Ragamutama.com, Jakarta – Pada penutupan perdagangan hari Rabu, 16 April 2025, nilai tukar rupiah mengalami tekanan, tercatat melemah sebesar 10 poin menjadi Rp 16.837 per dolar Amerika Serikat. Analis memproyeksikan bahwa pada sesi perdagangan awal pekan depan, mata uang Garuda ini diperkirakan akan kembali mengalami pelemahan, bergerak dalam rentang Rp 16.830 hingga Rp 16.890.
“Sore ini, rupiah menutup perdagangan dengan pelemahan tipis 10 poin, setelah sebelumnya sempat tertekan hingga 30 poin,” ungkap Pengamat Mata Uang, Ibrahim Assuaibi, dalam keterangan tertulis yang dirilis pada Rabu, 16 April 2025.
Ibrahim menyoroti bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal pertama tahun 2025 diperkirakan akan mengalami perlambatan, dengan proyeksi berada di antara 4,9 persen hingga 5 persen. Angka ini menunjukkan penurunan dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi pada kuartal keempat tahun 2024 yang mencapai 5,02 persen.
Lebih lanjut, pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan untuk tahun ini diperkirakan berada dalam kisaran 4,8 persen hingga 5 persen. Angka ini lebih rendah dari target yang ditetapkan dalam asumsi ekonomi makro tahun 2025, yaitu sebesar 5,2 persen. Bahkan, target ini juga berada di bawah ekspektasi yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2025-2029, yang menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 persen untuk tahun ini.
Dari perspektif domestik, Ibrahim mengidentifikasi sejumlah tantangan yang berpotensi menghambat laju perekonomian. Tantangan-tantangan tersebut meliputi kebutuhan akan reformasi struktural yang berkelanjutan, efektivitas belanja pemerintah, peningkatan produktivitas sektor riil, efektivitas kebijakan fiskal dan moneter, serta urgensi untuk memperkuat fundamental ekonomi domestik. “Kondisi fiskal di awal tahun ini pun menunjukkan indikasi yang cukup mengkhawatirkan,” imbuhnya.
Sebagai ilustrasi, defisit APBN hingga akhir Maret 2025 telah mencapai Rp 104,2 triliun, yang setara dengan 0,43 persen dari produk domestik bruto (PDB). Angka ini telah mencapai sekitar 16,9 persen dari target defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tahun 2025, yang ditetapkan sebesar Rp 616,2 triliun atau setara dengan 2,53 persen dari PDB.
“Selain itu, daya beli masyarakat juga masih menunjukkan penurunan, yang ditandai dengan deflasi pada bulan Januari dan Februari 2025. Situasi ini diperparah dengan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) dan tingginya angka pengangguran, minimnya penyerapan tenaga kerja, serta sejumlah industri padat karya yang mengalami kesulitan,” jelasnya.
Di sisi lain, Ibrahim mengamati bahwa investor terus berupaya mencari katalis yang dapat mendorong pemulihan ekonomi yang lebih signifikan. Hal ini disebabkan oleh proyeksi perlambatan pertumbuhan global yang lebih luas, yang dipicu oleh kebijakan tarif AS yang berpotensi membahayakan perekonomian global.
Kebijakan Trump yang menaikkan tarif terhadap barang-barang Cina hingga tingkat yang sangat tinggi telah mendorong Beijing untuk memberlakukan bea balasan atas impor AS. Eskalasi ini memicu perang dagang yang semakin intensif antara dua ekonomi terbesar dunia, yang dikhawatirkan oleh pasar akan memicu resesi global.
“Sebagai indikasi lebih lanjut dari meningkatnya ketegangan, Cina telah menginstruksikan maskapai penerbangannya untuk menunda penerimaan pengiriman jet Boeing sebagai respons terhadap keputusan AS untuk mengenakan tarif sebesar 145 persen pada barang-barang Cina, seperti yang dilaporkan oleh Bloomberg News pada hari Selasa,” pungkasnya.
Pilihan Editor: Saran dari Apindo bagi Pelaku Usaha saat Rupiah Melemah