, dokumenter, dan film anak-anak,” jelasnya.

Para penonton harus membeli tiket bioskop untuk menyaksikan film-film tersebut, dan jumlah penonton mencapai ribuan orang, kata Bunga, yang telah meneliti berbagai arsip terkait peristiwa tersebut.

Bunga menjelaskan bahwa Festival Film Asia Afrika adalah salah satu inisiatif yang muncul dari kalangan sineas setelah Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955 di Bandung.

Festival film ini pertama kali diadakan di Tashkent pada tahun 1958, kemudian di Kairo pada tahun 1960, dan terakhir di Jakarta.

“Festival film ini memang ditujukan untuk Dunia Baru, atau yang sering disebut Dunia Ketiga,” paparnya.

Setelah Perang Dunia II, lanskap politik global terbagi menjadi dua kubu yang saling bersaing.

Blok pertama dipimpin oleh Amerika Serikat dan sekutunya, yang dikenal sebagai Dunia Pertama.

Blok kedua dipimpin oleh Uni Soviet dan negara-negara yang berpihak padanya, yang disebut sebagai Dunia Kedua.

Di luar kedua blok tersebut, terdapat sekelompok negara yang pernah mengalami penjajahan dan tidak ingin bergabung dengan salah satu blok.

Negara-negara yang sebagian besar terletak di Benua Asia dan Afrika ini akhirnya bersatu dan menyuarakan aspirasi mereka untuk pertama kalinya dalam Konferensi Asia Afrika. Dengan kata lain, Konferensi Asia Afrika memiliki visi untuk mewujudkan tatanan dunia alternatif yang baru. Inilah yang kemudian dikenal sebagai “Dunia Ketiga.”

Meskipun erat kaitannya dengan perjuangan melawan kolonialisme, Bunga menjelaskan bahwa festival ini tidak terbatas pada tema-tema tersebut.

“Ceritanya sangat beragam. Banyak yang mengangkat isu tentang perjuangan perempuan melawan tatanan patriarki, masyarakat feodal, dan lain sebagainya.”

Selain festival film, KAA Bandung juga mendorong berbagai inisiatif ‘kultural’ lainnya, menurut Wildan Sena Utama, penulis buku Konferensi Asia-Afrika, 1955: Asal-usul Intelektual dan Warisannya bagi Gerakan Global Antiimperialisme.

Dia mencontohkan Konferensi Solidaritas Rakyat Afro-Asia yang diselenggarakan pada tahun 1957 di Kairo.

Ada juga gerakan Afro-Asian Writers’ Conference yang sempat mengadakan kongres dua kali, di Tuscan pada tahun 1958 dan di Kairo pada tahun 1962.

“Pramoedya Ananta Toer, sastrawan Indonesia, adalah salah satu tokoh penting dan menjadi ketua delegasi Indonesia dalam konferensi tersebut,” imbuh Wildan.

Mengapa Konferensi Bandung Dianggap ‘Monumental?’

Konferensi Bandung diselenggarakan pada tanggal 18-24 April 1955 dan dihadiri oleh 29 negara peserta, 23 di antaranya berasal dari Asia.

Dalam pidatonya, Presiden Sukarno menyebut konferensi ini sebagai konferensi antarbenua pertama dalam sejarah dunia.

“Ini adalah peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya,” kata Wildan.

Konferensi negara-negara dari dua benua ini mewakili sekitar 1,4 miliar orang, atau lebih dari dua pertiga populasi dunia pada saat itu. Pada tahun 1955, hanya PBB, dengan 76 negara anggota, yang dapat menyaingi KAA dalam hal cakupan wilayah dan keanggotaan.

Baca Juga :  Libur Lebaran 2025: 30+ Museum dan Candi Tetap Buka di Indonesia!

“Konferensi Asia-Afrika menjadi sangat penting karena menjadi semacam pernyataan politik bahwa negara-negara tersebut telah berdaulat dan tidak lagi harus mengikuti kemauan pihak-pihak Barat,” kata Fadjar Ibnu Thufail, peneliti senior sekaligus Kepala Pusat Riset Wilayah BRIN.

Sementara itu, sejarawan dan mantan Direktur Jenderal Kebudayaan, Hilmar Farid, menyatakan bahwa negara-negara Asia dan Afrika yang baru merdeka untuk pertama kalinya berkumpul dan berbicara satu sama lain, bukan sebagai objek, melainkan sebagai subjek sejarah.

“Konferensi ini disebut monumental karena menjadi titik balik dalam sejarah hubungan internasional. Negara-negara bekas koloni mampu menawarkan jalan ketiga yang independen,” ujar Hilmar.

“Bandung adalah sebuah pernyataan kolektif bahwa dunia dapat dibayangkan dan dibentuk kembali dari perspektif Selatan, yang dibangun bukan di atas kekuatan militer atau ekonomi, melainkan pada pengalaman bersama, yaitu penjajahan, perjuangan, dan harapan akan keadilan,” jelasnya.

Bagaimana Konferensi Bandung Memberikan Dampak?

Peneliti senior BRIN, Fadjar Ibnu Thufail, berpendapat bahwa Konferensi Bandung tidak hanya menginspirasi gerakan-gerakan nasionalis, tetapi juga memberikan dorongan pada gerakan-gerakan etnis kulit hitam yang menuntut hak-hak mereka.

Christopher Lee dalam artikelnya The Bandung Conference (2023) juga mengamini hal tersebut.

Konferensi Asia Afrika telah memberikan pergeseran kekuatan baru ke Afrika. Dari benua ini muncul tokoh-tokoh seperti Gamal Abdul Nasser dan organisasi seperti Afro-Asian Peoples’ Solidarity Organization (AAPSO) yang didirikan pada tahun 1957.

Penulis James Baldwin (1924–1987) juga menulis tentang bagaimana “Semangat Bandung” terasa dalam Congress of Black Writers and Artists pertama pada bulan September 1956 di Paris.

Alioune Diop, editor Présence Africaine, menyebut Paris—lokasi kongres–sebagai “Bandung Kedua.”

Léopold Senghor (1906–2001), yang kemudian menjadi presiden Senegal, menyebut ‘Semangat Bandung’ sebagai sumber kebangkitan kembali kebudayaan kulit hitam.

“Dampak langsung dari KAA terasa dalam keberanian politik negara-negara peserta untuk mengambil kebijakan yang berani, mulai dari nasionalisasi aset kolonial hingga pembentukan berbagai forum kerja sama teknis dan budaya yang saling menguatkan,” kata Hilmar Farid.

Apakah Konferensi Bandung Memicu Lahirnya Organisasi Kerja Sama Lainnya?

“Yang paling berpengaruh justru legacy-nya. KAA mengilhami lahirnya Gerakan Non-Blok,” kata Hilmar.

Konferensi Bandung sangat erat kaitannya dengan lahirnya Gerakan Non-Blok yang dideklarasikan pada tahun 1961 di Beograd, Yugoslavia.

Konferensi tingkat tinggi tersebut dihadiri oleh perwakilan dari 25 negara, dan hingga kini anggota Gerakan Non-Blok berjumlah 100 negara.

Sementara itu, Wildan menyebut bahwa Konferensi Bandung juga memicu kerja sama yang bahkan lebih besar lagi.

“Pada tahun 1966, ada Tri-Continental Conference. Itu lebih besar lagi, melibatkan Asia, Afrika, dan Amerika Latin di Havana, Kuba. Dan roots-nya berasal dari kerja sama Asia-Afrika yang digagas di Bandung,” cetusnya.

“Bahkan hingga konteks kontemporer seperti BRICS atau World Social Forum, itu juga selalu dikaitkan dengan Konferensi Bandung,” tambahnya.

Apakah KAA Masih Relevan Sampai Sekarang?

Dunia telah mengalami perubahan signifikan sejak Konferensi Bandung dicetuskan. Uni Soviet telah runtuh, dan muncul kutub-kutub kekuatan baru, seperti China, yang mengubah konstelasi tata kuasa dunia.

Namun, menurut Hilmar Farid, semangat Konferensi Bandung tetap relevan hingga saat ini.

“Relevansi KAA hari ini bukan terletak pada romantisme masa lalu, tetapi pada keberanian untuk menerjemahkan semangat itu ke dalam bentuk-bentuk baru yang sesuai dengan tantangan zaman,” ujarnya.

“Ketimpangan global semakin memburuk, krisis iklim semakin nyata, dan sistem internasional tampak semakin tidak mampu memberikan solusi. Dalam konteks seperti ini, prinsip-prinsip yang dulu digaungkan di Bandung, seperti kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan kepribadian budaya, kembali terasa penting sebagai titik tolak untuk membayangkan ulang relasi global,” sambung Hilmar.

Baca Juga :  Kisah Perantau asal Bukittinggi, Lepas dari Perusahaan Jepang Kini Sukses Pekerjakan 20 Orang

Sementara itu, Fadjar Ibnu Thufail mengatakan bahwa semangat Konferensi Bandung juga masih dibutuhkan untuk menghadapi problem-problem perubahan iklim dan kerusakan lingkungan yang dihadapi negara-negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin.

“Yang sering kita lupakan adalah bahwa kita di Selatan ini menjadi korban dari struktur eksploitasi lingkungan yang tidak terkontrol. Kita sama-sama ‘korban’ dari eksploitasi lingkungan yang dilakukan pada masa lalu. Jadi, konteks post-colonial-nya tidak berhenti pada saat itu saja, tetapi berlanjut sampai sekarang,” ujarnya.

Janji yang Belum Terpenuhi

Konferensi Asia Afrika di Bandung menghasilkan Dasa Sila Bandung, yang mencakup tema penghormatan terhadap hak asasi manusia, kedaulatan negara, dan kerja sama internasional.

Namun, tidak semua hasil, rekomendasi, dan janji-janji terpenuhi, kata Wildan.

“Ada juga komite ekonomi di Bandung yang mendorong kerja sama ekonomi antara negara Asia Afrika, yang sebenarnya tidak dijalankan. Bahkan, bukan hanya dalam konteks periode pertengahan abad ke-20, tetapi hingga hari ini menurut saya tidak dijalankan,” tukasnya.

“Untuk hari ini, mereka (para negara anggota) tidak solid dan memiliki jalannya sendiri-sendiri,” kata Wildan, seraya menggarisbawahi bahwa negara-negara di Asia dan Afrika ini tetap menjadi aktor politik yang relevan untuk diperhitungkan.

“Apalagi dalam kondisi hari ini, kita mengarah kepada Perang Dingin baru antara Amerika Serikat dengan China,” imbuhnya.

Apakah Indonesia Bisa Kembali Mengambil Inisiatif Seperti di Masa Lalu?

“Secara historis, Indonesia pernah menjadi penggerak utama solidaritas global dari Selatan, dan secara geografis-politik, posisinya tetap strategis,” kata Hilmar Farid mengenai posisi Indonesia yang mengambil peran aktif dalam berbagai gerakan internasional, termasuk Konferensi Asia Afrika.

Setahun sebelum konferensi ini, Indonesia juga terlibat dalam Konferensi Kolombo bersama dengan India, Pakistan, Burma, dan Sri Lanka. Pertemuan ini juga membahas berbagai isu global, termasuk isu imperialisme. Setelah KAA, Indonesia jelas terlibat dalam pembentukan Gerakan Non-Blok.

Pada tahun 1963, Bung Karno juga mencetuskan inisiatif Games of the New Emerging Forces alias Ganefo sebagai ajang olahraga internasional alternatif terhadap Olimpiade. Tujuan utama Ganefo adalah memperkuat solidaritas negara-negara berkembang.

Namun, modal historis tersebut, kata Hilmar, tidak cukup.

Indonesia, menurutnya, perlu melakukan pembaruan tidak hanya di level kebijakan luar negeri, tetapi juga membuka ruang partisipasi bagi berbagai pihak. “Ruang harus dibuka untuk inisiatif-inisiatif dari masyarakat sipil, seniman, pemuda, dan komunitas akar rumput yang selama ini menjadi penjaga semangat perubahan.”

Modal lainnya, kata Wildan, Indonesia perlu kembali menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari kelompok negara-negara di belahan Selatan yang juga terkena dampak dari berbagai perubahan, misalnya perang tarif antara Amerika Serikat dan China.

“Saya menduga, para pemimpin Indonesia selalu mengimajinasikan Indonesia itu adalah negara besar yang posisinya setara dengan negara-negara adidaya.”

Menurut Wildan, hal ini membuat Indonesia enggan berpaling ke negara-negara tetangga di Asia, Afrika, atau Amerika Latin, “Padahal secara posisi politik di dalam dunia internasional, mereka (Indonesia) adalah bagian dari global south juga.”

“Menurut saya, Indonesia juga secara posisi politik tidak lemah sama sekali. Tetapi pertanyaannya, apakah Indonesia [mau] memposisikan dirinya sebagai motor untuk membangun kerja sama di antara global south itu?”

  • Napak tilas kenang KAA Bandung 1955
  • G30S: Francisca Fanggidaej, pejuang kemerdekaan yang namanya dihapus penguasa Orde Baru
  • #TrenSosial: Dari KAA 1955, Supeni sukses jadi diplomat andalan Soekarno
  • Puluhan kepala negara bersiap napak tilas di Bandung
  • Mengapa Indonesia ingin bergabung dengan BRICS – Barisan negara yang ‘tidak puas’ dengan status quo?
  • Pidato Prabowo memuji Mustafa Kemal Atatürk di Turki – Mengapa menimbulkan polemik?

Berita Terkait

Museum Kayu Kalteng: Ungkap Jejak Keemasan Hutan Kalimantan Tengah
Taman Safari Terjebak Konflik OCI: Dampak Sengit vs Mantan Pemain Sirkus
Arkeologi Ungkap Fakta Tersembunyi di Balik Penyaliban Yesus
Permata Bank Lestarikan Budaya, Dukung Peringatan Mangkunegaran ke-268
Oriental Circus Indonesia: Bukan Bagian dari Taman Safari!
Terungkap! Kisah Sukses di Balik Legenda Minyak Kayu Putih Cap Lang
Intip 10 Tradisi Paskah Unik Dunia: Meriah dan Tak Terduga!
Terungkap! Sosok Pemilik Taman Safari Indonesia Dibalik Isu Eksploitasi Pekerja

Berita Terkait

Sabtu, 19 April 2025 - 16:08 WIB

Museum Kayu Kalteng: Ungkap Jejak Keemasan Hutan Kalimantan Tengah

Sabtu, 19 April 2025 - 08:39 WIB

Taman Safari Terjebak Konflik OCI: Dampak Sengit vs Mantan Pemain Sirkus

Sabtu, 19 April 2025 - 08:36 WIB

Arkeologi Ungkap Fakta Tersembunyi di Balik Penyaliban Yesus

Sabtu, 19 April 2025 - 08:31 WIB

Permata Bank Lestarikan Budaya, Dukung Peringatan Mangkunegaran ke-268

Sabtu, 19 April 2025 - 06:56 WIB

Oriental Circus Indonesia: Bukan Bagian dari Taman Safari!

Berita Terbaru

urban-infrastructure

Investor Merapat: Peluang Proyek Tol dan Air Rp160 Triliun di Indonesia

Minggu, 20 Apr 2025 - 00:15 WIB