“`html
Ragamutama.com – JAKARTA. Prospek kinerja emiten BUMN Karya pada tahun 2025 masih diselimuti ketidakpastian. Fluktuasi pasar yang tinggi, dipicu oleh sentimen domestik dan global, menjadi tantangan utama.
Evaluasi laporan keuangan tahun 2024 menunjukkan bahwa kinerja BUMN Karya belum sepenuhnya memuaskan. Sebagai contoh, PT PP Tbk (PTPP) mencatatkan pendapatan sebesar Rp 19,81 triliun pada tahun 2024. Meskipun angka ini menunjukkan kenaikan 7,3% secara tahunan (year on year/yoy) dari Rp 18,46 triliun.
Namun, laba bersih PTPP mengalami penurunan sebesar 13,65% yoy, menjadi Rp 415,65 miliar pada tahun 2024, dibandingkan dengan Rp 481,37 miliar pada tahun sebelumnya.
Sebaliknya, PT Adhi Karya Tbk (ADHI) berhasil mencatatkan peningkatan laba bersih sebesar 17,98% YoY menjadi Rp 252,49 miliar pada tahun 2024, naik dari Rp 214,01 miliar pada tahun 2023. Akan tetapi, pendapatan usaha ADHI justru menurun sebesar 33,48% YoY menjadi Rp 13,35 triliun pada tahun lalu, dari sebelumnya Rp 20,07 triliun.
Sementara itu, Wijaya Karya (WIKA) dan PT Waskita Karya Tbk (WSKT) masih mencatatkan kerugian pada tahun lalu, meskipun nilai kerugian tersebut mengalami penurunan.
PTPP Raih Kontrak Baru Sebesar Rp 6,27 Triliun Per Kuartal I-2025
Wijaya Karya mengalami kerugian bersih sebesar Rp 2,26 triliun pada tahun 2024, menunjukkan perbaikan sebesar 68,19% YoY dari kerugian bersih sebesar Rp 7,12 triliun pada tahun 2023. Penurunan kerugian ini terjadi di tengah penurunan pendapatan neto sebesar 14,59% YoY menjadi Rp 19,24 triliun pada tahun lalu, dari Rp 22,53 triliun pada tahun 2023.
Kerugian bersih WSKT juga mengalami penurunan sebesar 31,32% YoY menjadi Rp 2,58 triliun pada tahun 2024, dari kerugian bersih sebesar Rp 3,77 triliun pada periode yang sama tahun sebelumnya. Pendapatan usaha Waskita juga mengalami penurunan sebesar 2,27% YoY dari Rp 10,95 triliun pada tahun 2023 menjadi Rp 10,70 triliun pada tahun lalu.
Pada awal tahun 2025, masih banyak faktor yang menyebabkan volatilitas pasar dan berpotensi mempengaruhi kinerja emiten BUMN Karya.
Salah satu sentimen negatif bagi BUMN Karya berasal dari Kebijakan Tarif Trump. Indonesia terkena dampak sebesar 32% dalam kebijakan tarif resiprokal pemerintah Amerika Serikat (AS). Meskipun penerapannya ditunda selama 90 hari, selama masa penundaan tersebut, pemerintah AS akan menerapkan tarif impor minimal 10% kepada 75 negara, termasuk Indonesia.
Kebijakan Tarif Trump ini telah memicu gejolak dan ketidakstabilan pasar global akibat perang tarif. Washington telah meningkatkan tarif atas produk China hingga 145%, sementara Beijing membalas dengan tarif balasan sebesar 125% terhadap produk AS.
Waskita Karya (WSKT) Umumkan Utang Turun 17,5% pada Tahun 2024
Munculnya Kebijakan Tarif Trump ini menimbulkan kekhawatiran bahwa sejumlah bank sentral akan menaikkan suku bunga atau mempertahankannya pada level tinggi. Di sisi lain, nilai tukar rupiah juga masih melemah terhadap dolar AS, berada di kisaran Rp 16.827 per dolar AS pada hari ini.
Kabar positif bagi emiten BUMN Karya datang dari pembatalan pemblokiran anggaran untuk proyek Ibu Kota Negara (IKN) oleh pemerintah.
Sebelumnya, anggaran untuk proyek IKN sempat terdampak program efisiensi anggaran. Namun, pemblokiran tersebut telah dicabut setelah mendapatkan persetujuan dari Komisi V DPR RI dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Sementara itu, dampak dari kehadiran Danantara terhadap kinerja emiten BUMN Karya masih menjadi pertanyaan, meskipun *sovereign wealth fund* (SWF) ini diharapkan dapat memperbaiki kinerja dan pengelolaan aset perusahaan pelat merah.
Pengamat Pasar Modal dari Universitas Indonesia, Budi Frensidy, berpendapat bahwa Danantara berpotensi menjadi solusi untuk meningkatkan kinerja emiten BUMN Karya.
“Namun, jika penanganan BUMN Karya tidak dilakukan dengan hati-hati, justru akan menjadi beban bagi Danantara,” ungkapnya kepada Kontan, Selasa (15/4).
Wijaya Karya (WIKA) Cetak Kontrak Baru Sebesar Rp 2,16 Triliun per Kuartal I 2025
Senada dengan itu, Analis Kiwoom Sekuritas Indonesia, Sukarno Alatas, menekankan bahwa jika Danantara berhasil, valuasi saham-saham emiten BUMN Karya dapat meningkat, sekaligus menyelamatkan WIKA dan WSKT dari potensi *default* total. “Namun, jika gagal, situasinya bisa menjadi seperti BLBI jilid 2 (kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia),” ujarnya kepada Kontan, Selasa (15/4).
Sementara itu, *Investment Analyst* Edvisor Provina Visindo, Indy Naila, menekankan perlunya evaluasi lebih lanjut terhadap efektivitas program Danantara dalam meningkatkan likuiditas emiten-emiten BUMN Karya.
Budi menyarankan agar WIKA dan WSKT melakukan divestasi aset yang dimiliki untuk membayar bunga dan pokok utang, sehingga kinerja emiten BUMN Karya dapat membaik.
Indy melihat bahwa, berdasarkan kinerja emiten BUMN Karya pada tahun 2024, salah satu faktor pendorongnya adalah progres restrukturisasi yang dilakukan oleh WIKA dan WSKT. Selain itu, belanja untuk proyek infrastruktur juga cukup baik pada tahun lalu, meskipun biaya utang beberapa BUMN Karya masih tinggi.
“Sayangnya, kelanjutan proyek-proyek yang belum selesai masih belum memberikan dukungan yang signifikan terhadap kinerja saham,” tuturnya.
Akibatnya, kinerja bisnis dan saham emiten BUMN Karya belum menunjukkan pemulihan yang signifikan. Kondisi ini diperburuk oleh pemangkasan anggaran PU, kurangnya transparansi Danantara, serta ketidakjelasan prospek suku bunga acuan.
“Perlu ada pemantauan terhadap program pemerintah lainnya yang dapat membantu emiten BUMN Karya dalam menjaga kondisi keuangan, terutama terkait dengan pengelolaan utang,” katanya.
PTPP Chart by TradingView
Indy merekomendasikan investor untuk mempertimbangkan PTPP dan ADHI dengan target harga masing-masing Rp 350 per saham dan Rp 262 per saham.
Sukarno berpendapat bahwa kinerja emiten BUMN Karya pada tahun 2025 berpotensi membaik seiring dengan dibukanya kembali anggaran untuk pembangunan IKN. Peningkatan ini dapat semakin signifikan jika suku bunga acuan berhasil diturunkan, yang akan mengurangi beban bunga.
Di sisi lain, pelemahan nilai tukar rupiah dapat meningkatkan biaya material dan pembayaran utang dalam mata uang asing.
“PTPP berpotensi menjadi yang terdepan pada tahun ini, karena keterlibatannya yang signifikan dalam proyek IKN, serta memiliki *backlog* yang solid dan margin yang stabil. Kemudian, diikuti oleh ADHI yang berpotensi mengalami pertumbuhan, meskipun pendapatan tahun lalu menurun, namun berhasil memulihkan profit,” paparnya.
WSKT dan WIKA disarankan untuk melakukan divestasi aset non-*core* secara agresif untuk memulihkan arus kas. Efisiensi proyek, percepatan pengumpulan tagihan, serta konsolidasi anak usaha yang membebani juga perlu dilakukan secara intensif.
Selain itu, saham WIKA dan WSKT saat ini sedang disuspensi oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) karena gagal membayar obligasi. Saham WSKT bahkan telah disuspensi sejak Mei 2023 dan akan mencapai dua tahun pada Mei 2025.
“Menurut aturan BEI, terdapat potensi *delisting* otomatis jika tidak ada perbaikan yang signifikan,” ungkapnya.
Sukarno merekomendasikan *hold* untuk ADHI dan PTPP dengan target harga masing-masing Rp 250 per saham dan Rp 330 per saham. Batas *support* untuk ADHI berada di Rp 214 per saham, dan *support* untuk PTPP di Rp 286 per saham.
“`