Kendati bursa saham Indonesia mengalami gejolak sejak awal tahun 2025, perusahaan-perusahaan pelat merah, atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN), justru memperlihatkan ketangguhan dan resilien mereka. Di tengah dinamika indeks dan penurunan rasio valuasi pasar seperti PER dan PBV, saham BUMN cenderung stabil, berperan sebagai penopang utama yang memelihara keyakinan investor terhadap iklim investasi dalam negeri.
Terpantau pada bulan Maret 2025, sektor perbankan yang didominasi oleh BUMN memimpin dalam hampir seluruh tolok ukur perdagangan yang krusial. Bank Rakyat Indonesia (BBRI), Bank Mandiri (BMRI), dan Bank Negara Indonesia (BBNI) membukukan lonjakan signifikan dalam hal kapitalisasi pasar. BBRI bahkan mengalami pertumbuhan lebih dari 20% hanya dalam periode satu bulan, melampaui kapitalisasi sebesar Rp607 triliun. Menyusul di belakangnya, BMRI mencatat kenaikan sebesar 13% dan BBNI tumbuh 5%, mencerminkan pandangan positif investor terhadap prospek finansial BUMN yang kokoh dan berkelanjutan.
Dari sudut pandang nilai transaksi, ketiga bank yang terafiliasi dengan negara ini menempati posisi teratas sebagai saham yang paling aktif diperdagangkan. Total nilai transaksi gabungan dari ketiga entitas ini melampaui angka Rp160 triliun sepanjang tahun berjalan. Hal ini mengindikasikan bahwa, di tengah pasang surutnya saham-saham teknologi dan perubahan sentimen global, investor tetap mengandalkan stabilitas dan kinerja fundamental emiten-emiten milik negara.
Sektor telekomunikasi juga masih sangat bergantung pada peran BUMN. Telkom Indonesia (TLKM) mungkin tidak mencatatkan pertumbuhan spektakuler, namun tetap mempertahankan konsistensi dalam hal kapitalisasi dan nilai perdagangan. Sementara saham-saham teknologi swasta mengalami fluktuasi yang signifikan, Telkom tetap menjadi pilihan utama bagi investor yang mencari eksposur ke sektor digital tanpa risiko volatilitas ekstrem.
Namun, perlu dicatat bahwa tidak semua BUMN menunjukkan performa yang cemerlang. Saham Garuda Indonesia (GIAA) dan BUMN di sektor transportasi lainnya relatif tidak terdengar dalam daftar saham likuid maupun *top gainers*. Ini mengisyaratkan bahwa pasar tidak memberikan persepsi yang seragam terhadap seluruh BUMN. Faktor-faktor seperti restrukturisasi perusahaan, beban utang, dan kinerja yang belum sepenuhnya pulih turut menjadi pertimbangan investor dalam menentukan BUMN mana yang layak untuk dikoleksi, dan mana yang sebaiknya dihindari.
Di luar sektor perbankan dan telekomunikasi, potensi BUMN di sektor energi dan pangan juga belum sepenuhnya tercermin di pasar. Saham-saham seperti PGAS atau emiten BUMN yang bergerak di bidang komoditas belum menonjol dalam radar investor, meskipun secara makro Indonesia tengah memprioritaskan ketahanan energi dan pangan nasional. Hal ini mengindikasikan adanya disparitas antara arah kebijakan dan persepsi pasar.
Meskipun demikian, peran BUMN sebagai penopang pasar modal masih belum tergantikan. Di tengah euforia terhadap saham-saham teknologi, dan di balik popularitas sesaat dari emiten-emiten baru yang melonjak karena sentimen tertentu, BUMN tetap menjadi pilihan utama bagi para investor yang berorientasi jangka panjang. Mereka mungkin bukan yang paling cepat meroket, namun justru di situlah letak kekuatan mereka: konsistensi, skala operasi, dan daya tahan terhadap guncangan.
Kinerja saham BUMN sepanjang kuartal pertama tahun 2025 membuktikan bahwa negara, melalui entitas-entitas bisnisnya, terus memainkan peran sentral dalam menjaga stabilitas dan likuiditas pasar modal. Ketika investor ritel dan institusi mencari perlindungan dari ketidakpastian ekonomi, mereka kembali kepada apa yang telah teruji: BUMN.