Jakarta, RAGAMUTAMA.COM – Sentimen pesimisme di kalangan warga Amerika Serikat (AS) terkait prospek pengangguran dan laju inflasi kembali menguat signifikan pada Maret 2025. Hasil survei bulanan yang dirilis oleh Bank Federal Reserve New York pada Senin (14/4/2025) menunjukkan bahwa ekspektasi terhadap tingkat pengangguran telah menyentuh titik tertinggi sejak awal merebaknya pandemik COVID-19. Mayoritas responden, sebanyak 44 persen, meyakini bahwa tingkat pengangguran akan mengalami peningkatan dalam kurun waktu satu tahun mendatang.
Peningkatan ini terhitung sebesar 4,6 poin dibandingkan dengan data Februari, sekaligus menandai level tertinggi sejak April 2020. Lonjakan kekhawatiran ini juga sejalan dengan meningkatnya beban biaya hidup yang dirasakan oleh masyarakat. Dalam survei yang sama, ekspektasi inflasi untuk periode satu tahun ke depan mengalami kenaikan menjadi 3,6 persen, level tertinggi sejak Oktober 2023.
Perlu dicatat bahwa survei ini dilakukan sebelum pengumuman kebijakan tarif impor terbaru oleh Presiden Donald Trump pada tanggal 2 April lalu.
BI Ramal The Fed hanya Pangkas Suku Bunga Satu Kali di 2025
BI Ramal The Fed hanya Pangkas Suku Bunga Satu Kali di 2025
1. Dinamika Ekspektasi Pasar Saham dan Emas Menunjukkan Arah yang Berlawanan
Menurut laporan CNBC International pada Selasa (15/4), selain isu inflasi dan pengangguran, konsumen juga semakin menunjukkan kecemasan terhadap kondisi pasar saham. Survei mengungkapkan bahwa ekspektasi kenaikan pasar saham dalam satu tahun ke depan mengalami penurunan menjadi 33,8 persen. Angka ini merupakan yang terendah sejak Juni 2022 dan mencerminkan penurunan sebesar 3,2 poin.
Sebaliknya, sentimen terhadap harga emas justru mengalami penguatan yang cukup signifikan. Para responden memperkirakan bahwa harga emas akan meningkat sebesar 5,2 persen dalam satu tahun ke depan, sebuah ekspektasi tertinggi sejak April 2022. Fenomena ini mengindikasikan adanya pergeseran preferensi investor menuju aset-aset yang dianggap lebih aman di tengah ketidakpastian ekonomi.
2. Proyeksi Kenaikan Biaya Hidup yang Semakin Tinggi di Berbagai Sektor
Kenaikan ekspektasi inflasi tampaknya tidak terdistribusi secara merata di seluruh sektor ekonomi. Beberapa harga kebutuhan pokok diperkirakan akan mengalami lonjakan yang lebih signifikan. Harga sewa tempat tinggal diperkirakan akan meningkat sebesar 7,2 persen dalam satu tahun, naik setengah poin. Sementara itu, harga bahan makanan diperkirakan akan naik 5,2 persen, level tertinggi sejak Mei 2024.
Untuk biaya layanan kesehatan, responden memprediksi kenaikan hingga 7,9 persen. Ini merupakan angka tertinggi sejak Agustus 2024. Satu-satunya sektor yang menunjukkan penurunan ekspektasi harga adalah bensin, yang diperkirakan naik 3,2 persen—turun setengah poin dari proyeksi bulan Februari.
Trump Batal Kenakan Tarif Resiprokal untuk Produk Elektronik China
Trump Batal Kenakan Tarif Resiprokal untuk Produk Elektronik China
3. Kekhawatiran Jangka Panjang Tidak Separah Prospek Jangka Pendek
Meskipun prediksi inflasi jangka pendek mengalami lonjakan, tingkat kekhawatiran dalam perspektif jangka panjang tidak mengalami perubahan yang signifikan. Survei menunjukkan bahwa ekspektasi inflasi untuk tiga tahun ke depan tetap stabil di angka 3 persen. Bahkan, untuk periode lima tahun, ekspektasi tersebut justru mengalami penurunan menjadi 2,9 persen.
Hal ini mengindikasikan bahwa konsumen memproyeksikan tekanan harga akan mereda seiring berjalannya waktu, meskipun mereka juga bersiap menghadapi lonjakan harga dalam jangka pendek. The Fed dikenal sangat memperhatikan data-data ini sebagai indikator krusial dalam merumuskan kebijakan moneter.
Dilansir dari CNN International, Selasa (15/4), ekspektasi inflasi memiliki potensi untuk menjadi semacam ramalan yang menjadi kenyataan dengan sendirinya. Jika masyarakat memiliki keyakinan bahwa harga akan terus meningkat, mereka cenderung untuk membelanjakan uang lebih cepat atau menuntut kenaikan gaji, yang pada akhirnya dapat memicu terjadinya inflasi.
Indonesia Tak Libatkan Negara Lain saat Negosiasi Tarif Trump
Indonesia Tak Libatkan Negara Lain saat Negosiasi Tarif Trump